Raksasa Properti China Rugi Besar, Ratusan Rumah Tak Laku Dijual
Banyak pengembang terlilit utang hingga gagal membayar utang dan menunda pembangunan proyek perumahan yang telah terjual sebelumnya.
Salah satu raksasa pengembang properti China, Kaisa Group, mengalami kerugian bersih lebih besar pada laporan keuangan paruh pertama tahun 2024. Kondisi ini dipicu tingginya biaya logistik.
Melansir Reuters, properti merupakan sektor dengan kontribusi terbesar bagi perekonomian China. Namun, sejak tahun 2021, sektor ini mengalami anjlok parah dengan penjualan rumah menurun sekitar 6,5 persen.
- China dan Arab Tertarik Biayai Proyek 3 Juta Rumah Besutan Presiden Prabowo
- Orang Kaya China Banyak Borong Rumah Mewah di Kuala Lumpur, Ternyata Ini Alasannya
- Kejagung Buka Suara Terkait Sosok HL, Pemilik Rumah di PIK Digeledah Dalam Kasus Korupsi Timah
- Insentif Pajak Dongkrak Pembelian Properti, Kenaikan Suku Bunga Geser Tren KPR
Penjualan properti yang melambat menyebabkan sejumlah pengerjaan pembangunan rumah berpotensi mangkrak, dengan pertimbangan likuiditas.
Pada saat yang sama, banyak pengembang berjuang dengan inventaris yang tidak terjual, proyek yang tertunda, dan nilai properti yang menurun, yang menyiratkan perlunya mengakui kerugian penurunan nilai yang lebih tinggi pada proyek properti.
Awal bulan ini, rekan-rekan termasuk Agile Group, Redsun Properties dan Sunac China semuanya menandai kerugian yang lebih besar atau serupa untuk semester ini.
Kaisa memperkirakan kerugian bersih sebesar 8,8 miliar yuan hingga 9,8 miliar yuan untuk semester yang berakhir pada 30 Juni. Perusahaan telah melaporkan kerugian bersih sebesar 6,6 miliar yuan untuk periode tahun sebelumnya.
Banyak pengembang properti gagal bayar utang
Kelamnya sektor properti di China juga ditandai dari banyaknya pengembang terlilit utang hingga gagal membayar utang dan menunda pembangunan proyek perumahan yang telah terjual sebelumnya.
Sementara pihak berwenang telah meningkatkan langkah-langkah untuk menopang sektor properti yang dilanda krisis. Termasuk memfasilitasi 300 miliar yuan (Rp676 triliun) untuk membersihkan persediaan perumahan yang besar, memangkas pembayaran uang muka, dan melonggarkan aturan hipotek.
Namun, analis yakin langkah-langkah ini tidak akan banyak membantu menyerap persediaan perumahan yang besar. Pencabutan pembatasan pembelian rumah di kota-kota besar mungkin akan semakin meredam sentimen pembelian di kota-kota kecil.
"Kebijakan terbaru telah mendorong pasar rumah bekas di kota-kota besar, tetapi masalah likuiditas perusahaan real estat belum mereda dan krisis kepercayaan di pasar rumah baru belum teratasi," kata ekonom senior di Economist Intelligence Unit, Xu Tianchen.
Perlu diketahui China telah menetapkan target pertumbuhan sekitar 5% tahun ini. Namun angka itu dianggap ambisius oleh banyak ekonom.
China tahun lalu mencatat salah satu tingkat pertumbuhan tahunan terburuk sejak tahun 1990, meskipun tiga bulan pertama tahun 2024 melampaui ekspektasi. Dana Moneter Internasional (IMF) sendiri baru-baru ini meningkatkan prospeknya untuk tahun ini sehubungan dengan janji langkah-langkah dukungan yang lebih banyak.
Selain masalah properti, China juga kini menghadapi tantangan ekonomi dengan menurunnya permintaan konsumen. Kepala bank sentral China (PBoC) Pan Gongsheng mengatakan perekonomian sedang berjuang dengan permintaan efektif yang tidak mencukupi, sirkulasi domestik yang tidak lancar, dan meningkatnya kompleksitas, keparahan dan ketidakpastian lingkungan eksternal.