Kisah Cinta Para Serdadu Belanda dengan Perempuan Pribumi
Merdeka.com - Rasa sepi dan terasing membuat para prajurit muda Belanda berpaling kepada para perempuan pribumi.
Penulis: Hendi Jo
Ini kisah tentang seorang perempuan tua yang tak ingin disebutkan namanya. Sebut saja Soelastri, seorang putri bangsawan yang pada 1946 tinggal di Sumedang, Jawa Barat.
-
Mengapa perempuan terlupakan di tengah perang? Ia juga menyatakan kekhawatiran bahwa dunia seolah melupakan mereka di tengah meningkatnya serangan terhadap hak-hak perempuan serta kesetaraan gender.
-
Mengapa orang Belanda melarikan diri dari Cilacap? Mereka hendak melarikan diri dari serbuan Jepang menuju kota kecil bernama Broome yang terletak di bagian barat Australia.
-
Siapa yang mengusir Belanda? Dalam momen tersebut, Presiden Soekarno mengambil tindakan tegas dengan memimpin pengusiran warga Belanda dari wilayah Indonesia, menyusul penolakan mereka terhadap kedaulatan penuh negara kita.
-
Siapa yang menyerah kepada Belanda? Sebagai seorang panglima Pangeran Diponegoro, pada tahun 1929 ia menyerahkan diri kepada Belanda.
-
Apa yang ditonton tentara Belanda di Sukabumi? Tampak jika keduanya tengah menyaksikan sebuah film di pertunjukan layar tancap.
-
Siapa yang merasakan kesepian? Klien yang mengeluhkan masalah yang pada awalnya tidak terkait dengan kesepian, seperti peningkatan konsumsi alkohol atau stres yang luar biasa, sering kali kemudian membuka diri dan mengungkapkan bahwa mereka telah merasa sangat kesepian tanpa menyadarinya.
Syahdan, pada suatu sore, Soelastri yang kala itu berusia tujuh belas tahun, berkenalan dengan seorang perwira muda Belanda dari Batalyon ke-4 Resimen Infanteri III (4-3-RI).
"Kami secara tak sengaja berkenalan depan sebuah toko ketika Jeep yang dia kemudikan nyaris menyerempet saya," kenang nenek yang beberapa bulan lalu baru saja meninggal dunia.
Terhalang Restu Orang Tua
Soelastri lantas diantarkan ke rumahnya. Sejak itulah, dia menjalin hubungan yang baik dengan sang perwira hingga diam-diam mereka bersepakat untuk meneruskannya ke jenjang yang lebih serius: bertunangan.
Sayangnya, orangtua Soelastri tak memberi restu. Bisa jadi karena itulah, rencana pertunangan mereka menjadi terombang-ambing dalam ketidakjelasan.
Pada suatu hari, sang perwira memberitahu jika dirinya akan berpindah tugas ke Sukabumi. Meskipun berat, Soelastri mau tidak mau harus menerima kenyataan tersebut. Sejak itulah, hubungan pun diteruskan lewat surat menyurat. Biasanya surat akan datang ke Sumedang seminggu sekali.
Sampai bulan keempat, surat-menyurat berjalan lancar. Namun memasuki bulan kelima, tak ada lagi surat datang ke Sumedang. Soelastri pun mulai resah. Tiba-tiba, dia merasakan hal yang buruk akan berlangsung.
Benar saja, tiga hari kemudian, datang surat dari Sukabumi. Tapi kali itu bukan berasal dari sang kekasih melainkan surat resmi dari batalyon.
"Isinya memberitahu tahu saya, jika dia telah gugur akibat mobil yang disopirinya mengenai ranjau darat di pedalaman Sukabumi. Ya saya merasa saat itu dunia seolah berakhir," ujar perempuan yang lama merahasiakan kisah ini.
Kekasihnya Dibunuh Teman Sesama Tentara
Cerita 'cinta tak sampai' juga dialami oleh J.C. Princen, seorang serdadu Belanda yang dikirim ke Indonesia pada akhir 1946. Saat kali datang ke Indonesia, Princen tak menafikan adanya rasa sepi dan kebutuhan biologis yang memuncak di kalangan prajurit-prajurit Belanda.
Untuk mengatasi masalah itu, ada kalanya ketika sedang tidak bertugas, mereka keluyuran sampai ke pelosok dan gang-gang hanya untuk mencari perempuan. Sebuah kebiasaan yang sebenarnya sangat dilarang oleh kesatuan mereka.
"Kami melakukannya dengan cara masing-masing. Ada yang sedikit memaksa, suka sama suka atau pergi ke para pelacur," ujar lelaki kelahiran Den Haag tahun 1925 itu.
Princen sendiri tidak menyukai pergi ke rumah bordil. Dia lebih mencari pasangan yang benar-benar mencintainya. Lalu menjalin hubungan yang serius.
