Benarkah Kerja Keras Tanpa Istirahat Jadi Satu-Satunya Faktor Kesuksesan?
Tidak sedikit perusahaan yang menuntut pekerjanya untuk tetap bekerja di hari libur dan membuat karyawannya tak memiliki waktu istirahat.
Hustle culture adalah budaya yang membuat seseorang bekerja terlalu keras tanpa meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat dan cenderung menjadikannya sebagai gaya hidup.
Benarkah Kerja Keras Tanpa Istirahat Jadi Satu-Satunya Faktor Kesuksesan?
Benarkah Kerja Keras Tanpa Istirahat Jadi Satu-Satunya Faktor Kesuksesan?
Budaya kerja manipulatif (hustle culture) akhir-akhir ini dinilai sebagai tolak ukur kinerja atau produktivitas generasi muda. Sebab, saat ini pemikirinnya yaitu kesuksesan hanya dapat diperoleh dengan kerja keras.
Dilansir dari akun Youtube Hujan Tanda Tanya, Jumat (6/10), hustle culture sering disamakan dengan istilah over-work. Sayangnya, masih banyak orang-orang yang mengglorifikasi over-work, meski tahu dampak negatif yang didapat dari budaya kerja ini.
- Kisah Pengangguran Sukses Bisnis Pisang Keju Modal Rp10 Juta, Kini Omzet Rp60 Juta per Bulan
- Dulu Paling Miskin di Desa dan Punya Banyak Utang, Agus Kini Jadi Tukang Kebun Sukses yang Punya HAKI
- Ingin Mulai Bisnis dari Nol, Ini Tahapan yang Perlu Diperhatikan
- Fisik Tak Sempurna dan Sering Dikucilkan, Pria 26 Tahun Ini Sukses Jadi Konten Kreator untuk 25 Kafe
Hustle culture adalah budaya yang membuat seseorang bekerja terlalu keras tanpa meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat dan cenderung menjadikannya sebagai gaya hidup.
Budaya kerja manipulatif ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama di berbagai negara dengan nama yang berbeda. Contohnya budaya kerja '996' di China, yakni periode bekerja 12 jam selama 6 hari.
Contoh lain adalah, Karoshi di Jepang hingga pernah menyebabkan kematian. Pada tahun 2017, seorang reporter pemerintah media NHK, Miwa Sado, meninggal dunia akibat lembur selama 159 jam.
Merdeka.com
Ada dua sebab yang menyebabkan seseorang terjebak dalam perilaku hustle culture. Pertama, disebabkan oleh tuntutan perusahaan. Dan kedua, akibat pola pikir yang tertanam dalam pribadi seseorang.
Beberapa perusahaan mempekerjakan karyawan dengan sangat keras karena ada target yang harus dicapai. Tidak sedikit perusahaan yang menuntut pekerjanya untuk tetap bekerja di hari libur dan membuat karyawannya tak memiliki waktu istirahat. Dalam kondisi ini, seseorang biasanya terpaksa melakukan hustle culture.
Sedangkan, faktor internal yang disebabkan oleh pola pikir seseorang biasanya meyakini bahwa aspek kehidupan yang penting dalam hidup mereka adalah bekerja non stop.
Sebenarnya, keinginan untuk meraih kesuksesan dengan bekerja keras tidak sepenuhnya salah. Namun, yang salah adalah pemahaman untuk melakukan pekerjaan tanpa istirahat dengan mengesampingkan aspek kehidupan lainnya, terutama kesehatan.
Dilihat dari dampaknya, hustle culture ini perlu dihindari. Seseorang harus mampu memperhatikan ritme dan durasi kerja yang seimbang agar tak terjebak dalam budaya kerja ini. Pemerintah juga harus bisa menindak tegas perusahaan yang melanggar hukum dan mempekerjakan karyawan secara berlebihan.