Bisnis Gelap Perusahaan Mesir, Raup Rp 32 Miliar Per Hari Dari Warga Palestina yang Ingin Keluar dari Gaza
Bisnis Gelap Perusahaan Mesir, Raup Rp 32 Miliar Per Hari Dari Warga Palestina yang Ingin Keluar dari Gaza
Perusahaan yang dimiliki orang dekat Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi meraup pendapatan sekitar Rp1,9 triliun dalam waktu tiga bulan dari warga Palestina yang melarikan diri dari perang Israel di Gaza.
Bisnis Gelap Perusahaan Mesir, Raup Rp 32 Miliar Per Hari Dari Warga Palestina yang Ingin Keluar dari Gaza
Investigasi Middle East Eye mengungkapkan, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh pengusaha Mesir, Hala Consulting and tourism Services, mamasang tarif Rp 80,5 juta untuk orang dewasa dan Rp 40,2 juta untuk anak-anak di bawah 16 tahun warga Palestina yang ingin menyeberang dari Rafah, Gaza ke Mesir.
Mereka memonopoli penyediaan layanan transfer di penyeberangan Rafah, yang menjadi satu-satunya jalan keluar dari wilayah pesisir bagi warga Gaza yang tidak berbatasan langsung dengan Israel.
Israel telah menutup semua penyeberangan darat lainnya bagi warga Palestina sejak serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober lalu.
Secara teori, pemerintah Mesir mengontrol penyeberangan tersebut. Namun Israel, yang merupakan penjajah di Jalur Gaza di bawah hukum internasional, memberlakukan pembatasan ketat pada pergerakan orang dan barang melalui Rafah.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan seperti Organi, Hala, meraup keuntungan besar dengan memungut biaya ribuan dolar kepada orang-orang dan truk-truk untuk masuk ke jalur tersebut, dan juga untuk keluar.
Dalam tiga bulan terakhir, perusahaan tersebut diperkirakan menghasilkan minimal Rp1,9 triliun dari warga Palestina yang putus asa dan berusaha meninggalkan perang yang melanda Gaza.
Meski diawasi oleh media internasional dalam beberapa bulan terakhir, perusahaan Hala dan Organi diketahui telah berhasil menggandakan keuntungannya dari warga Palestina pada April dengan rata-rata biaya harian melebihi Rp32 miliar, seperti dilansir Middle East Eye.
Analisis MME terhadap daftar wisatawan yang dipublikasikan secara daring oleh Hala, mengungkapkan bulan lalu perusahaan tersebut memperoleh sekitar Rp933,7 miliar dari 10.136 orang dewasa dan 2.910 anak-anak yang melintasi perbatasan melalui daftar VIP.
Rata-rata pendapatan harian dari hal ini mencapai Rp32 miliar per hari di bulan April, dua kali lipat dari perkiraan pendapatan harian di bulan Maret.
Pendapatan terbesar yang tercatat pada bulan April terjadi pada hari Selasa, ketika Hala menghasilkan Rp37 miliar dalam satu hari dari pengungsi Palestina.
Layanan transfer “VIP” Hala pertama kali tercatat pada tanggal 2 Februari. Sebelum bulan Februari, warga Palestina dikenakan biaya hingga Rp 117 juta per orang dewasa untuk meninggalkan Gaza, hingga akhirnya Hala memonopoli bisnis dan menetapkan biaya standar.
Sebelumnya, sumber-sumber Palestina dan Mesir melapor pada MME bahwa beberapa perantara terlibat dalam mengkoordinasi keluarnya warga Palestina dengan cara yang serampangan dan tidak terdesentralisasi.
Sebelum perang, biaya yang dikenakan oleh Hala untuk penyeberangan Rafah hanya Rp5,6 juta per orang, kini biaya tersebut meningkat 14 kali lipat bagi warga Palestina.
Berdasarkan daftar wisatawan yang diterbitkan sejak 2 Februari, MEE mengungkapkan keuntungan Hala dari warga Palestina mungkin setidaknya Rp 335 miliar di bulan Februari, Rp 619,7 miliar di bulan Maret, dan Rp 933,6 miliar di bulan April.
Penghitungannya didasarkan pada 23 daftar yang diterbitkan pada bulan Februari, 30 pada bulan Maret dan 30 pada bulan April. Perkiraan ini tidak memperhitungkan potensi keuntungan yang diperoleh dalam empat bulan pertama perang, saat bisnis penyeberangan Rafah belum dimonopoli oleh Hala.
Tidak ada catatan publik mengenai keuntungan Hala sejak 7 Oktober hingga akhir Januari.
Menurut duta besar Palestina di Kairo, Diab Allouh, diperkirakan sekitar 80.000-100.000 warga Palestina telah meninggalkan Gaza lewat Mesir sejak perang dimulai.
Pendapatan yang diperoleh Hala dan perusahaan Organi lainnya tidak tunduk pada pengawasan apa pun, dan tidak ada catatan publik yang tersedia untuk memeriksa ke mana uang tersebut dibelanjakan atau siapa yang diuntungkan darinya.
Mohannad Sabry, seorang penulis Mesir dan pakar Sinai, mengatakan tidak mengherankan jika negara Mesir tidak melakukan apapun untuk menghentikan Organi yang memanfaatkan keputusasaan warga Palestina.
"Organi adalah kedok bagi negara dan bisnis milik militer serta kebijakan-kebijakan mereka di Mesir. Dia adalah roda penggerak dalam mesin korup yang gelap yang beroperasi dengan kekebalan hukum," katanya kepada MEE.
Menurut Sabry, masalah dengan aktivitas bisnis Organi merupakan bagian dari sistem ekonomi yang lebih besar dan buram yang dikendalikan oleh militer Mesir.
Sabry menggambarkan sistem ini sebagai "kotak hitam", dengan mengatakan tidak hanya rincian cara kerjanya yang masih menjadi misteri, tetapi tidak ada seorangpun di Mesir yang diizinkan untuk mencari informasi tentangnya.
Organi adalah orang dekat presiden dan militer Mesir, dan secara luas dianggap sebagai tokoh suku dan bisnis yang paling berpengaruh di Semenanjung Sinai, seperti yang dilaporkan Middle East Eye sebelumnya.
Pada Januari 2022, Sisi menunjuk Organi sebagai anggota Otoritas Pembangunan Sinai, sebuah badan negara dengan kontrol eksklusif atas kegiatan pembangunan dan konstruksi di semenanjung tersebut.
Mesir berulang kali membantah tuduhan mereka mengambil keuntungan dari penderitaan warga Palestina.
Pada Februari, Menteri Luar Negeri Sameh Shoukry membantah pemerintahnya memanfaatkan biaya transfer penyeberangan yang dibebankan oleh Hala.
"Seharusnya tidak ada keuntungan yang diambil dari situasi ini untuk mendapatkan keuntungan finansial," katanya.
Namun, dua bulan setelahnya, Hala terus membebankan biaya yang sangat tinggi kepada warga Palestina
MEE telah berulang kali meminta komentar kepada perusahaan induk Hala, Organi Group, dan pemerintah Mesir, namun belum mendapatkan tanggapan hingga berita ini diterbitkan.