Kontroversi Pernyataan Dimyati soal 'Wanita Tidak Seharusnya Dibebani Tugas Berat Seperti Menjadi Gubernur'
Penggunaan istilah atau narasi yang mengesankan pemuliaan perempuan dengan menjauhkannya dari ruang publik adalah bentuk marginalisasi.
Pernyataan mengejutkan disampaikan oleh Calon Wakil Gubernur Banten nomor urut 2, Dimyati Natakusumah, dalam sesi tanya jawab pada debat Pilkada Banten. Debat tersebut berlangsung di Auditorium Menara Bank Mega Kompleks Transmedia pada Rabu, 16 Oktober 2024.
Dalam kesempatan itu, Dimyati yang berpasangan dengan Andra Soni sebagai calon gubernur, ditanya oleh Ade Sumardi, calon wakil gubernur dari Airin Rachmi nomor urut 1, mengenai langkah untuk menangani maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di Banten.
- Makna Rakyat Jelata yang Berarti Golongan Masyarakat Lapisan Bawah, Kini Punya Konotasi Negatif
- Golkar Respons Pernyataan Kontroversi Cawagub Banten Dimyati: Kita juga Punya Presiden Perempuan
- Cawagub Banten Dimyati Tuai Kritik Karena Bicara Isu Sensitif soal Wanita di Debat
- Penembak Mati Warga Merangin Ditangkap, Satu Pelaku Perempuan
Jawaban yang diberikan oleh Dimyati dianggap menyudutkan perempuan dan terkesan patriarki. Ia menyatakan, “Wanita itu lebih harus mendapatkan perhatian, karena memang wanita itu spesial, maka kita harus melindungi wanita, ya, rasulullah juga mengatakan, bahwa yang memuliakan wanita itu akan mendapatkan kemuliaan, oleh sebab itu wanita itu jangan terlalu dikasih beban berat, apalagi jadi gubernur itu berat, lho. Luar biasa. Maka sebab itu laki-lakilah harus membantu memaksimalkan bagaimana Banten ini maju.”
Dimyati juga menambahkan, “Kalau tidak memuliakan wanita, wanita disuruh bekerja terlalu berat, keras, menjadi seorang pemimpin, maka kasihan wanita tersebut. Muliakan wanita itu dengan yang enak-enak, muliakan wanita dengan kemudahan, maka wanita harus diberikan pendidikan yang tinggi, pendidikan yang bagus, ke depan tantangan Banten makin berat.”
Pernyataan ini kemudian memicu kontroversi di masyarakat. Alih-alih menyerang lawan debatnya, yaitu cagub Airin Rachmi, pernyataan Dimyati justru dianggap merendahkan posisi perempuan.
Kontroversi ini menunjukkan betapa pentingnya sensitivitas dalam berbicara mengenai isu gender, terutama dalam konteks pemilihan umum yang melibatkan perwakilan perempuan.
Masyarakat berharap agar para calon pemimpin dapat memberikan pandangan yang lebih progresif dan mendukung kesetaraan gender, bukan justru memperkuat stereotip yang ada.
Terkait pernyataan kontroversial yang disampaikan oleh Cagub Banten nomor urut 2, Titi Anggraini, seorang pengamat politik dari Perludem, memberikan tanggapan saat dihubungi oleh Tim Regional Liputan6.com pada Kamis (17/10). Ia menegaskan bahwa keberadaan dan peran perempuan dalam politik serta pemerintahan seharusnya tidak menjadi bahan perdebatan.
Dalam sistem demokrasi, perempuan berhak untuk memilih, dipilih, dan berpartisipasi sebagai penyelenggara negara. Titi menyatakan, "Pola pikir yang mendomestifikasi perempuan dan meragukan kapasitas serta kompetensinya untuk terlibat dalam pemerintahan dan kehidupan bernegara merupakan bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia."
Ia juga menyoroti bahwa penggunaan istilah atau narasi yang mengesankan pemuliaan perempuan dengan menjauhkannya dari ruang publik adalah bentuk marginalisasi.
Lebih lanjut, Titi menambahkan, "(Pernyataan itu) sama sekali jauh dari tindakan memuliakan perempuan. Justru pernyataan tersebut sangat mendiskriminasi dan memarginalisasi perempuan dari ranah politik dan publik. Pernyataan tersebut sangat tidak relevan dan sangat memundurkan eksistensi perempuan dalam tata kelola pemerintahan."
Menurutnya, pernyataan tersebut sangat disayangkan. Seharusnya, seorang calon kepala daerah atau wakil kepala daerah sudah memahami paradigma serta konsepsi yang adil dan setara gender. Titi mengusulkan agar debat seharusnya fokus pada pengujian dan elaborasi ide, gagasan, serta program dari pasangan calon.
"Mestinya, tidak ada lagi isu soal kepemimpinan perempuan di tengah praktik demokrasi konstitusional yang dipraktikkan Indonesia," tegasnya.
Dengan demikian, penting bagi semua pihak untuk menyadari bahwa peran perempuan dalam politik adalah bagian integral dari pembangunan demokrasi yang sehat.