Karayuki-san, Potret Gelap dan Mengerikan Wanita Penghibur Jepang di Nusantara
Wanita-wanita ini disebut Karayuki-san. Mereka dipekerjakan di rumah-rumah bordil yang tersebar di Sumatera dan Jawa.
Penulis: Arsya Muhammad
Mereka didatangkan dari wilayah-wilayah paling miskin di Jepang. Dijual sebagai pemuas nafsu di wilayah Manchuria, Siberia, India, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Wanita-wanita ini disebut Karayuki-san. Mereka dipekerjakan di rumah-rumah bordil yang tersebar di Sumatera dan Jawa.
Hingga awal abad ke-20, perbandingan antara pria Eropa dengan wanita Eropa di Hindia Belanda masih sangat jomplang, 100:47. Artinya, 100 pria Eropa berbanding 47 wanita Eropa di Nusantara.
Banyak di antara pria Eropa itu kemudian memelihara gundik yang kebanyakan berasal dari wanita pribumi. Tindakan ini dianggap tidak bermoral, tapi lazim dilakukan. Tidak ada ikatan pernikahan dalam praktik pergundikan di Hindia Belanda kala itu.
Praktik prostitusi dan rumah bordil pun tumbuh subur di berbagai kota. Selain wanita pribumi, dan indo, ada juga wanita Jepang. Para Karayuki-san sering kali menjadi primadona.
Tahun 1889 di Batavia tercatat ada 17 wanita Jepang yang berprofesi sebagai PSK. Selain itu, ada 5 rumah bordil yang dikelola oleh orang-orang Jepang.
-
Kenapa pelacur di masa Jawa kuno dikenakan pajak? Bahkan mereka dikenakan pajak sebagaimana profesi lain.
-
Kapan prostitusi ini terjadi? Peristiwa tak layak ini dilakukan oleh warga Kecamatan Pungging, Mojokerto, Jawa Timur sejak 2023 lalu.
-
Siapa yang menjadi sasaran kekerasan seksual oleh tentara Jepang? Ada tipe-tipe soal Jugun Ianfu, mulai dari peran wanita yang dipaksa untuk memuaskan hasrat para militer dan sipil Jepang.
-
Siapa yang mengurusi pajak pelacur di masa Jawa kuno? Pada masa itu, raja memiliki utusan khusus yang mengurusi perpajakan pelaku prostitusi. Utusan ini dikenal dengan sebutan Juru Jalir.
-
Siapa pelaku pemerkosaan? 'Kejadian ini berawal dari kejadian longsor di daerah Padalarang Bandung Barat. Kebetulan keluarga korban ini rumahnya terdampak sehingga mereka mengungsi ke kerabatnya (AR) untuk sementara,' ucap Kapolres Cimahi, AKBP Tri Suhartanto, Selasa (3/9).
-
Bagaimana cara pelacur mendapat penghasilan? …Jika wanita mengiringkan seorang gadis dan mengantarkannya ke rumah seorang pemuda, atau jika ada wanita memberi tempat untuk pertemuan yang tidak senonoh antara seorang pemuda dan seorang gadis, karena mendapat upah dari pemuda dan gadis itu, kedua wanita baik yang mengantarkan gadis maupun yang menyediakan tempat itu dikenakan denda 4000 oleh raja yang berkuasa sebagai penghapus kesalahannya…
“Karayuki-san mempunyai pasaran yang tinggi, dan banyak permintaannya pada masa kolonial Belanda,”
tulis Capt RP Suryono dalam buku Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial.
Para gadis muda dari daerah miskin ini menjadi korban perdagangan manusia. Mereka didatangkan secara ilegal melalui Singapura. Tempat yang menjadi pusat penyaluran para wanita dari Jepang di Asia Tenggara.
Permintaan jaringan prostitusi akan Karayuki-san terus meningkat. Pada tahun 1905, dilaporkan telah datang 1.000 orang wanita Jepang di Singapura. Mereka dihargai dengan mahal.
Tak jarang pula, Karayuki-san kemudian dijadikan gundik atau selir oleh pria langganannya.
“Wanita-wanita Jepang kebanyakan ditebus dari rumah-rumah pelacuran di Jawa, atau didatangkan khusus dari Jepang,” tulis Suyono.
Kejam dan Tak Manusiawi
Seorang gadis muda asal Shimabara, Nagasaki, mengisahkan betapa mengerikan hidup yang harus dijalani seorang Karayuki-san. Gadis yang baru berusia 16 tahun itu terpaksa mendaftar ke agen penyalur tenaga kerja wanita untuk membantu ayahnya yang sakit dan kekurangan biaya.
Dalam kapal menuju Singapura, kondisinya kotor dan sungguh mengerikan. Agen-agen penyalur wanita ini memperkosa para wanita di dalam kapal.
Gadis ini terpaksa bersembunyi di geladak bagian paling bawah. Tempat batubara dan kotoran manusia. Agar terhindar dari pemerkosaan, dia melumuri tubuhnya dengan kotoran. Demikian ditulis dalam Harian Jepang Mainichi, 30 Desember 2020.
Setelah tiba di Singapura, dia terjebak dalam hutang yang sangat besar untuk biaya keberangkatannya ke kota itu dari Jepang. Gadis malang tersebut pun harus bekerja di rumah pelacuran dan melayani lelaki hidung belang.
Pengalaman itu dikenangnya sebagai mimpi buruk. Pernah dalam sehari dia harus melayani 49 orang laki-laki.
“Mereka memaksa saya, tidak henti-henti. Saya harus bekerja dari pukul 9 pagi hingga tiga dini hari,” bebernya.
Belanda Larang Karayuki-san
Setelah tahun 1913, Belanda mulai melarang praktek Karayuki-san di Hindia Belanda. Tak lama setelah konsulat Jepang yang pertama berdiri di Batavia. Profesi wanita penghibur ini kemudian dianggap hina oleh Kekaisaran Jepang sendiri.
“Bagi Jepang, Karayuki-san merupakan suatu hal yang memalukan di tengah upaya mereka untuk bisa disejajarkan dengan negara-negara Barat.”
Setelah dilarang, banyak di anatara wanita ini kemudian kembali ke Jepang. Sebagaian lagi tetap beroperasi secara ilegal.
Tahun 1916 tercatat masih ada sekitar 217 Karayuki-san di Jawa dan Madura. Di Sumatera, jumlahnya lebih banyak yaitu 438. Sementara di Kalimantan dan sekitarnya terdata ada 210 orang.
Sekitar tahun 1920an hingga 1930an, praktik Karayuki-san pelan-pelan menghilang.