Pemerintah Mulai Kenakan Pajak Karbon PLTU April 2022, Bakal Diperluas pada 2025
Per tanggal 1 April 2022, pemerintah akan mengenakan pajak karbon kepada PLTU batubara sebagai upaya untuk menekan emisi yang dihasilkan dari pembakaran. Tak hanya PLTU batubara, pada 2025 pengenaan pajak karbon juga akan diperluas pemerintah setelah peta jalan pajak karbon telah rampung disusun.
Per tanggal 1 April 2022, pemerintah akan mengenakan pajak karbon kepada PLTU batubara sebagai upaya untuk menekan emisi yang dihasilkan dari pembakaran. Tak hanya PLTU batubara, pada 2025 pengenaan pajak karbon juga akan diperluas pemerintah setelah peta jalan pajak karbon telah rampung disusun.
"Komunikasi dan kolaborasi kami sangat erat dengan DPR dan disepakati perluasan sektor ini akan dilihat sekitar tahun 2025," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, di Jakarta, Rabu (23/2).
-
Apa itu pajak? Pungutan Wajib KBBI mendefinisikan pajak sebagai pungutan wajib untuk penduduk kepada negara atas pendapatan, pemilikan, dan lainnya.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan P.K. Ojong meninggal? Sebulan kemudian, Ojong meninggal dunia pada 31 Mei 1980.
-
Bagaimana rokok merusak paru-paru? Akumulasi zat-zat berbahaya dari asap rokok dalam jangka panjang menyebabkan iritasi dan peradangan kronis pada paru-paru, mengurangi kemampuan organ ini untuk bekerja dengan optimal.
-
Siapa penemu ember tumpuk? Sudah sejak lama ia mengembangkan inovasi pengolahan sampah sisa makanan lewat metode ember tumpuk. Ia melakukan penelitian terkait ember tumpuk sudah sejak tahun 2000.
-
Kapan Teuku Nyak Makam wafat? Teuku Nyak Makam meninggal pada 21 Juli 1896. Tepat pada hari ini adalah 128 tahun wafatnya Teuku Nyak Makam yang patut dikenang oleh masyarakat Indonesia.
Febrio menjelaskan, untuk pertama kalinya Indonesia akan memungut pajak karbon dengan mekanisme pajak batas emisi (cap and tax). Tarif yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yakni Rp 30 per kilogram CO2.
Pungutan pajak karbon ini juga akan diperluas ke sektor lainnya yang saat ini tengah disusun pemerintah dan DPR dalam peta jalan pajak karbon. Dalam peta jalan yang disusun terdapat strategi penurunan emisi karbon yang menyasar sektor prioritas.
"Sasaran sektor prioritas ini memperhatikan pembangunan energi baru terbarukan yang diatur lebih lanjut dengan PP dan (dalam) peta jalan karbon ini juga ada implementasinya," kata dia,
Hingga kini memang belum ada target selanjutnya sektor yang akan dikenakan pajak karbon. Alasannya, pemerintah ingin melihat lebih dulu proses transisi yang tepat dan konsistennya pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi. Hal ini sesuai dengan tahapan target pemerintah yang akan dikombinasikan tentang pajak karbon.
"Sekarang lagi dikaji di Kementerian Luar Negeri dan kami akan melakukan konstelasi publik dengan berbagai pihak untuk penentuannya," kata dia.
Kemenkeu: Tak Semua Aktivitas yang Menghasilkan CO2 Dipungut Pajak Karbon
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan pajak karbon tidak berarti pengenaan biaya dari setiap emisi karbondioksida yang dikeluarkan dalam aktivitas bisnis. Pajak karbon merupakan instrumen pajak yang digunakan menuju Indonesia bebas emisi karbon.
"Pajak karbon bukan pajak atas emisi karbon dari pengusaha yang melakukan produksi," kata Suahasil dalam Sosialisasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan di Malang, Jawa Timur, Jumat (21/1).
Suahasil menjelaskan tidak semua aktivitas yang menghasilkan emisi karbon akan dikenai pajak. Dalam regulasi ini, pemerintah ingin melakukan kompensasi aktivitas yang menghasilkan emisi dengan karbon kredit.
Dia mencontohkan bila sebuah perusahaan menghasilkan 100 ribu ton karbondioksida, maka emisi tersebut harus dikompensasi dengan karbon kredit seperti kegiatan yang menjaga hutan. Karbon kredit tersebut bisa dibeli dari pihak-pihak yang menjualnya.
Namun bila sudah membeli karbon kredit tetapi tidak memenuhi batas yang sama dari emisi yang dilepaskan, maka bisa membayar pajak karbon ke pemerintah.
"Kalau karbon yang dikeluarkan bisa dibeli tapi masih kurang, ada alternatifnya yaitu bayar pajak karbon supaya impas," kata dia.
Dia mengakatan perdagangan karbon akan banyak diminati karena banyak sektor usaha yang bakal membeli karbon kredit. Misalnya perusahaan penerbangan yang dalam aktivitas bisnisnya mengeluarkan emisi. Mereka akan tertarik dengan konsep ini dalam rangka menjaga keberlanjutan bumi dan bisnisnya.
"Banyak perusahaan penerbangan dunia yang mau bayar ke negara yang menjaga hutannya, kedepan banyak yang makin ingin itu," kata dia.
Namun, saat ini pengenaan pajak karbon untuk tahap awal akan diterapkan di sektor pembangkit listrik. PLTU yang menggunakan batubara sebagai penghasil energi akan mulai menjalankan konsep ini dengan membeli karbon kredit dari PLTA atau pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan. Mengingat di sektor yang sama ada yang menghasilkan banyak emisi, ada juga yang menghemat pelepasan emisi karbon.
Bila PLTU batubara sudah membeli karbon kredit dari PLTA misalnya, maka tidak perlu membayar pajak karbon. Namun bila sudah membeli tetapi masih kurang seimbang dengan emisi yang dilepaskan, maka bisa membayar pajak karbon.
"Jadi bukan pajak atas emisi," kata dia.
Di masa depan pengenaan pajak karbon tidak akan dikenakan untuk sektor pembangkit listri saja. Melainkan sektor-sektor lain yang menghasilkan emisi karbon lainnya. Saat ini, Mekanisme perdagangan karbon ini kata Suahasil sedang disiapkan pemerintah dan regulator. Dia menyebut sistemnya tidak akan jauh berbeda dengan perdagangan di pasar modal. Tentunya akan juga diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
(mdk/bim)