Matahari Tiba-Tiba Berubah Menjadi Biru 200 Tahun Lalu, Ilmuwan Ungkap Penyebabnya
Matahari tiba-tiba berubah warna mulai dari ungu, hijau, dan biru pada bulan Agustus sekitar 200 tahun lalu.
Sekitar 200 tahun lalu, matahari secara misterius tiba-tiba berubah menjadi warna biru, bukan kuning. Ilmuwan sejak lama mencari tahu penyebab fenomena ini, dan baru belakangan akhirnya misteri tersebut terjawab.
Pada musim semi-panas tahun 1831, sebuah gunung api di Bumi meletus. Kejadian ini mengirimkan sejumlah besar sulfur dioksida ke atmosfer, menyebabkan pendinginan global, dan Bumi mengalami kondisi iklim yang aneh.
-
Apa yang menyebabkan perubahan siklus matahari? Diperkirakan, kutub magnet matahari akan berganti arah setiap 11 tahun.
-
Apa penyebab langit biru? Karena panjang gelombang cahaya merah (700nm) sekitar 1,7 kali lebih besar daripada panjang gelombang cahaya biru (400nm), partikel udara kecil di atmosfer kita menghamburkan gelombang panjang sinar matahari (merah) kurang efektif daripada gelombang pendek sinar biru.
-
Apa yang menyebabkan peningkatan aktivitas matahari? Diperkirakan, perubahan kutub magnetik matahari akan terjadi setiap 11 tahun, yang menyebabkan matahari bertransformasi dari kondisi tenang menjadi aktif dan penuh dengan badai.
-
Kapan cahaya biru muncul? Dilansir laman the Jerusalem Post, sejumlah kamera pemantau keamanan di salah satu perumahan penduduk menangkap kilatan cahaya biru di langit sekitar tiga menit sebelum gempa terjadi.
-
Bagaimana api biru di Dieng muncul? Pembakaran gas belerang bawah permukaan tanah menghasilkan api biru yang menakjubkan di malam hari di kawah Sikidang.
-
Kenapa matahari semakin panas? Kenapa matahari semakin panas? Jawaban: Karena matahari buka cabang dimana-mana.
Pendinginan global sebesar 1 derajat Celcius tidak hanya menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan di seluruh dunia, namun muncul kejadian aneh Matahari tampak hijau, ungu, dan bahkan biru di bulan Agustus.
Pada saat itu, para ilmuwan telah mengetahui gunung berapi kemungkinan besar menjadi penyebabnya, namun tidak mengetahui gunung api di wilayah mana. Namun dalam studi baru dari para ilmuwan di Universitas St. Andrews di Inggris, penyebabnya adalah gunung berapi Zavaritskii di kepulauan Kuril di barat laut Jepang, seperti dikutip dari laman Popular Mechanics, Senin (13/1).
Penulis utama studi tersebut, Dr. William Hutchison dari Universitas St. Andrew, mengatakan terobosan dalam kasus cuaca dingin (di luar musimnya) ini terjadi berkat kemajuan teknologi yang memungkinkan analisis lebih banyak bukti vulkanik. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS).
“Baru dalam beberapa tahun terakhir kami mengembangkan kemampuan untuk mengekstraksi pecahan abu mikroskopis dari inti es kutub dan melakukan analisis kimia terperinci terhadapnya,” jelas Hutchison dalam pernyataan pers.
“Pecahan ini berukuran sangat kecil, kira-kira sepersepuluh diameter rambut manusia.”
Perbandingan Sampel
Setelah para ilmuwan di Rusia dan Jepang mengirimkan sampel yang dikumpulkan beberapa dekade lalu dari gunung berapi terpencil di pulau Simushir yang tidak berpenghuni, Hutchison dan rekan-rekannya membandingkan sampel tersebut dengan pecahan abu kutub dan menemukan bahwa Zavaritskii sama persis.
“Saya tidak percaya jumlahnya sama. Setelah itu, saya menghabiskan banyak waktu untuk menyelidiki usia dan ukuran letusan di Kuril untuk benar-benar meyakinkan diri sendiri bahwa letusan tersebut nyata,” jelasnya.
Hutchison menyatakan, mempelajari sebanyak mungkin peristiwa ledakan ini dapat membantu mempersiapkan dunia ketika letusan besar berikutnya tiba.
“Ada begitu banyak gunung berapi seperti ini, yang menunjukkan betapa sulitnya memprediksi kapan atau di mana letusan berkekuatan besar berikutnya akan terjadi,” kata Hutchison dalam pernyataan pers.
“Sebagai ilmuwan dan masyarakat, kita perlu mempertimbangkan bagaimana mengoordinasikan respons internasional ketika letusan besar berikutnya, seperti yang terjadi pada tahun 1831, terjadi,” pungkasnya.