Melihat Jejak Etnis Tionghoa di Tanah Minang, Berawal dari Berdagang hingga Hidup Berbudaya dengan Masyarakat Lokal
Kedatangan etnis Tionghoa ke daerah Minangkabau tentu saja tidak lepas dari aktivitas perdagangan di Nusantara. Mereka menetap lalu hidup berdampingan.
Kedatangan etnis Tionghoa ke daerah Minangkabau tentu saja tidak lepas dari aktivitas perdagangan di Nusantara. Mereka menetap lalu hidup berdampingan dengan warga lokal.
Melihat Jejak Etnis Tionghoa di Tanah Minang, Berawal dari Berdagang hingga Hidup Berbudaya dengan Masyarakat Lokal
Era perdagangan rempah menjadi momen penting dalam sejarah Nusantara khususnya kehadiran etnis Tionghoa. Bukan hanya bangsa Eropa, orang-orang Cina pun juga berbondong-bondong datang ke Nusantara untuk berdagang dan mengadu nasib di berbagai kota.
Pulau Sumatra menjadi salah satu wilayah penting dalam aktivitas perdagangan. Akses jalur lautnya (Selat Malaka) menjadi jalur utama kapal-kapal dagang berukuran besar berlalu-lalang di kawasan Nusantara. Begitu juga bangsa Cina yang singgah kemudian menetap di suatu daerah.
(Foto: Wikipedia)
-
Mengapa etnis Tionghoa berkembang pesat di Tangerang? Etnis Tionghoa memang berkembang pesat di Kota Tangerang, dan menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia sejak abad ke-15. Saking berkembangnya etnis Tionghoa di Tangerang, tokoh kekaisaran terkenal asal negeri Tirai Bambu, Laksamana Cheng Ho pernah bertandang.
-
Bagaimana sejarah Museum di Puro Mangkunegaran? Museum ini terletak tak jauh dari Balai Kota Solo, berdasarkan sejarahnya, museum ini sudah dibangun sejak tahun 1867 dan dulunya digunakan sebagai kantor untuk De Javasche Bank Agentschap Soerakarta.
-
Apa itu peribahasa Minangkabau? Sebuah pepatah umumnya berisi pesan dan makna yang diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi hidup. Setiap daerah bahkan punya pepatahnya masing-masing. Salah satunya adalah pepatah Minang.
-
Bagaimana upaya Kutai Timur untuk melestarikan budayanya? Di beberapa desa dan kawasan, ada yang masih menerapkan norma-norma adat. Kami mengedepankan pendekatan itu untuk mengatasi berbagai persoalan, sekaligus ikut melestarikan budayanya," kata Kasmidi.
-
Bagaimana cara penduduk Desa Nagari Pariangan mempertahankan budaya dan sejarah mereka? Dalam menjunjung tinggi nilai sejarah, masyarakat setempat pun bisa menjadikan situs peninggalan hanya dengan sepetak sawah saja. Seperti sawah milik Gadang Satampang Baniah merupakan sawah pertama yang dibuka untuk leluhur masyarakat Minang yang dijadikan cagar budaya.
-
Bagaimana cara mengenal budaya dan sejarah Toraja secara lebih dalam? Untuk mengenal lebih dalam sejarah dan kebudayaan Toraja, Museum Ne’ Gandeng adalah tempat yang tepat.
Mengutip situs jalurrempah.kemdikbud.go.id, orang-orang Cina yang berniaga tepatnya pada abad ke-17 telah mendirikan pemukiman di daerah Pariaman dan menjadi pemukiman etnis Tionghoa pertama di kawasan Pantai Barat Sumatra.
Lebih dari sekedar menetap, etnis Tionghoa rupanya juga hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar. Lantas, seperti apa jejak mereka di tanah Minang? Simak informasi selengkapnya yang dirangkum merdeka.com dari berbagai sumber berikut ini.
Awal Kedatangan
Mengutip situs indonesia.go.id, kedatangan pertama etnis Tionghoa di Tanah Minang ini diperkirakan masuk dari Pantai Barat Sumatra. Menurut catatan Christine Dobbin, telah menemukan sebuah bukti jika orang-orang Cina sudah bermukim di Padang yang berasal dari Jawa sekitar tahun 1630-an.
Menurutnya, kapal niaga milik Tionghoa itu sudah bersandar di Pariaman sejak awal abad ke-17. Mereka datang bersama dengan agen yang berasal dari Banten untuk mencari rempah dan garam serta beberapa di antaranya sudah mendirikan usaha.
Mudah Beradaptasi
Kedatangan orang-orang Cina di Padang sangat disambut baik. Hal ini disebabkan faktor karakter mereka yang memiliki kemiripan, salah satunya etos berdagang. Kemudian, mereka cukup cepat beradaptasi dengan kehidupan masyarakat lokal, yaitu Suku Minangkabau.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang Cina dengan masyarakat Minangkabau memiliki hubungan yang harmonis. Namun, pihak Belanda tampak tidak suka kemudian mencoba untuk memisahkan kedua belah pihak.
Pemerintah kolonial pun memisahkan area residensial antara orang Cina dengan penduduk asli. Pemisahan ini bertujuan untuk pembangunan ekonomi dengan mengubah sistem tata kotanya. Kebijakan ini kemudian menjalar hingga pendidikan dan birokrasi.
Pemerintah kolonial pun memberikan hak istimewa kepada orang-orang Cina karena mereka cenderung lebih mudah diajak kerja sama ketimbang orang-orang asli (Minangkabau).
- Mengenal Orang Piliang, Marga Induk Minangkabau dengan Sub Suku yang Beragam
- Mengenal Kudok, Senjata Tradisional Bumi Besemah Sumsel yang Digunakan untuk Berkebun
- Mengenal Suku Togutil, Kelompok Etnis yang Hidup secara Nomaden di Kawasan Hutan Pulau Halmahera
- Mengenal Tulak Bala, Tradisi Khas Masyarakat Pesisir Pantai Barat Aceh
Terjadi Percampuran Budaya
Meski pemerintah kolonial sudah memberikan sekat-sekat antara orang Cina dan penduduk lokal, namun terjadinya percampuran suatu budaya tentu tidak dapat dihindari. Salah satunya dalam tradisi upacara pernikahan orang Cina di Padang yang turut melaksanakan prosesi pelemparan beras kunyit.
Di sektor kesenian, di Pondokan Cina terdapat kesenian gambang yang merupakan hasil wujud dari ekspresi berbagai kelompok dan individu sebagai simbol identitas kedaerahan atau domisilinya.
Penggunaan bahasa rupanya juga terjadi percampuran suku kata antara bahasa Cina dan Minang. Contohnya saja seperti Cidang atau Cici Gadang untuk penyebutan perempuan lebih tua. Cici artinya kakak perempuan dan Gadang dalam bahasa Minang artinya besar.
Kemudian, di sektor bisnis juga demikian. Nama-nama warung milik orang Cina Padang mayoritas menggunakan bahasa Minang. Biasanya mereka menjual kopi atau es durian dengan nama-nama khas Minang.