Tak Hanya Kasus Agus Salim! Ini 3 Penyelewengan Donasi dengan Nominal Fantastis di Indonesia
Meski donasi seharusnya digunakan untuk membantu yang membutuhkan, sejumlah kasus justru memperlihatkan dana tersebut diselewengkan.
Donasi seringkali menjadi harapan terakhir bagi mereka yang membutuhkan bantuan. Melalui kedermawanan orang lain, banyak yang berharap bisa mendapatkan perawatan medis, bantuan bencana, atau sekadar bantuan ekonomi di tengah kesulitan. Namun, apa jadinya jika dana yang dikumpulkan dengan harapan baik justru disalahgunakan? Itulah yang terjadi pada beberapa kasus penyelewengan donasi di Indonesia, termasuk kasus Agus Salim, yang menjadi korban penyiraman air keras namun justru tersandung dugaan penyalahgunaan donasi yang seharusnya digunakan untuk pengobatannya.
Agus Salim, yang sempat menjadi sorotan media setelah disiram air keras oleh rekan kerjanya, berhasil mengumpulkan donasi hingga Rp1,5 miliar untuk pengobatan. Namun, tak lama kemudian, muncul dugaan bahwa uang tersebut digunakan untuk keperluan pribadi keluarga, seperti melunasi utang dan kebutuhan sehari-hari, alih-alih untuk biaya pengobatan. Kasus ini membuat heboh media sosial, bahkan menimbulkan petisi online yang meminta agar donasi dikembalikan kepada para donatur.
Selain kasus Agus Salim, ada juga beberapa kasus penyelewengan donasi dengan jumlah yang jauh lebih besar. Berikut adalah tiga kasus lainnya yang mengguncang Indonesia:
1. Kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT): Lembaga Filantropi Besar di Balik Bantuan Kemanusiaan
Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia, yang dikenal karena membantu korban bencana dan berbagai aksi kemanusiaan. Namun, pada tahun 2022, lembaga ini terjerat skandal besar setelah terungkapnya dugaan penyelewengan dana donasi yang dikumpulkan dari masyarakat.
Kasus ini mencuat setelah media massa mengeluarkan laporan investigasi yang menunjukkan bahwa sebagian besar dana yang seharusnya disalurkan untuk korban bencana, termasuk bantuan kepada ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610, diduga digunakan untuk kepentingan pribadi oleh pengurus lembaga. Salah satu yang paling mencolok adalah mantan Presiden ACT, Ahyudin, yang diketahui menerima gaji hingga Rp250 juta per bulan, serta menikmati fasilitas mewah seperti mobil Toyota Alphard dan rumah yang dibeli menggunakan dana donasi.
Lebih lanjut, laporan tersebut juga mengungkap bahwa ACT hanya menyalurkan sebagian kecil dari total donasi untuk korban bencana. Sisanya digunakan untuk operasional dan pengeluaran yang tidak transparan. Dampak dari kasus ini sangat besar, hingga menyebabkan pemerintah mencabut izin operasional ACT. Meski lembaga tersebut telah menyatakan bahwa mereka sedang melakukan restrukturisasi dan reformasi internal, kepercayaan publik telah terlanjur goyah
2. Sumbangan Fiktif Rp 2 Triliun Keluarga Akidi Tio, Berhasil nge-Prank Satu Indonesia
Pada tahun 2021, Indonesia dikejutkan oleh berita tentang sumbangan fantastis sebesar Rp2 triliun dari keluarga mendiang Akidi Tio, yang dijanjikan untuk membantu penanganan COVID-19 di Sumatera Selatan. Donasi ini diberikan secara simbolis kepada Kapolda Sumatera Selatan, dan disambut dengan apresiasi besar dari masyarakat serta tokoh-tokoh nasional. Dalam situasi sulit akibat pandemi, bantuan sebesar itu dianggap sebagai angin segar bagi penanganan kesehatan dan ekonomi.
Namun, kenyataannya sungguh mengecewakan. Setelah beberapa hari berlalu, uang yang dijanjikan tak kunjung cair. Kecurigaan mulai muncul, dan setelah dilakukan penyelidikan, terungkap bahwa donasi tersebut hanyalah janji kosong. Heriyanti, anak dari Akidi Tio, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyebaran berita bohong dan penipuan. Kasus ini menghebohkan publik karena melibatkan jumlah yang sangat fantastis serta membuat banyak pihak merasa tertipu oleh janji donasi fiktif tersebut
3. Korupsi Bansos COVID-19 oleh Juliari Batubara
Salah satu skandal penyelewengan dana terbesar yang terjadi di Indonesia adalah kasus korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19 yang melibatkan mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara. Skandal ini terbongkar pada Desember 2020, ketika KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pejabat di Kementerian Sosial yang terlibat dalam pengadaan bansos untuk masyarakat terdampak pandemi.
Juliari Batubara terbukti menerima suap senilai lebih dari Rp32 miliar dari proyek pengadaan bansos tersebut. Uang yang seharusnya digunakan untuk membantu rakyat miskin yang terdampak pandemi justru dikorupsi dan digunakan untuk kepentingan pribadi. Kejadian ini membuat publik geram, terutama karena korupsi ini terjadi di tengah krisis nasional saat rakyat sedang sangat membutuhkan bantuan.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara kepada Juliari, serta denda sebesar Rp500 juta. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp14,5 miliar. Meski begitu, banyak pihak merasa hukuman tersebut masih terlalu ringan, mengingat besarnya kerugian yang dialami masyarakat akibat perbuatannya
Kasus penyelewengan donasi seperti yang menimpa Agus Salim, Aksi Cepat Tanggap (ACT), dan Akidi Tio menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga dan individu yang menggalang donasi harus dijaga dengan baik melalui pengelolaan yang jujur dan terbuka. Ketika kepercayaan ini disalahgunakan, dampaknya tidak hanya menghancurkan harapan mereka yang membutuhkan, tetapi juga merusak rasa solidaritas sosial.
Sebagai masyarakat yang ingin berdonasi, kita harus lebih teliti dan berhati-hati dalam memilih lembaga atau individu yang menerima donasi. Pastikan lembaga tersebut memiliki rekam jejak yang baik dan transparan dalam pengelolaan dana. Jangan sampai niat baik kita justru dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.