Kelenteng See Hien Kiong, Bukti Sejarah Budaya Tionghoa di Tanah Minang
Kelenteng See Hien Kiong ini berdiri pada 1861 dan awalnya diberi nama Kwan Im Teng sebagai penghormatan kepada Dewi Kwan Im.
Kelenteng See Hien Kiong ini berdiri pada 1861 dan awalnya diberi nama Kwan Im Teng sebagai penghormatan kepada Dewi Kwan Im.
Kelenteng See Hien Kiong, Bukti Sejarah Budaya Tionghoa di Tanah Minang
Keberadaan kelenteng di suatu daerah menjadi bukti jika orang-orang etnis Tionghoa bisa hidup rukun dengan masyarakat sekitar.
Di Padang, banyak dijumpai orang-orang etnis Tionghoa yang bermata pencaharian sebagai pedagang atau saudagar.
Hubungan perdagangan dengan masyarakat Minang sudah terjalin cukup lama, yakni saat etnis Tionghoa melakukan perdagangan internasional dengan raja Nusantara. (Foto: Wikipedia)
-
Apa isi dari surat kabar Soenting Melajoe? Terbit pertama kali pada 10 Juli 1912, isi dari surat kabar Soenting Melajoe ini seperti tajuk rencana, sajak-sajak, tulisan atau karya mengenai perempuan, hingga tulisan riwayat tokoh-tokoh kenamaan.
-
Di mana bukti penyebaran tungau ditemukan? Ini berdasarkan temuan baru para arkeolog di situs garnisun Romawi di Vindolanda di Northumberland, di selatan Tembok Hadrian.
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Apa itu Keteng-keteng? Keteng-keteng Memiliki Senar Seperti disinggung sebelumnya, alat musik ini memiliki bentuk menyerupai gitar. Di sana, terdapat tiga senar namun bukan berbahan nilon atau logam melainkan dari kulit bambu itu sendiri.Mengutip Instagram @sumut.berbudaya, senar menjadi unsur melodis dari alat musik ini. Dengan adanya senar, suaranya menjadi mendayu dan merdu.Senar juga yang membuat suaranya semakin beragam, tergantuk proses penyetemannya dan sisi mana yang dipukul.
-
Kapan Rohana Kudus mendirikan surat kabar Soenting Melajoe? Sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia, Rohana Kudus mendirikan surat kabar khusus perempuan yang ia pimpin sendiri, bernama Soenting Melajoe pada 10 Juli 1912.
Melansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, pada abad ke-13, ketika jalur perdagangan lada dibuka di bagian Pantai Barat Sumatra, jumlah imigran Tionghoa semakin meningkat drastis. Hal ini ditambah dengan keberhasilan VOC berhasil mengambil alih Padang dan Pariaman dari Aceh pada abad 17.
Dengan meningkatnya orang-orang Tionghoa yang menetap di Kota Padang, maka didirikanlah sebuah rumah ibadah untuk mendukung mereka dalam beribadah, salah satunya Kelenteng See Hien Kiong ini.
Sejarah Singkat
Melansir dari berbagai sumber, Kelenteng See Hien Kiong ini berdiri pada 1861 dan awalnya diberi nama Kwan Im Teng sebagai penghormatan kepada Dewi Kwan Im.
Kelenteng tersebut sempat terbakar akibat kelalaian dari pendeta. Akhirnya Kelenteng Kwan Im Teng ini kembali dibangun oleh Kapten Lie Goan Hoat, Letnan Lem Soen Mo, dan Lie Bian Ek.
Dana yang dikumpulkan berasal dari pinjaman, sedangkan beban biaya pembayarannya diambil dari pajak dan hasil pasar.
Pembangunan pun rampung pada tahun 1905 yang kemudian berganti nama menjadi See Hien Kiong. ”Se” berarti barat dan kependekan dari Se Tjong, ”Hin” berarti timbul atau terbit.
Arsitektur Bangunan
Sejak awal berdirinya kelenteng ini, hampir seluruh material bangunan terbuat dari kayu dengan atap dari rumbia atau seng. Ketika pembangunan kembali pasca kebakaran, sempat menemui kesulitan lantaran sulitnya mencari tukang kayu.
Dari segi bangunan, Kelenteng See Hien Kiong ini berdiri di lahan seluas 27,5 x 20,5 meter atau 559,64 meter persegi. Untuk ukuran bangunannya sendiri kira-kira mencapai 240,25 meter persegi. (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Kelenteng Satu-satunya di Sumatra Barat
Melansir dari kanal merdeka.com, kelenteng ini menjadi salah satu bangunan istimewa karena merupakan satu-satunya yang ada di Sumatra Barat.
Klenteng ini terdiri atas 2 bangunan utama. Bangunan depan terdiri dari serambi depan dan ada pintu masuk berukuran besar, serta ruang dalam yang difungsikan sebagai ruang tunggu.
Kemudian di bangunan kedua, ada tempat altar yang biasa digunakan untuk berdoa dan membakar hio. Di luar bangunan utama, di sebelah kiri dan kanan klenteng terdapat bangunan lain yang digunakan sebagai tempat menyimpan peralatan keagamaan.
Hancur Akibat Gempa
Melansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, pada tahun 2009 bangunan kelenteng ini kembali hancur akibat gempa bumi yang melanda Kota Padang. Padahal, bangunan ini sudah terdaftar sebagai bangunan cagar budaya.
Secara fungsi, kelenteng ini menjadi tempat beribadah bagi etnis Tionghoa yang beragama Tao, Konghucu, dan Buddha (yang dikenal dengan Tridharma).
Mereka juga melaksanakan ritual ibadah kepada Dewi Kwam In dan kepada arwah leluhur yang biasanya dilakukan hampir setiap hari.
Kelenteng ini menjadi salah satu budaya etnis Tionghoa yang hidup di zaman kolonial Belanda.