Serdadu Doyan Mabuk dan Main Perempuan
Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) menjaga tanah jajahan Belanda ratusan tahun. Punya citra yang kurang baik di mata masyarakat sipil.
Penulis: Arsya Muhammad
Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) menjaga tanah jajahan Belanda ratusan tahun. Punya citra yang kurang baik di mata masyarakat sipil.
Tidak seperti zaman sekarang di mana banyak pemuda bercita-cita menjadi tentara, pekerjaan sebagai serdadu di era kolonial Belanda, bukanlah pekerjaan idaman. Masuk militer biasanya dipilih sebagai jalan pintas karena terdesak kemiskinan.
KNIL digunakan pemerintah kolonial untuk menghantam aneka pemberontakan yang terjadi di Hindia Belanda. Tak heran sosok serdadu saat itu begitu menyeramkan untuk kalangan pribumi.
Pengalaman itu yang dialami oleh Didi Kartasasmita. Dia adalah satu dari sangat sedikit orang pribumi yang bisa lulus dari akademi militer di Belanda, dan menjadi seorang perwira. Umumnya orang-orang pribumi hanya menjadi serdadu rendahan.
Didi pernah pertugas sebagai perwira jaga di Istana Gubernur Jenderal di Bogor. Suatu hari sepulang tugas, dia naik sepeda dan berkeliling masuk kampung sambil jalan-jalan.
Didi menyaksikan bagaimana orang-orang tua, langsung menyuruh anak-anak yang sedang bermain di halaman segera masuk rumah.
-
Siapa Komandan KNIL keturunan Indonesia? Johan Berenschot adalah salah satu letnan jenderal dan Komandan KNIL yang menjabat rentang tahun 1939-1941 yang merupakan satu-satunya orang yang memiliki darah asli Indonesia.
-
Siapa yang sering mabuk-mabukan? Ronaldo geram terhadap Aveiro yang kerap mabuk-mabukan.
-
Siapa yang dituduh sebagai pelakor? Dituding Jadi Pelakor Momen tersebut bermula ketika Dinar Candy dituduh sebagai pelakor oleh Ayu Soraya, istri sah Ko Apex.
-
Siapa yang melakukan kanibalisme? Pada zaman akhir Paleolitikum Atas, sekitar 15.000 tahun yang lalu, kelompok manusia Magdalenian mendiami Eropa barat laut.
-
Kenapa KNIL menduduki Sekolah Teknik Simpang Haru? Pada saat itu, serdadu KNIL memaksa melakukan pendudukan di sekolah tersebut.
-
Siapa yang merekrut kuli perempuan dari India? Pada tahun 1883, pekerja asal India mencapai 1.528 orang termasuk kaum perempuan. Dari total ribuan pekerja dari India, pemerintah Belanda menetapkan peraturan dalam merekrut tenaga kerja perempuan dari India yang dibatasi maksimal 40 orang dalam setahun.
"Masuk-masuk, ada serdadu lewat," teriak mereka.
Walau menjadi perwira, Didi pun mengakui menjadi tentara sebatas urusan perut. Jauh dari semangat ideologi membela Ratu Belanda seperti rekan-rekannya sesama perwira.
Para prajurit KNIL pribumi ini rata-rata datang dari daerah Jawa yang tandus dan kering. Mereka tidak punya tanah dan tidak bisa bekerja sebagai petani penggarap.
"Ya, betul. Saya menjadi KNIL demi perut. Tampaknya beberapa orang rekan saya pun begitu," Kisahnya dalam buku Didi Kartasasmita, Pengabdian bagi Kemerdekaan.
Dari Bogor, Didi sempat ditempatkan di Ambon tahun 1939. Menjelang Perang Dunia II pecah. Dia menggambarkan KNIL memiliki masalah serius dengan minuman keras dan disiplin.
Kebiasaan minum ini tak hanya dilakukan oleh serdadu Eropa, tetapi juga serdadu pribumi. Salah satu komandan peleton di sana adalah pecandu minuman keras. Didi diserahi tugas menggantikan komandan peleton tersebut.
"Displin anak buahnya sangat tipis. Mereka sering bertingkah seenaknya. Bahkan, peralatan inventaris pun banyak yang hilang," bebernya.
Pelacuran di Sekitar Tangsi Militer
Minuman keras bukan satu-satunya masalah di tangsi serdadu KNIL. Masalah wanita, pergundikan dan pelacuran juga muncul di asrama militer Belanda.
Bagi serdadu yang punya cukup uang, biasanya mereka akan mengambil seorang wanita pribumi sebagai teman hidup. Wanita ini disebut Nyai.
Tidak sekadar mengurus kebutuhan rumah tangga, mereka juga menjadi teman tidur bagi serdadu ini.
Hubungan mereka tidak diresmikan dalam pernikahan. Anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut sering tidak diakui oleh ayah mereka. Masalah ini pun menjadi problem tersendiri di era kolonial.
Bagi yang tidak punya uang untuk memelihara gundik, maka pergi ke pelacuran adalah kebiasaan bagi para serdadu.
Pada akhir abad ke-19, tarif untuk sekali berhubungan dengan PSK adalah 25 sen. Harga segelas minuman keras rata-rata 6 sen per gelas. Sementara serdadu rendahan ini rata-rata hanya menerima 85 sen hingga 1,65 gulden per minggu.
"Sudah jelas bahwa laki laki ini tidak mungkin memelihara gundik, apalagi berkeluarga," tulis Reggie Bay dalam buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda.
Masalah pelacuran pun menimbulkan efek sangat negatif. Rata-rata satu dari tiga anggota militer Belanda menjadi korban penyakit kelamin. Bay melukiskan jika pada 1898, ada sekitar 42.000 serdadu, maka 14.000 orang terkapar di rumah sakit, atau meninggal karena penyakit kelamin.
Tak heran saat zaman Belanda, citra tangsi militer sangat buruk. Hal itu menjadi pandangan umum, tidak hanya bagi orang pribumi, tetapi orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Hal ini pun terdengar sampai ke Belanda.
"Tangsi tentara kolonial dianggap sebagai tempat melakukan perbuatan hina yang diikuti dengan kemunduran moral sebagai dampak pergundikan yang tercela," bebernya.