Fenomena "Marriage is Scary", Ketakutan Menikah dan Dampaknya pada Generasi Muda
Benarkan pernikahan itu menakutkan hingga muncul tren "Marriage is Scary"? Ini penjelasan lebih lengkapnya.
Belakangan ini, media sosial ramai dengan tren viral bernama Marriage is Scary. Tren yang banyak diikuti oleh pengguna TikTok ini menyoroti ketakutan terhadap pernikahan, terutama dari sudut pandang perempuan. Frasa "Marriage is Scary" sendiri berasal dari bahasa Inggris yang berarti "Pernikahan Itu Menakutkan."
Awal Mula Tren dan Isi Pesan yang Disampaikan
Tren ini dimulai dengan banyaknya unggahan video yang menampilkan tulisan Marriage is Scary diikuti dengan alasan personal mengenai ketakutan terhadap pernikahan. Beberapa pengguna, misalnya, mengungkapkan kekhawatiran tentang memiliki pasangan yang suka berselingkuh atau enggan membantu pekerjaan rumah tangga. Salah satu contoh narasi yang sering muncul adalah, “Marriage is Scary, bayangin suami lo gak pernah bela lo di depan keluarga.”
Tidak hanya itu, ada pula pengguna yang mengungkapkan kecemasan terhadap pasangan yang tidak sejalan dalam prioritas hidup, seperti tidak peduli pada kebutuhan sehari-hari atau memiliki pandangan yang berbeda soal membagi tanggung jawab rumah tangga. "Denger dari sebelum-sebelumnya, cowok red flags keliatan setelah nikah karena sebelum nikah dia pinter nutup-nutupin," ujar salah satu pengguna TikTok.
Tanggapan Kontra terhadap Tren Marriage is Scary
Meski tren ini mendapatkan banyak perhatian, sejumlah warganet memberikan pandangan berbeda. Mereka yang telah menikah membagikan pengalaman positif untuk melawan stigma negatif yang muncul. Salah satu pengguna TikTok berkomentar, "Menikah itu emang menakutkan, tapi kalau dijalanin sama orang yang tepat, pasti bisa dilewatin. Penting buat skrining di awal dan nggak buru-buru nikah karena umur atau tuntutan dari luar.”
Tren Sosial dan Pengaruhnya di Negara Lain
Fenomena takut menikah ternyata bukan hanya tren media sosial semata. Di negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, kecenderungan serupa telah banyak dibahas dalam penelitian maupun publikasi media.
Di China, laporan New York Times menyebutkan bahwa angka pernikahan terus menurun selama sembilan tahun berturut-turut. Pada 2022, hanya 6,8 juta pasangan yang menikah, jumlah terendah sejak pencatatan dimulai pada 1986.
Faktor ekonomi, seperti ketidakstabilan pekerjaan, turut memengaruhi keputusan banyak orang untuk menunda pernikahan. Grace Zhang, seorang pekerja teknologi di China, menyatakan, "Ketidakstabilan seperti ini dalam hidup akan membuat orang semakin takut membuat perubahan besar dalam hidupnya.”
Di Jepang, survei oleh Recruit pada 2023 menunjukkan bahwa 40,5% perempuan enggan menikah karena merasa pernikahan akan membatasi aktivitas dan gaya hidup mereka. Sementara itu, 42,5% laki-laki menyebutkan alasan finansial sebagai penyebab utama ketidakinginan mereka untuk menikah.
Situasi di Indonesia
Di Indonesia, tren serupa terlihat dari data yang menunjukkan penurunan angka pernikahan setiap tahunnya. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, menjelaskan bahwa perubahan persepsi tentang menikah menjadi salah satu penyebabnya.
"Dulu pernikahan setahun 2 juta lebih, sekarang meski jumlah usia nikahnya masih cukup besar, tapi hanya sekitar 1,5 sampai 1,7 juta," ujar Hasto dalam kunjungannya ke Universitas Negeri Semarang.
Menurut Hasto, tujuan pernikahan di Indonesia masih dominan untuk prokreasi, namun persepsi ini mulai bergeser. Banyak yang menganggap pernikahan bukan lagi tradisi yang harus dijalankan. Penurunan keinginan menikah ini bahkan berkontribusi pada turunnya angka fertilitas di Indonesia hingga mencapai Total Fertility Rate (TFR) sebesar 2,18.
Refleksi atas Tren dan Tantangan Masa Depan
Fenomena Marriage is Scary mencerminkan kekhawatiran generasi muda terhadap realitas pernikahan di tengah tekanan sosial, ekonomi, dan budaya. Meskipun ketakutan ini valid, penting bagi masyarakat untuk memberikan edukasi tentang pentingnya memilih pasangan yang tepat dan membangun hubungan yang sehat.
Pada akhirnya, pernikahan bukan hanya tentang menjawab ekspektasi sosial, tetapi juga keputusan besar yang membutuhkan kesiapan mental, emosional, dan finansial. Tren ini menjadi pengingat untuk tidak terburu-buru menikah tanpa pertimbangan matang, sekaligus memberikan ruang untuk berdiskusi tentang realita pernikahan yang sering kali tak seindah cerita dongeng.