Pengamat Minta Pemerintah Kaji 3 Hal Ini Sebelum Naikkan Tarif PPN 12 Persen
Ajib Hamdani menilai, opsi menaikkan tarif PPN ini menjadi sebuah dilema dalam konteks perekonomian nasional.
Ajib menyebut, setidaknya ada tiga regulasi yang harus dicermati secara seksama. Apa saja?
- PPN Naik Jadi 12 Persen Mulai Januari 2025, Pengusaha Pelajari Stimulus Diberi Pemerintah
- PPN 12% Resmi Berlaku 1 Januari 2025, Ini yang Perlu Anda Ketahui Tentang Dampaknya
- Hitung-Hitungan PPN 12 Persen, Ternyata Kenaikan Dirasakan Masyarakat Capai 20 Persen dalam 4 Tahun
- Siap-Siap, Tahun 2025 PPN Naik Jadi 12 Persen!
Pengamat Minta Pemerintah Kaji 3 Hal Ini Sebelum Naikkan Tarif PPN 12 Persen
Nampaknya pemerintah enggan menunda kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang.
Sebab, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kebijakan ini akan memberikan tambahan terhadap nilai pendapatan negara dari pajak.
Analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani menilai, opsi menaikkan tarif PPN ini menjadi sebuah dilema dalam konteks perekonomian nasional.
Dia menyebut setidaknya ada tiga regulasi yang harus dicermati secara seksama.
Pertama dari sisi regulasi, pemerintah memang mempunyai ruang untuk membuat kebijakan menaikkan tarif PPN.
Ini sesuai dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 7 ayat (1), di mana tarif PPN sebesar 12 persen yang berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Menurutnya, pasal ini bisa menjadi konsideran pemerintah dalam menaikkan tarif.
Tetapi, di sisi lain, pemerintah juga bisa melakukan penyesuaian waktu atau penundaan, seperti halnya tentang kebijakan pajak karbon yang dilakukan banyak penyesuaian, padahal sudah diatur dalam pasal 13 UU HPP.
"Artinya, realitas lapangan dan kondisi perekonomian bisa menjadi pertimbangan dalam membuat dan menjalankan kebijakan," kata Ajib dalam keterangan tertulisnya kepada Merdeka.com, Rabu (15/5).
Kedua, dari sisi keuangan negara. Sesuai fungsi utama perpajakan untuk aspek budgeteir, pemerintah mendesain keuangan negara bertumpu secara signifikan terhadap penerimaan pajak, termasuk penerimaan sektor PPN.
Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2023, kata Ajib, penerimaan sektor PPN dan PPNBM mencapai kisaran 764 triliun.
Apabila pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen tahun 2025 penerimaan PPN bisa tereskalasi sekitar 80 triliun tambahan.
"Asumsi perhitungannya, tingkat pertumbuhan ekonomi 2024 dan 2025 di kisaran 5 persen-an dan tingkat inflasi 2 persen-an," jelasnya.
Ketiga, sudut pandang perekonomian nasional. Dia menyampaikan kenaikan tarif PPN akan memberikan dampak pada perekonomian nasional atas dua sisi, yaitu pelaku usaha dan daya beli masyarakat.
"Pada prinsipnya PPN adalah pajak yang dikenakan pada konsumen akhir, atau ditanggung oleh masyarakat luas. Sehingga secara umum, akan memberikan tekanan terhadap daya beli masyarakat," tutur Ajib.
Di sisi lain, ketika pelaku usaha meng-absorb kenaikan tarif PPN ke dalam Harga Pokok Penjualan (HPP), hal ini bisa mengurangi keuntungan perusahaan dan menjadi sentimen negatif dalam pengembangan usaha.
Ajib menegaskan, pemerintah seharusnya membuat fokus penerimaan negara dengan skala prioritas yang lebih luas, yaitu atas empat hal pokok yakni pajak, cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan optimalisasi deviden BUMN.
Sementara dalam konteks BUMN, Kementerian Keuangan sebagai perpanjangan tangan pemerintah sebagai pemegang saham, seharusnya membuat benchmarking dengan private sector, berapa deviden yang ideal dari BUMN, termasuk ukuran kuantitatif atas perhitungan return on asset (ROA) nya.
"Secara umum, kebijakan kenaikan tarif PPN perlu dikaji ulang, karena kebijakan ini akan menjadi disinsentif fiskal yang memberikan tekanan terhadap perekonomian yang sedang dalam tren positif,"
pungkas Ajib.
merdeka.com