Pulau di Thailand Ini Olah Sampah Plastik dan Dijual ke Swiss
Plastik yang dikumpulkan dilabeli "ocean bound" dengan proses audit tahunan.
Koh Chang yang merupakan sebuah pulau di selatan Thailand, kini tidak hanya jadi destinasi wisata, tetapi menjadi tempat pengumpulan sampah plastik dari laut. Masyarakat Moken yang semi nomaden dan tinggal di desa-desa nelayan ini bukan bergantung pada hasil laut saja, melainkan juga mengumpulkan sampah plastik untuk dijual kepada sebuah startup dari Swiss, yaitu Tide.
Melansir CNA, Tide didirikan pada 2019 berkontribusi dalam upaya menciptakan nilai dari plastik bekas yang dikumpulkan di laut atau sekitarnya. Menurut data dari OECD, lebih dari 6 juta ton plastik mengotori laut setiap tahunnya.
- Plastik Sekali Pakai Dilarang di Ibu Kota Nusantara
- Diserang Produk Impor, Industri Manufaktur Butuh Aturan Perlindungan
- Ini Perubahan Aturan Buat Kontainer yang Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak Akhirnya Bisa Dilepas
- Sampah Plastik Asal China hingga Vietnam Terdampar di Pantai Kawasan Natuna Kepulauan Riau
Oleh karena itu, Tide mencoba mengatasi masalah ini dengan bekerja langsung dengan pengumpul plastik di desa-desa terpencil di Thailand hingga pabrik karpet di Belanda, seperti Condor Group. Plastik yang dikumpulkan dilabeli "ocean bound" dengan proses audit tahunan oleh LSM untuk memastikan transparansinya.
Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Hanya sebagian kecil dari sampah yang dapat didaur ulang secara komersial. Tide hanya membeli enam kategori plastik, termasuk jaring ikan, botol PET, dan karton HDPE.
“Setiap hari, ada banyak produk yang tidak bisa dijual atau didaur ulang. Saya yakin jumlahnya jauh lebih banyak di laut,” kata Direktur Operasional Tide Thailand, Nirattisai Ponputi.
Tide menggunakan teknologi khusus untuk mendaur ulang plastik menjadi produk yang sebanding kualitasnya dengan plastik baru. Tak heran jika kedatangan kapal Tide di Koh Chang memicu kesibukan masyarakatnya, terutama saat warga membawa karung-karung berisi botol plastik, jaring ikan bekas, hingga jerrycan usang.
Sistem Penetapan Harga dan Kesulitan Pengelolaan
Tide membayar tarif tetap di Koh Chang untuk mendorong pengumpulan sampah secara konsisten, meski harga plastik daur ulang di pasar tidak stabil. Tide bahkan mengambil barang-barang yang tidak bisa didaur ulang karena tidak ada opsi manajemen sampah lain di pulau tersebut, selain pembakaran terbuka.
Proses daur ulang pun rumit, dengan beberapa botol yang harus dicuci dengan panas dan plastik berwarna yang berisiko mencemari material daur ulang. Misalnya botol minuman PET, sering kali memiliki tutup HDPE dan label PVC, yang harus disortir dengan teliti.
Terkadang, identifikasi jenis plastik menjadi tantangan tersendiri, sehingga Tide menggunakan spektrometer untuk menentukan apa saja yang bisa didaur ulang.
Dari Limbah Jadi Produk
Sampah plastik yang dikumpulkan dari Koh Chang dan sekitarnya dikirim ke fasilitas Tide di Ranong, tempat pekerja memilah sampah kembali sebelum dipres menjadi bal.
Plastik yang terkumpul kemudian diproses menjadi pelet dan dikirim ke pelanggan seperti Condor Group di Eropa, yang menggunakan bahan daur ulang untuk sekitar seperempat produknya, mulai dari permadani hingga rumput sintetis.
Meski produk Tide 40 persen lebih mahal dibanding plastik baru, pelanggan seperti Condor Group siap membayar lebih untuk berkontribusi demi mendorong keberlanjutan.
"Kami melihat keberlanjutan bukan hanya sebagai tren, tetapi sebagai tanggung jawab bagi generasi mendatang," kata Direktur Condor Group, Hoekman Jr.
Di sisi lain, bagi warga Koh Chang seperti Wiranuch Scimone, mengatakan jumlah sampah plastik yang terbawa ombak musim hujan sangat besar. Hal itu menyebabkan dirinya tidak mampu mengumpulkan semua sampah plastik. Meski demikian, Tide berencana akan memperluas jangkauannya ke Ghana di masa mendatang, dengan harapan bisa menjadi awal dari gelombang baru dalam pengelolaan sampah plastik di laut.
Reporter Magang: Thalita Dewanty