Misteri kematian Tan Malaka, antara Petok atau Selopanggung
Tan Malaka wafat ditembak pasukan Letda Sukotjo pada 21 Februari 1949.
Dalam buku Soerachmad prajurit pejuang, Tan Malaka adalah orang yang cerdik dengan julukan 'Trotskyist'. Buktinya Mayor Sabaruddin ditugaskan untuk mengawal Tan Malaka oleh Kolonel Soengkono dapat dipengaruhinya, salah satunya memberikan kebebasan pada Tan Malaka untuk menyampaikan pengumuman di radio bahwa Presiden Republik Indonesia adalah Tan Malaka pasca-Soekarno Hatta ditangkap Belanda.
Peristiwa itu terjadi bersamaan agresi militer ke-2 Belanda memasuki wilayah Kota Kediri. Peristiwa itu terjadi ketika Tan Malaka bersama pasukan Sabaroedin berada di wilayah Gringging Kecamatan Grogol Kabupaten Kediri. Di dekat daerah itu pula markas Divisi I/ Gubernur militer Jawa Timur di bawah panglima Devisi. Kolonel Soengkono dengan kompi 'deckingnya', Kompi Macan Kerah dengan Komandan Kapten Sampoerno.
"Sebelum ditangkap atas perintah Kolonel Soengkono, Tan Malaka pernah menginap di rumah bapak saya ketika itu bapak saya adalah kepala desa di daerah Gringging," kata (alm) dr Karman dokter yang praktik di Jl Hayam Wuruk Kota Kediri pada merdeka.com tahun 2011 lalu.
Selain mengumumkan bahwa dirinya adalah Presiden RI, Tan Malaka juga mengangkat Sabaroedin sebagai panglima besar. Sebelumnya Tan Malaka pernah menawari Mayor Jonosewojo, namun ditolak.
Pidato Tan Malaka yang menyatakan bahwa dirinya adalah Presiden RI membuat Letkol Soerachmad marah besar dan memangil Letnan I Seokadji Hendrotomo yang pada waktu itu adalah komandan kompi 'decking' Komando Brigade S/KMD Kediri untuk menangkap Tan Malaka dan Sabaroedin.
Dengan secepat kilat kompi Soekadji Hendrotomo berhasil menangkap Tan Malaka dan Kompi Macan Kerah berhasil menangkap Sabroedin. Saat penangkapan itu pasukan Belanda menggempur wilayah Kediri dan Markas Devis I yang dipimpin Kolonel Soengkono. Tan Malaka berhasil ditangkap dibawa ke jurusan selatan di daerah Mojo oleh Kompi Soekadji Hendrotomo tepatnya di daerah Petok.
Tan Malaka dieksekusi bersama para pengawalnya Kapten Dimin, Ali dan Teguh di daerah Petok Mojo. Keterangan Soerachmad dalam bukunya berbalik 90 derajat dengan penelusuran yang dilakukan merdeka.com dengan peneliti sejarah Tan Malaka, Harry A Poeze sejak 2007 lalu.
Harry A Poeze yang yang juga mantan Kepala Penerbit KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda Untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) yang menjelaskan berdasarkan riset yang dilakukannya terkait kematian Tan Malaka, menyebutkan Tan dibunuh di Desa Selopanggung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949 oleh Brigade Sikatan atas perintah Letkol Soerachmad .
Rekontruksi awal penelusuran ini adalah ketika merdeka.com bertemu dengan Syamsuri (50) mantan Kepala Desa Selopanggung (1990-1998). Atas jasa Syamsuri itulah merdeka.com diajak bertemu dengan Tolu (87) (sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu) warga Selopanggung yang berada di lembah Gunung Wilis yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Kota Kediri. Tolu banyak memberikan keterangan tentang tempat persembunyian Brigade S saat agresi Belanda kedua terjadi sekitar tahun 1948.
