Rahmat Shigeru Ono, Tentara Jepang yang Beralih Membela Indonesia
Tentara Jepang ini akhirnya memilih mengabdikan hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia.
Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu pada akhir Perang Dunia II, banyak tentaranya di Indonesia mengalami kebingungan besar: pulang ke tanah air mereka atau tetap tinggal. Sebagian memilih melakukan harakiri (bunuh diri demi kehormatan), sementara yang lain memutuskan bertahan.
Menurut data Yayasan Warga Persahabatan (YWP), dari sekitar 1.000 mantan prajurit Jepang, sebanyak 534 orang meninggal atau hilang dalam perang, 45 orang kembali ke Jepang, dan 324 orang memilih menetap di Indonesia dengan menjadi WNI.
-
Siapa pemimpin pasukan Jepang di Indonesia? Pasukan Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura berhasil menggantikan kekuasaan Belanda setelah melakukan invasi yang cepat dan efektif.
-
Siapa yang berjuang untuk Indonesia? Kata-kata ini membangkitkan semangat juang dan patriotisme dalam diri setiap pemuda Indonesia.
-
Kenapa Soekarno pilih mantan pegawai Jepang? Sedangkan mantan pegawai administrasi pemerintahan Jepang dipilih karena situasi Indonesia saat itu masih berada dalam masa sulit, di mana masih ada peralihan dari pihak Jepang ke pihak Sekutu.
-
Mengapa Jepang menyerang Indonesia? Jepang menilai bahwa keberadaan negara sekutu akan menghambat ekspansinya di kawasan Asia.
-
Siapa Abdul Hamid Nobuharu Ono? Mengenal Abdul Hamid Nobuharu Ono, Perwira Muslim Jepang yang Fasih Berbahasa Jawa Selama Abdul Hamid Ono berada di Nusantara, ia memiliki tugas sebagai intelijen dan informan terkait berbagai aktivitas orang-orang sekaligus tokoh muslim.
-
Bagaimana Abdul Hamid Ono berdiplomasi? Peran Abdul Hamid Ono begitu besar dalam membuka jalur hubungan komunikasi dan diplomasi dengan orang-orang Jepang untuk membebaskan tokoh penting Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang itu.
Perjalanan hidup mantan prajurit Jepang yang memilih untuk tetap tinggal di Indonesia tidaklah mudah. Di mata Jepang, mereka dianggap sebagai tentara yang melarikan diri, sementara di Indonesia, mereka dipandang sebagai orang yang tidak memiliki kewarganegaraan.
Salah satu dari mereka adalah Rahmat Shigeru Ono, yang sebelumnya dikenal sebagai Shigeru Ono. Tentara Jepang ini akhirnya memilih mengabdikan hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia.
Lahir pada 26 September 1919 di Furano, Hokkaido, Ono datang ke Indonesia sebagai bagian dari militer Jepang. Ketika Jepang menyerah, ia memutuskan untuk tidak kembali.
Dalam memoarnya, Ono menyebutkan dua alasan utama mengapa ia dan beberapa tentara Jepang lainnya memilih bertahan. Pertama, mereka ingin membebaskan Asia dari penjajahan bangsa Barat.
Kedua, mereka merasa memiliki kewajiban moral kepada Indonesia karena Jepang pernah menjanjikan kemerdekaan sebelum akhirnya kalah perang.
"Indonesia sudah banyak membantu Jepang, sehingga Jepang menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tapi sebelum dapat mewujudkan janji itu Jepang kalah pada Sekutu, kami (tentara Jepang) sangat marah dengan itu, seharusnya kami tetap di Indonesia," ujar Shigeru Ono dalam buku memoarnya, Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik karya Eiichi Hayashi.
Penerjemah Strategi Perang
Selain itu, Ono menyaksikan kekejaman pasukan Sekutu terhadap rakyat Indonesia setelah Jepang menyerah. "Saya melihat kota Bandung dibakar dan orang-orang dipukul dan dibunuh tanpa perasaan" kata Ono.
Salah satu peran penting Ono dalam membela Indonesia adalah menerjemahkan buku strategi perang. Ono dan temannya, Abdul Rahman Tatsuo Ichiki, sesama mantan tentara Jepang, membantu menerjemahkan buku strategi perang ke dalam bahasa Indonesia dan berpartisipasi dalam berbagai operasi militer.
Pada September 1946, Ono dan Ichiki meminta izin untuk berjuang di garis depan selama perundingan Linggarjati. Tahun berikutnya, Ono diangkat menjadi staf pendidikan tentara di Magetan dan turut serta dalam berbagai aksi gerilya, termasuk menyerang markas KNIL di Mojokerto.
Pada Oktober 1947, Ono dipindahkan ke Malang untuk membuat peta wilayah. Pangkatnya pun naik dari sersan menjadi letnan. Namun, setelah Perjanjian Renville, eks tentara Jepang mulai ditangkapi. Untuk menghindari penangkapan, serdadu Jepang berkumpul di Wlingi, Blitar, Jawa Timur untuk membuat satu pasukan.
Akhirnya, terbentuk Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) pada 24 Juli 1948. Pertempuran pertama PGI, yang terdiri dari 28 mantan tentara Jepang, adalah menyerang pos tentara Belanda semasa gencatan senjata di Panjaran, Malang.
PGI Bergabung dengan Militer
PGI dikenal keberaniannya oleh Belanda.Sayangnya, PGI menghadapi tantangan berat. Komandan dan wakilnya, Arif Tomegoro Yoshizumi dan Ichiki Tatsuo gugur dalam perang.
Akhirnya, PGI bergabung dengan militer formal Indonesia dan menjadi Pasukan Untung Suropati 18. Setelah pengakuan kedaulatan pada 1949, Ono menetap di Batu, Malang, Jawa Timur.
Pada 1950, Ono menikahi seorang perempuan Indonesia bernama Darkasih. Pada 1952, Ono resmi menjadi WNI. Di tahun yang sama, Ono berhasil terhubung kembali dengan ibunya.
Padahal sebelumnya, setelah memutuskan bergabung dengan Indonesia, Ono sempat mengirim surat mengatakan ia telah tewas.Rahmat Shigeru Ono menghabiskan sisa hidupnya di Indonesia dan meninggal pada 25 Agustus 2014 akibat sakit. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Batu.
Ono merupakan tentara Jepang terakhir yang “membelot” ke Indonesia yang meninggal dunia. Kini, sudah tidak ada lagi tentara Jepang yang berkontribusi dalam kemerdekaan Indonesia.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti