Niilai Putusan Langgar UU Pemilu, Eks Kuasa Hukum Rizieq Beberkan Dugaan Pelanggaran Etik Anwar Usman Cs
Hal itu dikatakan Alamsyah Hanafiah saat bersaksi terkait laporan dugaan pelanggaran etik Anwar Usman Cs.
Hal itu dikatakan Alamsyah Hanafiah saat bersaksi terkait laporan dugaan pelanggaran etik Anwar Usman Cs.
Niilai Putusan Langgar UU Pemilu, Eks Kuasa Hukum Rizieq Beberkan Dugaan Pelanggaran Etik Anwar Usman Cs
Majelis Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MKMK) menggelar sidang lanjutan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi terkait putusan batas usia capres-cawapres pada Kamis (2/11).
- Sertijab Kasad, Jenderal Maruli Simanjuntak Resmi Gantikan Jenderal Agus Subiyanto
- KPK Jawab Gugatan Praperadilan Syahrul Yasin Limpo: Semua Dalil Pemohon Tidak Berdasar
- Usut Dugaan Pelanggaran Etik Anwar Usman Cs, Begini Tugas dan Wewenang Majelis Kehormatan MK
- Perjalanan Kasus Dugaan Korupsi yang Menjerat Mentan Syahrul Yasin Limpo
Sidang dipimpin langsung Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.
Adapun sidang ini diagendakan memeriksa lima pelapor yakni Perhimpunan Pemuda Madani, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, BEM Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), advokat Alamsyah Hanafiah, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI) via daring.
Masing-masing perkara pelapor itu tercatat dalam Akta Registrasi Laporan atau Temuan Pelanggaran (ARLTP) bernomor 7, 8, 9, 19, dan 20 MKMK/L/ARLTP/X/2023.
Dalam sidang hari ini, Advokat Alamsyah Hanafiah melaporkan tiga hakim, yakni Anwar Usman, Manahan Empi Sitompul, M Guntur Hamzah yang menyetujui putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 karena dinilai bertentangan dengan Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Jadi Mahkamah Konsitusi bertentangan dengan konstitusi karena hakim konstitusi membuat aturan sendiri mengambil alih kewenangan presiden dan DPR, menambahkan frasa 'sedang dalam jabatan'. Kalimat ini adalah penambahan undang-undang, sedangkan dalam undang-undang Pemilu umur 40 itu tidak bisa dimaknai dengan norma karena umur 40 itu angka eksakta," beber Alamsyah.
Oleh sebab itu, Alamsyah mengatakan bahwa yang berwenang membuat undang-undang adalah lembaga pembuat undang undang bukan Mahkamah Konsitusi.
Atas tuntutannya tersebut, Alamsyah meminta agar ketiga hakim konstitusi itu untuk diberhentikan.
"Harapannya agar tiga hakim konstitusi yang menyetujui untuk mengabulkan itu diberhentikan tidak dengan hormat. Supaya Mahkamah Konstitusi ini kembali marwah dan martabatnya," tegas Alamsyah.
Alamsyah bahkan menyebut akan lebih baik jika kesembilan hakim diberhentikan keseluruhan.
"Sebaiknya 9-nya diberhentikan semuanya, namun kalau diberhentikan semuanya tidak ada yang menyidang," tambah Alamsyah.
Nantinya, jika hakim terbukti melakukan pelanggaran etik maka hal ini akan menghambat langkah Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto untuk melenggang ke kontestasi Pemilu. Otomatis pendaftaran di KPU menurut Alamsyah bisa dianulir karena dasarnya putusan konsitusi bukan UU Pemilu.
"Otomatis putusan itu mempengaruhi di KPU karena dia (bisa) mendaftar atas putusan Mahkamah Konstitusi, bukan berdasarkan Undang-Undang usia 35. Karena pernah menjadi wali kota, jadi bisa mendaftar apalagi putusannya menyatakan hakim melanggar undang-undang sehingga membuat ambil alih," ujar Alamsyah yang pernah menjadi kuasa hukum Rizieq Syihab dalam kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan.
PHBI Minta MKMK Usut Tuntas Perubahan Frasa Putusan MK
Ketua Badan Pengurus Nasional Pusat Bantuan Hukum dan Indonesia (PBHI), Julius Ibrani membeberkan penambahan frasa tersebut tidak tercantum dalam permohonan perbaikan. PBHI melayangkan lima tuntutan dalam sidang.
"Kami tidak temukan ada di dalam perbaikan permohonan dan juga di bagian petitum, di mana ada penambahan klausa yang awalnya diajukan 'dimaknai berusia 40 tahun atau pernah menjadi kepala daerah atau berpengalaman menjadi kepala daerah di kabupaten atau provinsi' kemudian digabungkan di dalam amar putusannya adalah dengan menambah klausa 'atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum kepala daerah'," jelas Julius.
Julius menjabarkan bahwa secara gramatikal, frasa tersebut berpengaruh secara signifikan.
"Secara gramatikal juga memiliki makna yang berbeda. Secara teknis kami mengajukan pertimbangan apabila diajukan pada saat berpengalaman maka diartikan dapat menyelesaikan seluruh periode jabatannya 5 tahun dan selesai diberbagai macam level pemerintahan. Namun ketika ditambah 'sedang', kami berasumsi dengan kuat satu jam saja setelah dia dilantik dua jam saja setelah dilantik dapat dimaknai 'sedang'," papar dia.
"Bayangkan apabila seorang walikota baru dua jam dia dilantik dan dalam kondisi sedang menduduki jabatan dipilih melalui pemilu selama dua jam itu kemudian dia pindah bergeser menjadi cawapres," kata Julius.
Menurut Julius, perbedaan ini harus diperjelas sedetail mungkin dalam PKPU nanti. Sehubungan dengan hal tersebut, PBHI meminta kepada MKMK untuk menelusuri bagaimana asal muasal penambahan klausa tersebut.
Mahasiswa Unusia Banjir Pujian MKMK
Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana, menerima pujian dari Ketua MKMK Jimly Asshiqqie.
Diketahui Brahma menggugat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat capres-cawapres dan mengajukan permintaan uji materiel (judicial review) atas putusan tersebut dan tidak mengikutsertakan Anwar Usman dalam sidang.
Adapun Permintaan tersebut sudah teregister dengan nomor perkara 141/PUU-XXI/2023 dan akan disidangkan 8 November mendatang.
"Ini menarik yang diajukan Unsyiah ini. Jadi ya ini kasus pertama undang-undang yang sudah diputus oleh MK diuji lagi. Lalu tadi minta supaya hakim terlapor tidak hadir dalam persidangan. Para pihak itu punya hak ingkar untuk tidak diperiksa oleh hakim yang tidak bisa dipercaya oleh para pihak maka nanti majelis hakim hanya 8, maka hanya perdebatan 4 dan 5 akan berbeda komposisi ya," kata Jimly.
"Ini kreatif, mahasiswa nahdatul ulama perlu kita apresiasi," puji Jimly.