Potret Kehidupan Pelacur pada Masa Hindu Buddha, Diakui Negara hingga Dikenai Pajak
Pelacur diakui pemerintah era Jawa kuno sebagai pekerjaan profesional
Pelacur diakui pemerintah era Jawa kuno sebagai pekerjaan profesional
Potret Kehidupan Pelacur pada Masa Hindu Buddha, Diakui Negara hingga Dikenai Pajak
Profesi pelacur atau pekerja seks komersial (PSK) sudah dijumpai sejak zaman Jawa kuno yakni pada masa Hindu Buddha di Indonesia. Bahkan, saat itu sudah banyak kitab yang menyebut istilah jalir (pelacur).
-
Kapan prostitusi ini terjadi? Peristiwa tak layak ini dilakukan oleh warga Kecamatan Pungging, Mojokerto, Jawa Timur sejak 2023 lalu.
-
Apa saja objek pajak di masa lampau? Jenis Pajak Lain Setidaknya ada sekitar 15 objek yang dikenakan pajak di Jawa saat itu. Mulai dari pegadaian, pembuatan garam, ikan, minuman keras, judi, hingga pertunjukan wayang.
-
Apa yang dimaksud dengan maksiat? Maksiat dalam Islam mengacu pada perbuatan yang melanggar perintah Allah dan dosa terhadap ketentuan-Nya dan perintah rasul-Nya. Maksiat merujuk pada tindakan atau perilaku yang diharamkan dalam agama Islam.
-
Siapa yang dituduh sebagai pelakor? Dituding Jadi Pelakor Momen tersebut bermula ketika Dinar Candy dituduh sebagai pelakor oleh Ayu Soraya, istri sah Ko Apex.
-
Siapa yang merekrut kuli perempuan dari India? Pada tahun 1883, pekerja asal India mencapai 1.528 orang termasuk kaum perempuan. Dari total ribuan pekerja dari India, pemerintah Belanda menetapkan peraturan dalam merekrut tenaga kerja perempuan dari India yang dibatasi maksimal 40 orang dalam setahun.
-
Siapa pelaku pemerkosaan? 'Kejadian ini berawal dari kejadian longsor di daerah Padalarang Bandung Barat. Kebetulan keluarga korban ini rumahnya terdampak sehingga mereka mengungsi ke kerabatnya (AR) untuk sementara,' ucap Kapolres Cimahi, AKBP Tri Suhartanto, Selasa (3/9).
Eksistensi Pelacur
Selain kata jalir, istilah yang sering muncul adalah kajaliran yang berarti tuna susila. Mengutip Instagram @tuban_bercerita, kedua istilah ini sering muncul dalam kitab susastra dan prasasti seperti pada Kakawin Bharattayuddha, Kidung Sunda, Kitab Tantri Demung, dan Nitisastra.
Kitab Undang-Undang Agama menyebut tentang Paradara atau perbuatan mesum. Terdapat 17 pasal dalam bab Paradara yang secara umum mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, terutama larangan mengganggu perempuan bersuami.
“…Jika wanita mengiringkan seorang gadis dan mengantarkannya ke rumah seorang pemuda, atau jika ada wanita memberi tempat untuk pertemuan yang tidak senonoh antara seorang pemuda dan seorang gadis, karena mendapat upah dari pemuda dan gadis itu, kedua wanita baik yang mengantarkan gadis maupun yang menyediakan tempat itu dikenakan denda 4000 oleh raja yang berkuasa sebagai penghapus kesalahannya…” Pelacur pada Masa Hindu Buddha
Diakui
Pemerintah saat itu mengatur kegiatan prostitusi dengan sangat ketat melalui peraturan-peraturan tertulis. Meski demikian, keberadaan pelacur diakui pihak penguasa pada zaman Jawa kuno. Bahkan mereka dikenakan pajak sebagaimana profesi lain.
Pada masa itu, raja memiliki utusan khusus yang mengurusi perpajakan pelaku prostitusi. Utusan ini dikenal dengan sebutan Juru Jalir.Berdasarkan data prasasti, juru jalir termasuk kelompok petugas kerajaan yang disebut ‘mangila drawya haji’ yang artinya memungut milik raja.
Sebagian dari Juru Jalir ini berkedudukan sebagai abdi dalem keraton. Kehidupan mereka tergantung dari gaji yang diberikan pihak penguasa melalui bendahara keraton.
Prostitusi di Tuban
Sebuah prasasti di Tuban mengungkap bahwa praktik prostitusi sudah ada di Bumi Wali ini sejak zaman Hindu Buddha.
Prasarti itu menyebut petugas perpajakan yang khusus menarik pajak pada pelaku prostitusi. Hal ini juga tercatat pada prasasti Malěnga di lempeng ke-2 baris 1-2 bertahun 1052 Masehi tepatnya pada masa Kerajaan Janggala.Mengingat pada zaman dahulu Tuban terkenal sebagai pelabuhan besar tempat transit dan berdagang lintas negara, tak heran jika praktik prostitusi terjadi di sana.