Fakta Menarik Pareh, Film Hindia Belanda yang Sukses di Pasaran Tapi Bikin Produsernya Bangkrut
Film produksi era Kolonial Belanda ini tuai pujian saat ditayangkan di luar negeri, namun masyarakat Pribumi merasa kecewa dengan hasilnya.
Film produksi era Kolonial Belanda ini tuai pujian saat ditayangkan di luar negeri, namun masyarakat Pribumi merasa kecewa dengan hasilnya.
Fakta Menarik Pareh, Film Hindia Belanda yang Sukses di Pasaran Tapi Bikin Produsernya Bangkrut
Perkembangan film di Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Era kolonial Belanda menjadi momen penting lahirnya dunia perfilman meski mendapat reaksi yang tuai pro dan kontra.
Pareh merupakan salah satu film produksi Hindia Belanda pada tahun 1936 yang disutradarai oleh Albert Balink dan Mannus Franken dari Belanda. Aktor pada film ini dibintangi oleh seorang pribumi bernama Raden Mochtar dan Doenaesih. Film ini menceritakan kisah cinta terlarang antara seorang nelayan dan putri petani. (Foto: Pixabay)
-
Apa yang dihasilkan oleh Wong Bersaudara dalam industri film Hindia Belanda? Film berjudul Lily van Java menjadi film produksi etnis Tionghoa pertama dan menjadi film fiksi terpanjang kedua setelah Loetoeng Kasaroeng di Hindia Belanda. Nelson pun bertanggung jawab sebagai sutradara dan juru kamera di bawah perusahaan Halimoen Film.
-
Kenapa Hari Film Sedunia diperingati? Hari Film Sedunia bertujuan untuk mempromosikan pemahaman lintas budaya dan kreativitas yang dihasilkan oleh industri film.
-
Film apa yang dibintangi oleh Indah Permatasari? Film horor terbaru yang dibintangi Indah berjudul Sakaratul Maut, membuat penasaran dengan aktingnya.
-
Film apa yang sedang di promosikan Indah Permatasari? Indah Permatasari telah lama terjun ke dunia akting, membintangi berbagai film dan serial. Meski telah menikah dan memiliki anak, kecintaannya terhadap seni peran tak pernah surut. Biasanya terlihat dalam postingan Instagram saat mengurus suami dan anak sebagai ibu rumah tangga, kali ini Indah Permatasari tampil stunning di gala premiere film terbarunya.
-
Dimana film-film yang diulas dalam artikel ini akan tayang? Ada berita baik bagi para penggemar film. Selama bulan Juli 2024, beberapa film layar lebar terbaik akan menghiasi bioskop-bioskop.
-
Bagaimana perkembangan film Indonesia di tahun 1970-an? Medo 1970-an, film Indonesia mengalami perkembangan yagn pesat. Produksi film meningkat, akses bioskop meluas, dan genre semakin beragam. Film yang dihasilkan pun masih bisa diikuti hingga saat ini, seperti "Badai pasti berlalu".
Dihimpun dari beberapa sumber, Raden Mochtar berperan sebagai seorang nelayan bernama Mahmud ini jatuh cinta dengan seorang wanita bernama Wagini yang diperankan oleh Doenaesih, putri dari seorang petani. Akan tetapi, takhayul yang berkembang pada saat itu meramalkan jika hubungan mereka membawa petaka.
Film dengan durasi 92 menit ini mendapatkan berbagai respons. Bagi orang-orang asing, film ini tergolong sukses dan membuat decak kagum. Namun, bagi kalangan pribumi, alur film ini sungguh mengecewakan dan tidak berkesan.
Pekerjakan Orang Tionghoa
Dikutip dari beberapa sumber, sang sutradara Albert Balink yang berprofesi sebagai jurnalis Belanda ini sudah memulai proyek filmnya pada tahun 1934. Namun, dirinya yang kurang berpengalaman dan ingin menargetkan penonton orang Belanda, ia akhirnya memperkerjakan dua anggota Wong Bersaudara.