"Kala itu saya masih berumur sekitar 10 tahun. Saya tinggal bersama kakek saya, Mbah Yasir namannya. Rumah kakek saya itulah yang ditempati pasukan TRI yang melarikan diri dari kejaran Belanda," katanya sambil menikmati rokoknya. Ditambahkan Tolu, dari para anggota TRI tersebut dia masih ingat nama-nama pentolannya.
"Mereka adalah priyayi yang berpakaian bagus, berpendidikan, membawa senjata, membawa buku dan juga mesin ketik. Mereka antara lain Letkol Soerachmad, Letnan Dua Soekotjo, Soengkono, Sakur, Djojo dan Dayat. Merekalah para komandan yang membawahi kurang lebih 50 pasukan yang saat itu berjuang melawan Belanda," imbuhnya.
Saat Tolu menyebut nama Soekotjo, Soerachmad,dan juga Soengkono, penulis pun teringat akan nama itu yakni sama persis dengan riset Harry A Poeze yang menyatakan Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949 oleh Brigade S atas perintah Letkol Soerachmad. Eksekusi yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda kedua itu didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya Letkol Soerahmat.
Penangkapan hingga penembakan mati Tan Malaka oleh Briagade S atas perintah petinggi militer di Jawa Timur menilai seruan Tan Malaka terkait penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta enggannya elite militer bergerilya dianggap membahayakan stabilitas.
Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan di Desa Patje Nganjuk dan akhirnya dieksekusi di Selopanggung Kediri. Tentang Tan Malaka sendiri, Tolu saksi sejarah yang masih hidup mengaku antara ingat dan tidak. Untuk mengembalikan memori ingatannya, penulis mencoba mencoba membukakan gambar wajah Tan Malaka. Dari situlah kemudian dia kembali teringat.
"Orang ini adalah orang yang menjadi tawanan TRI, dia diamankan khusus. Waktu itu yang menjaga adalah di bawah pengawasan Pak Dayat langsung. Entah bagaimana ceritanya ketika itu setelah ditawan saya mengetahui dia meninggal yakni tepatnya sebelum akhirnya pasukan TRI meninggalkan desa kami sekitar awal tahun 1949," jelasnya.
Soal di mana lokasi tawanan itu meninggal dunia dan kemudian dikuburkan, Tolu terdiam. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian dia keluar rumah dan menunjukkan pohon petai di depan bekas rumah kakeknya Yasir yang kini sudah rata dengan tanah.
"Di sanalah Tan Malaka hilang, itu yang hanya saya tahu, ini juga saya katakan pada orang Belanda Harry A Poeze yang datang menemui saya tiga belas tahun lalu. Kemudian oleh Harry tempat tersebut disuruh menandai dengan tulisan 'Di sinilah tempat hilangnya Datuk Ibrahim/Tan Malaka," katanya.
"Setelah Pak Dayat menyembunyikan tawanannya yang akhirnya tewas, yang saya duga adalah Sutan Ibrahim. Kemudian pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung setelah setahun bersembunyi. Sebelum meninggalkan desa kami pasukan membakar berkas yang dibawa. Seingat saya ada ratusan buku yang dibakar saat itu. Bahkan sangking banyaknya buku itu tidak habis terbakar selama satu minggu," kata Tolu.
Lalu kemana tawanan Dayat yang kemudian mati itu dikubur setalah pasukan TRI meninggalkan desa? "Saya tidak tahu itu sebab saat itu kami orang desa hanyalah orang suruhan dan hanya bisa membantu yang bisa kami Bantu. Misal mengantarkan surat, membuat makanan dan menjaga kerahasiaan keberadaan para anggota TRI ini dari musuh," tambahnya.
Menurut Tolu tawanan yang tewas terbunuh itu tentunya tidak akan dikubur jauh dari desanya. Kemudian dia teringat akan kuburan Mbah Selopanggung orang yang dipercaya kali pertama membabat hutan dan menghuni Desa Selopanggung dan memberikan nama Selopanggung yang berada di dekat batu besar yang tepat berada di belakang rumahnya.
