Sisi Gelap Sang Putra Mahkota Muhammad bin Salman, Palsukan Tanda Tangan Raja Salman Sampai Beli Lukisan Rp7 Triliun
Pemalsuan tanda tangan ini diduga dilakukan terkait persetujuan pengerahan pasukan darat ke Yaman untuk memerangi Houthi.
Sebuah dokumenter yang dirilis BBC mengungkap sisi gelap putra mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman atau yang dikenal dengan sebutan MBS.
MBS adalah putra kesayangan ayahnya, Raja Salman bin Abdulaziz. Sebelum diangkat menjadi putra mahkota, calon raja pengganti ayahnya, MBS menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Tim dokumenter BBC mewawancarai sejumlah kawan maupun lawan dari MBS, termasuk mata-mata dan diplomat dari negara Barat. Dikutip dari BBC, tim telah meminta tanggapan dari pemerintah Saudi terkait klaim yang ditayangkan dalam dokumenter maupun artikel ini, namun mereka tidak menanggapinya.
Salah satu yang diwawancarai adalah mantan ajudan mantan putra mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Nayef, Saad Al-Jabri. Jabri kini hidup di pengasingan di Kanada.
Jabri menyebut MBS pernah memalsukan tanda tangan ayahnya, Raja Salman, untuk mengerahkan pasukan ke Yaman, ketika MBS menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Al-Jabri, yang merupakan tokoh kunci dalam komunitas intelijen Saudi, menyatakan bahwa MBS, yang saat itu menjabat sebagai menteri pertahanan, adalah kekuatan utama di balik intervensi militer tahun 2015 yang didukung AS melawan gerakan Houthi dan pasukan sekutu di militer Yaman.
“Kami memulai perang pada bulan Maret (2015) dan MBS mendorong intervensi darat. MBN (Muhammad bin Nayef) – yang merupakan putra mahkota – mengatakan tidak. Tentara kami belum teruji dan kami rasa mereka tidak akan berhasil," kata Jabri dalam dokumenter berjudul The Kingdom: The World’s Most Powerful Prince tersebut, seperti dilansir Middle East Monitor.
“Jadi MBN mengeluarkan keputusan raja untuk mencegah intervensi darat. Belakangan, kami terkejut karena ada keputusan kerajaan yang mengizinkan intervensi darat.”
Al-Jabri menegaskan klaimnya mempunyai sumber terpercaya di Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi yang mengkonfirmasi pemalsuan tersebut.
Mantan Kepala Badan Intelijen Inggris atau M16, Sir John Sawers, mengatakan bahwa meskipun dia tidak tahu apakah pihak kerajaan memalsukan dokumen tersebut, “jelas bahwa ini adalah keputusan MBS untuk melakukan intervensi militer di Yaman. Itu bukan keputusan ayahnya, meski ayahnya ikut serta dalam keputusan itu.”
Operasi militer pasukan gabungan Arab Saudi-Uni Emirat Arab di Yaman telah membunuh hampir 400.000 orang dan membuat 4,5 juta orang mengungsi, menurut perkiraan PBB. Serangan udara yang dipimpin Saudi membunuh hampir 9.000 orang dan melukai 10.000 lainnya.
Dugaan Rencana Pembunuhan
Dikutip dari BBC, sebelum Salman bin Abdulaziz diangkat sebagai raja, MBS tampaknya sangat tidak sabar menunggu ayahnya menduduki singgasana sehingga pada tahun 2014, ia dilaporkan menyarankan untuk membunuh raja saat itu – Abdullah, yang juga pamannya – dengan cincin beracun, yang diperoleh dari Rusia.
“Saya tidak tahu pasti apakah dia hanya sekedar sesumbar, tapi kami menganggapnya serius,” kata Jabri.
Jabri mengatakan dia telah melihat rekaman video pengawasan MBS yang diam-diam membicarakan gagasan tersebut.
“Dia (MBS) dilarang masuk istana, berjabat tangan dengan raja, untuk jangka waktu yang cukup lama.”
Namun kemudian Raja Abdullah saat itu meninggal karena sakit. Salman kemudian naik takhta pada 2015. MBS kemudian diangkat menjadi Menteri Pertahanan.
Lukisan Rp7 Triliun
Pada 2017, MBS dilaporkan membeli lukisan Salvator Mundi seharga USD450 juta atau sekitar Rp7 triliun. Ketika itu dilaporkan seorang pangeran Saudi mewakili MBS membeli lukisan tersebut, yang digadang-gadang sebagai karya seni termahal di dunia yang pernah dijual.
Lukisan Salvator Mundi konon merupakan karya Leonardo da Vinci, menggambarkan Yesus Kristus sebagai penguasa langit dan bumi, penyelamat dunia. Selama hampir tujuh tahun, sejak dilelang, benda itu hilang sama sekali.
Bernard Haykel, teman MBS dan Profesor Studi Timur Dekat di Universitas Princeton, mengatakan meskipun ada rumor bahwa lukisan itu digantung di kapal pesiar atau istana sang pangeran, lukisan itu sebenarnya disimpan di Jenewa dan MBS bermaksud untuk menggantungnya di museum di Riyadh yang belum dibangun.
“Saya ingin membangun museum yang sangat besar di Riyadh,” Haykel mengutip perkataan MBS.
“Dan saya ingin objek jangkar yang dapat menarik perhatian orang, seperti halnya Mona Lisa.”
Pembunuhan Jamal Khashoggi
Publik sempat dihebohkan dengan pembunuhan jurnalis dan kolumnis Jamal Khashoggi pada tahun 2018. Khashoggi dibunuh saat mengurus dokumen pernikahannya di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki.
Jasadnya diduga dimutilasi dan hingga saat ini tidak pernah ditemukan. MBS diduga yang memerintahkan pembunuhan tersebut karena Khashoggi kerap mengkritik pemerintah Saudi melalui tulisan-tulisannya.
Pasukan pembunuh beranggotakan 15 orang dikirim ke Turki menggunakan paspor diplomatik dan termasuk beberapa pengawal MBS sendiri.
MBS membantah memerintahkan pembunuhan tersebut.
Profesor Haykel bertukar pesan WhatsApp dengan MBS tidak lama setelah pembunuhan tersebut.
“Saya bertanya, 'bagaimana ini bisa terjadi?',” kenang Haykel.
“Saya pikir dia sangat terkejut. Dia tidak menyadari reaksi terhadap hal ini akan begitu dalam.”
MBS selalu menyangkal mengetahui rencana tersebut, meskipun pada tahun 2019 dia mengatakan bahwa dia "bertanggung jawab” karena kejahatan terjadi di bawah pengawasannya. Laporan intelijen AS yang tidak diklasifikasikan yang dirilis pada bulan Februari 2021 menegaskan bahwa dia terlibat dalam pembunuhan Khashoggi.