Gurun Sahara Mulai Menghijau, Benarkah Pertanda Bencana Besar? Begini Penjelasan Ilmuwan
Sahara sebelumnya dinobatkan sebagai salah satu tempat paling gersang di dunia.
Salah satu tempat paling gersang di dunia berubah menjadi hijau setelah curah hujan yang tidak biasa.
Satelit baru-baru ini menangkap kehidupan tanaman yang mekar di atas Afrika di bagian Gurun Sahara selatan setelah pola cuaca yang tidak biasa membawa hujan lebat dan bahkan banjir, seperti dikutip dari laman KPTV, Rabu (18/9).
-
Apa yang terjadi di Gurun Sahara? Dalam sebuah peristiwa yang luar biasa dan dramatis, sebagian dari Gurun Sahara mengalami banjir hebat setelah dua hari hujan deras di Maroko tenggara, yang melebihi rata-rata curah hujan tahunan daerah tersebut.
-
Mengapa Gurun Sahara bersalju? Dilansir dari thetravelintern.com, diketahui bahwa Gurun Sahara pernah diselimuti salju putih pada tahun 2018.Namun, salju tersebut hanya bertahan selama satu hari sebelum akhirnya mencair karena panasnya terik matahari.
-
Apa yang terlihat di Gurun Sahara? “Di atas Sahara ya. Kita sudah terbang beratus-ratus miles, tetap saja di bawah itu tidak ada kehidupan karena hanya gurun pasir dan batu karang,“ Dia pun mengalihkan kamera ke luar pesawat yang menampilkan birunya langit di tengah panas terik matahari. Kontras Birunya Langit dengan Coklat Pasir Sejauh mata memandang, hanya terlihat hamparan pasir yang menakjubkan.
-
Kenapa Gurun Sahara berubah begitu cepat? Tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan ini.
-
Apa yang terjadi di Sahara? Selama periode-periode 'penghijauan,' bukti menunjukkan Sahara pernah ditumbuhi tumbuhan, dengan sungai, danau, dan hewan yang bergantung pada air seperti kuda nil.
-
Bagaimana Sahara bisa hijau? Periode 'penghijauan' ini diyakini dipicu oleh perubahan kondisi orbit Bumi, khususnya presesi orbit Bumi, yakni bagaimana Bumi berputar pada porosnya, yang mempengaruhi musim, selama siklus sekitar 21.000 tahun.
Para ilmuwan mengatakan pemanasan global akibat polusi bahan bakar fosil membuat kedua hal tersebut lebih mungkin terjadi.
Biasanya curah hujan di sebelah utara khatulistiwa di Afrika meningkat mulai bulan Juli hingga September saat Musim Monsun Afrika Barat mulai berlangsung.
Fenomena ini ditandai dengan meningkatnya cuaca yang terjadi saat udara tropis lembab dari dekat khatulistiwa bertemu dengan udara panas dari bagian utara benua, pertemuan kedua peristiwa ini disebut dengan Zona Konvergensi Intertropis.
Tetapi, sejak pertengahan Juli, zona ini telah bergeser lebih jauh ke utara daripada biasanya hingga ke Sahara selatan termasuk sebagian negara Niger, Chad, Sudan, bahkan hingga ke utara Libya, menurut data dari Pusat Prediksi Iklim NOAA.
Akibatnya, wilayah Sahara bagian selatan ini menjadi 2 hingga 6 kali lebih basah dari biasanya.
Transisi dari El Nino ke La Nina telah mempengaruhi seberapa jauh zona ini bergerak ke utara musim panas ini, kata Karsten Haustein, seorang peneliti iklim di Universitas Leipzig di Jerman.
"Zona Konvergensi Intertropis, yang menjadi alasan penghijauan Afrika, bergerak lebih jauh ke utara seiring dengan semakin hangatnya dunia,” jelas Haustein, dikutip dari CNN.
Sebuah studi yang diterbitkan jurnal Nature pada Juni lalu, menemukan pergeseran lebih jauh ke utara di zona ini dapat terjadi lebih sering dalam beberapa dekade mendatang karena kadar karbon dioksida, produk sisa bahan bakar fosil seperti sampah bahkan asap meningkat dan bumi menghangat.
Pertanda Bencana Besar
Perubahan ini tidak hanya mengubah gurun menjadi hijau, tetapi juga mengganggu musim badai Atlantik.
Negara-negara yang seharusnya mendapatkan lebih banyak curah hujan justru mendapat lebih sedikit curah hujan karena curah hujan yang bergeser ke utara sedangkan wilayah yang tidak siap dengan kedatangan curah hujan seperti Nigeria dan Kamerun, Chad, Sudan, Libya dan Mesir mengalami banjir dahsyat yang sangat merugikan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkap curah hujan yang berlebihan ini menyebabkan banjir besar di wilayah Chad. Hampir dari 1,5 juta orang terkena dampak dan sedikitnya 340 orang tewas akibat banjir di negara tersebut pada musim panas.
Selain Chad, Nigeria juga mengalami hal yang sama, banjir telah menewaskan lebih dari 220 orang dan menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi ke wilayah utara yang biasanya lebih kering. Banjir juga melanda Sudan pada akhir Agustus, menewaskan sedikitnya 132 orang dan menghancurkan 12.000 rumah penduduk.
Menurut Haustein, peristiwa banjir semacam ini kemungkinan memiliki jejak perubahan iklim. Saat bumi menghangat, bumi akan mampu menahan lebih banyak uap air. Hal ini dapat menyebabkan musim hujan yang lebih basah dan banjir yang lebih dahsyat seperti musim ini.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan seberapa besar peran perubahan iklim dalam setiap peristiwa banjir, tetapi ini bisa menjadi pertanda hal-hal yang akan datang, kata Haustien.
“Setiap kejadian tunggal dipengaruhi oleh perubahan iklim,” kata Haustein.
“Meskipun, tidak ada satupun banjir yang secara langsung disebabkan oleh perubahan iklim, kemungkinan terjadinya banjir menjadi lebih besar.”
Reporter Magang: Elma Pinkan Yulianti