Ketika ditempatkan di Bogor, Princen pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis remaja setempat. Namanya Asmuna. Dia tinggal persis di belakang pasar dekat Kebun Raya Bogor.
Suatu hari Asmuna datang mencari Princen ke markasnya yang terletak persis depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). Alih-alih diantarkan menemui Princen, perempuan itu malah ditembak mati karena melawan saat dilecehkan oleh para petugas jaga.
"Ketika terdengar tembakan, aku langsung berlari ke depan sambil membawa sten. Betapa terkejut dan marahnya aku ketika melihat Asmuna terbaring di ruangan jaga dengan tubuh penuh dengan lubang peluru dan bersimbah darah," kenang Princen.
Kala mengetahui Asmuna adalah pacar Princen, sang serdadu langsung ditangkap MP (Polisi Militer). Dia dipaksa untuk menunjukan tempat tinggal sang gadis untuk memastikan bahwa pacarnya itu tidak memiliki penyakit kelamin.
"Hai, lebih baik kamu memeriksakan dirimu ke dokter. Kamu kan tidak tahu perempuan itu berpenyakit sifilis atau tidak," ujar salah seorang anggota MP tersebut.
Namun Princen menolak. Dengan dalih lupa jalan menuju rumah gadis tersebut, dia hanya mengajak dua prajurit MP dan seorang petugas kesehatan tentara yang mengawalnya berkeliling wilayah gang-gang sekitar Kebun Raya Bogor saja. Akhirnya sang sopir menyerah dan memutuskan kembali ke markas yang terletak di depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak).
Ribuan Anak Lahir
Pemenuhan kebutuhan biologis dengan memacari perempuan pribumi juga diungkap oleh Gert Oostindie. Dalam Soldaat in Indonesie 1945-1950: Getuggenissen van een Oorlog Aan de Verkeerde Kant van de Geshciedenis (diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah), Oostindie menyatakan bahwa banyak serdadu Belanda yang jatuh cinta dan memacari para perempuan pribumi.
"Tetapi mungkin banyak juga hubungan yang lebih berlandaskan perhitungan dan egoisme," ungkapnya.
Oostindie pun mengakui adanya fakta sebagian serdadu Belanda memacari para 'pembantu' yang dipekerjakan di barak-barak militer. Bahkan sampai hamil. Seperti diungkapkan dalam kesaksian seorang serdadu bernama Kees de Jong. Menurut de Jong, lebih sering mereka menghindar dari pertanggungjawaban daripada menikahi perempuan-perempuan pribumi itu.
"Di Buitenzorg (Bogor), saya memiliki kawan yang berkencan dengan seorang pembantu sampai hamil lalu dia menikahinya. Saya jauh lebih menghormati laki-laki ini," ujar de Jong seperti dikutip oleh Oostindie.
Sejarawan Belanda lainnya, Step Scagliola dan penulis Annegriet Wietsma memiliki pendapat yang sama dengan Oostindie. Menurut mereka, pada 1946-1948 banyak perempuan pribumi yang berprofesi sebagai 'pembantu' di pos-pos militer Belanda juga berlaku sebagai 'kekasih' atau bahkan 'istri' bagi para serdadu.
"Ribuan anak lahir dari hubungan dengan perempuan-perempuan pribumi," tulis Wietsma dan Stef Scagliola dalam Liefde in Tijden van Oorlog (Cinta di Zaman Perang). (mdk/noe)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kisah sedih para tahanan wanita asal Belanda usai tentara Jepang berhasil menguasai Nusantara.
Baca SelengkapnyaSebuah video memperlihatkan potret tentara Belanda yang sedang berinteraksi dengan penduduk pribumi Indonesia.
Baca SelengkapnyaKoninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) menjaga tanah jajahan Belanda ratusan tahun. Punya citra yang kurang baik di mata masyarakat sipil.
Baca SelengkapnyaDenny JA sendiri menyelami dilema moral yang dihadapi Bung Karno
Baca SelengkapnyaWanita-wanita ini disebut Karayuki-san. Mereka dipekerjakan di rumah-rumah bordil yang tersebar di Sumatera dan Jawa.
Baca SelengkapnyaStrategi ini pada akhirnya menjadi senjata makan tuan bagi pejuang revolusi
Baca SelengkapnyaTerjadinya diskriminasi rasial antara awak kabin Belanda dan Pribumi pecah di Pelabuhan Aceh pada tahun 1933 silam.
Baca SelengkapnyaKisah cinta dua anak muda yang berjuang ini terhalang agresi militer Belanda I.
Baca SelengkapnyaSadis, Gerombolan Pemuda Keroyok hingga Lindas Kepala Perempuan di Sukabumi
Baca Selengkapnya