"Kira-kira 50 meter dari lokasi batu besar yang oleh warga setempat diyakini sebagai tempat wingit atau angker ada makam Mbah Selopanggung. Ada dua pohon kamboja tua satu diyakini warga merupakan nisan makam Mbah Selopanggung. Dan ada satu lagi yang usianya dibawah pohon kamboja yang ada di makam Mbah Selopanggung, mungkin itulah makamnya," ungkapnya.
Karena usianya yang lanjut dan kesulitan jalan, akhirnya Tolu meminta tolong kepada Syamsuri mantan Kepala Desa Selopanggung dan Solikin tokoh pemuda setempat untuk mengantarkan penulis ke makam yang dimaksud. Setelah melakukan perjalanan melalui jalan batu terjal yang turun naik di kaki Gunung Wilis kurang lebih 500 meter, penulis sendiri pernah mendampingi Poeze bersama dua keluarga Tan Malaka yakni Zulfikar Kamarudin dan HM Ibarsyah Ishak, SH yang juga Government Relation Pusat Tamadun Melayu Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
"Meskipun agak berbau mistis ada dugaan kuat sebelum dikuburkan ke pemakaman yang berada di Ledokan berdekatan dengan makam Mbah Selopanggung yang membuka desa ini, Tan Malaka dikuburkan di lokasi ini,dugaan kami ini kuat, sebab ini juga dalam rangka untuk menghilangkan jejak oleh Pasukan Brigade S," ujar Poeze.
Lokasi yang dimaksudkan Poeze tersebut tepat ditimur lokasi dimana berkas-berkas yang dibawa pasukan Brigade S dibakar selama satu minggu tidak habis sebelum akhirnya pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung.
Disinggung tentang lokasi Tan Malaka yang tewas dan dibunuh di pinggir Sungai Brantas Desa Petok Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri Poeze mambantah keras. "Yang tewas dan dimakamkan di sana itu bukan Tan Malaka tetapi anak buahnya yang berjumlah tiga orang. Dugaan kuat kami Tan Malaka berada di Desa Selopanggung," katanya.
Baca juga:
Kisah Tan Malaka ditangkap atas restu Rp 100 ribu dari Soekarno
Kisah Tan Malaka dapat surat wasiat Soekarno buat jadi presiden
Hari ini, 65 tahun lalu Tan Malaka ditembak mati tentara
Menelusuri perjalanan panjang Tan Malaka di Kediri
Tragis, seumur hidup berjuang, Tan Malaka tak ikut Proklamasi RI
-
Di mana rumah masa kecil Tan Malaka berada? Salah satu jejak sejarah yang saat ini masih tersisa yakni rumahnya yang berada di Limapuluh Kota, Sumatera Barat.
-
Kapan Rumah Hantu Malioboro buka? Objek wisata ini buka setiap hari mulai pukul 18.00 hingga 22.00.
-
Dimana lokasi Jembatan Talang Bululawang? Jembatan Talang Bululawang (Waterbrug te Boeloelawang Malang) terletak di dua desa, yaitu Desa Bululawang dan Desa Krebet Senggrong, Kabupaten Malang.
-
Di mana es di Bulan terbentuk? Ketika Bulan berada di luar ekor magnet, permukaan Bulan terkena angin surya. “Di dalam ekor magnet, hampir tidak ada proton angin surya dan pembentukan air diharapkan turun hampir menjadi nol,” ungkap dia.
-
Kapan Waduk Kembangan buka? Jam operasional Waduk Kembangan adalah setiap hari, mulai pukul 07.00 hingga 19.30 WIB.
-
Kapan Taman Ghanjaran buka? Tamah Ghanjaran byka setiap hari mulai pukul 07.30 WIB hingga pukul 22.00 WIB.