Cerita Prasasti Sanghyang Tapak di Sukabumi, Kutukan dari Raja Sunda Agar Tak Menangkap Ikan dan Mengganggu Sungai
Prasasti ini menarik perhatian karena menggunakan bahasa Jawa kuna. Tulisannya pun menggunakan aksara kawi berisi kutukan jika nekat memanfaatkan Sungai Cicatih
Di kawasan Sungai Cicatih, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, terdapat peninggalan prasasti bernama Sanghyang Tapak. Diperkirakan prasasti ini dibuat pada tahun 1030 masehi di masa pemerintahan Sri Jayabhupati.
Prasasti ini menarik perhatian karena menggunakan bahasa Jawa Kuna dan aksara Kawi. Isinya mencakup kutukan bagi siapa pun yang sengaja memanfaatkan sungai di batas tertentu. Pelanggaran terhadap peraturan ini diyakini akan mengakibatkan kondisi celaka bagi pelanggar.
-
Siapa yang dikutuk dalam prasasti itu? Setelah membuka lembaran timah itu, terdapat kata-kata yang menyebutkan 'sathanas taleke belzebuk hinrik berith', mengarahkan kutukan setan terhadap seorang wanita bernama Taleke dan seorang pria bernama Hinrik (Heinrich).
-
Apa yang dilakukan Sri Baduga Maharaja untuk melindungi Pajajaran? Dalam Prasasti Batu Tulis, ditulis Sri Baduga Maharaja antara lain membuat parit pertahanan.
-
Siapa Sri Aji Jayabaya? Prabu Jayabaya adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara.
-
Apa isi prasasti tersebut? bahasa-bahasa Timur Tengah kuno di University College London, enam baris pertama dari teks paku-paku pada prasasti itu mengatakan, dalam bahasa Het, 'empat kota, termasuk ibu kota, Hattusa, berada dalam bencana,' sementara 64 baris sisanya adalah doa dalam bahasa Hurria yang memohon kemenangan.
-
Mengapa Sunan Gunung Jati memata-matai kerajaan Pajajaran? Saat itu, Sunan Gunung Jati mengutus sejumlah telik sandi atau intel khusus ke negeri Pajajaran, setelah Cirebon memproklamasikan kemerdekaannya dari kerajaan Sunda terbesar itu.
-
Apa yang tertulis di Prasasti Sangguran? Prasasti Sangguran merupakan prasasti pada batu berkerangka tahun 850 saka atau 928 Masehi yang ditemukan di daerah Batu, Malang. Prasasti ukurannya sangat besar, dan banyak catatan yang terangkum dalam prasasti tersebut.
Kemudian, prasasti juga menjunjung tinggi sosok Sri Jayabhupati yang memiliki gelar panjang. Raja ini pun dianggap bijaksana dan memiliki kekuatan yang cukup untuk memimpin sebuah negara bernama Kerajaan Galuh.
Dari hasil analalis, ada banyak kejanggalan dari prasasti yang juga disebut batu Cibadak ini. Sebab, bahasa yang digunakan bukanlah Sunda, melainkan Jawa Kuno. Lantas bagaimana fakta yang sebenarnya? Berikut informasi selengkapnya.
Jadi Bukti Pengaruh Hindu-Buddha di Jawa Barat
Sejak awal berdiri di tahun 700 an masehi, Kerajaan Galuh sudah menganut kepercayaan Hindu dan sebagian kecil Buddha oleh masyarakatnya. Ini dibuktikan dari adanya wejangan raja, yang melarang aktivitas eksploitasi sungai di batas-batas tertentu.
Dalam laman Wikipedia, kerajaan ini juga merupakan pecahan dari Tarumanegara yang memang sudah memiliki akar ajaran Hindu kuat.
Disebutkan bahwa ada empat pecahan prasasti di mana salah satunya ditemukan di sekitar Sungai Cicatih, dengan struktur batu tanah berpasir bertuliskan huruf kawi.
Menuliskan Bahwa Sri Jayabhupati Merupakan Raja Sunda
Merujuk Kemdikbud, prasasti ini menyebut berulangkali bahwa Sri Jayabhupati merupakan raja Sunda yang terhormat. Ia merupakan kekuatan dari negara Galuh, sehingga kuat dan tidak bisa dikalahkan oleh musuh.
Kemudian, prasasti juga menuliskan gelarnya di namanya yang amat panjang yakni Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa.
Kekuatannya tak diragukan, dan itu juga yang membuat dirinya mampu mengemban takhta kerajaan Galuh selama 12 tahun kepemimpinan.
Berisi Larangan untuk Tidak Menangkap Ikan dan Mengganggu Sungai
Dalam jurnal Prodi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana berjudul: Peradaban Hindu-Buddha Di Kabupaten Sukabumi Berdasarkan Rekaman Arkeologi, disebutkan bahwa kutukan tersebut meminta masyarakat mematuhi perintah Sri Jayabhupati agar tidak mengganggu sungai.
Warga diminta untuk tidak menangkap ikan di sepanjang aliran Sungai Cicatih di area batas kabuyutan Sang Hyang Tapak hulu sampai batas kabuyutan Sang Hyang Tapak hilir.
Batasannya adalah melalui dua buah penanda batu bernama batu karut. Jika dilanggar, warga akan mendapatkan sanksi yang mengerikan dari sosok tak kasat mata hingga nyawa menjadi taruhannya.
Kutukan Masih Berlaku Sampai Sekarang
Disebutkan bahwa kutukannya amat mengerikan, yakni kepalanya akan terbelah, kemudian darahnya akan terminum, ususnya terpotong, dadanya teriris dan otanya dimakan hingga habis.
Sakralnya sumpah ini konon karena disaksikan oleh para dewa, sehingga kejadian tak diinginkan tersebut bisa sangat mungkin terjadi. Dewa menjadi sosok yang paling sakral, karena dianggap Tuhan oleh warga di kala itu.
Bahkan sampai sekarang, sumpah itu masih dipercaya oleh masyarakat sekitar dan akibatnya banyak yang tak berani untuk mandi atau mengambil ikan di antara batu besar yang dinamakan karut dan dipercaya sebagai batas-batas yang disebutkan Sri Jayabhupati.
Batu Cicatih Tersimpan di Museum Nasional
Keempat batu prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Keempatnya telah diberi kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97, dan D 98 dengan masing-masing informasi asal usulnya.
Keempat diketahui ditemukan secara terpisah, tersebut ditemukan. Tiga di antaranya ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sementara sebuah lainnya ditemukan di Kampung Pangcalikan.
Karena penemuannya yang dekat dengan Sungai Cicatih, maka prasasti ini turut dinamakan Prasasti Cicatih atau Prasasti Cibadak yang merujuk ke sebuah nama kecamatan.