Peristiwa De Zeven Provincien, Diskriminasi Rasial Awak Kapal yang Berujung Pemberontakan
Terjadinya diskriminasi rasial antara awak kabin Belanda dan Pribumi pecah di Pelabuhan Aceh pada tahun 1933 silam.
Terjadinya diskriminasi di era kolonial Belanda tentu sudah menjadi sebuah makanan sehari-hari bagi kaum Pribumi. Adanya ketidakadilan mulai dari pendidikan hingga pekerjaan menjadi momok yang memicu terjadinya konflik hingga menyebabkan korban jiwa.
Salah satu dari sekian banyak diskriminasi yang terjadi di Indonesia saat itu adalah peristiwa De Zeven Provincien atau bisa disebut dengan Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi. Sebuah bentuk pemberontakan di atas kapal angkatan laut HNLMS, De Zeven Provincien milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
-
Apa yang dilakukan Belanda? Pada praktiknya, tanah milik sultan itu kemudian disewakan kepada Belanda. Sementara itu, pemerintah kolonial memberikan konsesi kepada pemodal untuk mengolah hasil perkebunan tersebut. Mirisnya, rakyat yang ingin menggarap tanah harus memberikan konsesi kepada pemilik Afdeling.
-
Siapa yang mengkritik tindakan Belanda? Kemudian, ia juga mengkritik tindakan Belanda yang menerapkan kerja rodi kepada orang-orang Batak.
-
Kenapa Belanda melakukan pembantaian? Latar belakang pembantaian Westerling berawal dari upaya Belanda untuk merebut kembali kekuasaannya di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
-
Kenapa Belanda membantai rakyat Sulawesi Selatan? Upaya Merebut Wilayah Nusantara Melansir dari kanal Liputan6.com, kejadian ini bermula ketika Belanda berupaya untuk merebut kembali wilayah kedaulatan Indonesia pada tahun 1940-an yang disebut dengan 'tindakan pengawasan' terhadap 'teroris' dan 'ekstrimis' nasionalis.
-
Siapa yang mengusir Belanda? Dalam momen tersebut, Presiden Soekarno mengambil tindakan tegas dengan memimpin pengusiran warga Belanda dari wilayah Indonesia, menyusul penolakan mereka terhadap kedaulatan penuh negara kita.
-
Siapa yang memimpin perlawanan melawan Belanda? Ketika melawan Belanda, Radin Intan II dikenal sebagai sosok pemimpin panglima perang di usianya yang masih 16 tahun.
Peristiwa ini meletus akibat kebijakan gaji pegawai pemerintah kolonial Belanda baik itu tentara maupun pegawai negeri yang menurun. Kemudian terjadilah aksi pemogokan sebagai respons tidak setujunya bagi mereka yang terkena dampak penurunan gaji.
Mirisnya, dalam menyudahi aksi unjuk rasa dan mogok kerja ini berakhir dengan pengeboman kapal yang dibawa langsung oleh pesawat militer milik Angkatan Laut Belanda.
Pemberontakan Tanpa Direncanakan
Awal mula terjadinya aksi unjuk rasa dan pemberontakan ini berawal dari kebijakan pemerintah Belanda yang menurunkan upah gaji serta sistem kerja yang buruk. Pengurangan upah gaji ini bukanlah tanpa sebab, pasalnya saat itu sedang terjadi depresi ekonomi yang menimpa beberapa negara Eropa dan sekitarnya.
Seperti yang dikutip dari berbagai sumber, pihak pemerintah Belanda dianggap gagal dalam memberi upah dan mensejahterakan para pekerja kapal. Sikap ini tidak lepas dari konteks dan pandangan Belanda yang masih haus akan kekuasaan di beberapa titik wilayah Nusantara.
Pemberontakan ini tentunya tidak berangkat dari satu masalah saja, melainkan adanya diskriminasi rasial, perbedaan gaji yang tidak adil bagi masyarakat Pribumi.
Dibocorkan Melalui Radio
Terjadinya pemberontakan menjadi berita yang dirahasiakan oleh Belanda dan sudah memblokir seluruh saluran komunikasi. Namun, dugaan tersebut salah setelah ada seseorang yang membocorkan informasi tersebut.
Bocornya informasi ini didengar sampai Maud Boshart, pelaut Belanda yang bertugas di atas kapal perang Hr.Ms. De Zeven Provincien yang melakukan patroli di perairan Aceh pada 30 Januari 1933. Boshart pun mengumpulkan seluruh awak kapal lalu memberikan ancaman kepada mereka agar tidak melakukan aksi unjuk rasa di kapal tersebut.
Namun, ancaman itu tidak menyurutkan semangat para awak kabin. Pemberontakan pun tetap terjadi di atas kapal De Zeven Provincien. Pemberontakan ini dipimpin langsung oleh Paraja dan Rumambi dua anak kapal Indonesia yang berani menentang Belanda.
Puncak Pemberontakan
Pada 4 Februari 1933, pemerintah Belanda beserta jajarannya melakukan kesalahan yang fatal, yaitu mengadakan pesta di kantin KNIL di Uleelheue, Aceh. Mereka mengundang penari-penari wanita sekaligus menghamburkan uang sebanyak 500 gulden. Pesta tersebut memang mengundang pelaut Indonesia, namun mereka enggan untuk hadir.
Dikutip dari esi.kemdikbud.go.id, para kelasi Indonesia dipimpin Kawilarang membajak kapal itu dan membawanya menuju Jawa. Di luar dugaan ternyata ada seorang perwira telegrafis Belanda di kamar markonis. Setelah menyadari kapal dibajak, ia segera mengirimkan berita dan meminta bantuan kepada stasiun-stasiun radio di pelabuhan Marine Jakarta dan Surabaya.
Mereka yang membajak kapal ini sudah diperingatkan untuk bersandar, tetapi mereka tidak menggubris karena alasan hanya berunjuk rasa atas pemotongan gaji dan penangkapan teman-temannya. Pemerintah Belanda pun tidak peduli dengan pernyataan tersebut, pihaknya tetap bersikeras meminta kapal itu untuk berhenti.
Setelah berada di perairan Selat Sunda, kapal ini tak kunjung berhenti. Akhirnya, pesawat jenis Dornier menjatuhkan bom seberat 50 kg dari ketinggian 1.200 meter ke geladak depan kapal dan langsung meledak. Akibatnya kapal rusak parah, 19 orang tewas (3 orang Eropa dan 16 pribumi), 11 orang luka berat, dan 7 orang luka ringan.