Wong Bersaudara yang juga kakak adik berdarah Tionghoa ini akhirnya menyumbangkan studio mereka, seperti pabrik tepung tapioka hingga peralatan film milik mereka. Untuk pendanaannya, diperkirakan berasal dari pengusaha film bernama Buse.
Balink bersama Wong Bersaudara menghabiskan waktu hampir dua tahun untuk mengumpulkan dana dan Balink sendiri sempat bertugas di Java Pacific Film. Dengan mengedepankan konsep film yang sempurna, Balink sempat kebingungan.
Tidak seperti pembuat film pada umumnya, Balink justru membuang banyak waktu, tenaga, dan uang hanya untuk mencari lokasi dan juga aktor bagus terlepas dari sosoknya yang terkenal atau tidak. (Foto: Wikipedia)
Unsur Ketidaksengajaan
Peran seorang Mahmud pun akhirnya bertemu dengan cara tidak sengaja. Pada saat itu, Balink sedang berkumpul bersama Wong Bersaudara bertemu seorang pemuda tinggi, kuat, dan tampan (sesuai harapan mereka).
Pria tersebut dalam posisi sedang mengemudi. Balink bersama Wong Bersaudara pun bergegas untuk mengejarnya. Rupanya, pria yang dimaksud itu adalah Raden Mochtar yang merupakan seorang Priyayi Jawa. Ia juga diminta untuk menggunakan gelar "Raden" dalam film tersebut.
- Kisah Wong Bersaudara, Pelopor Produksi Film Fiksi Pertama dan Terpanjang Masa Hindia Belanda
- The Teng Chun, Produser Keturunan Tionghoa yang Sukses Merintis Perusahaan Film di Hindia Belanda
- Sejarah 14 Maret 1931: Perilisan Bersejarah Alam Ara, Film Bersuara Pertama di India
- Fakta Menarik Film Legendaris "Resia Boroboedoer", Kontrak Bintang Film Panas Tapi Gagal di Pasaran
Tonjolkan Budaya Lokal
Setelah menemukan pemeran utamanya, Balink membawa Mannus Franken untuk mengarahkan artistik dan penulisan naskah. Franken sendiri memaksa agar dalam film ini terdapat unsur etnografis dengan menampilkan budaya-budaya lokal.
Franken pun tertarik untuk menangani aspek dokumenter dan etnografis dalam film Pareh sekaligus sebagai sutradara adegan. Sementara Wong Bersaudara bertugas adegan-adegan umum.
Film ini masih murni direkam dengan lensa kamera 35 mm dengan peralatan sistem tunggal. Lalu, hasil rekamannya itu dibawa ke Belanda untuk disunting dan suara-suara pemerannya diisi oleh suara aktor Belanda. Hal ini menimbulkan kesan bahasa yang bercampur dan aksen Belanda yang kental.
Tuai Perhatian Hingga Gagal Balik Modal
Film yang menghabiskan dana kurang lebih 75.000 gulden itu ternyata biaya itu sangat mahal dan melebihi biaya produksi film pada umumnya. Pareh pun resmi tayang pada tanggal 20 November 1936 dengan judul Pareh, een Rijstlied van Java. Di luar negeri, film Pareh sendiri diberi judul Pareh, Song of the Rice.
Setelah rilis, film ini mendapatkan pujian dari orang-orang Belanda karena campur tangan dari Franken. Namun, respons ini berbanding terbalik dengan orang-orang pribumi. Film tersebut justru tidak diminati dan mendapatkan banyak kritikan termasuk dari budayawan nasional Armijn Pane.
Uniknya dari film ini adalah dari segi teknis berjalan cukup sukses, akan tetapi dari segi biaya, Pareh justru gagal mengembalikan biaya produksi yang cukup besar dan membuat produsernya bangkrut.