Melihat Pembangunan Monumen Antroposen di Bantul, Bangunan Tiga Lantai yang Terbuat dari Sampah Plastik
Konsep desain monumen ini mengelaborasi tiga bangunan monumental di dunia yaitu Candi Sukuh Karanganyar, Piramida Mesir, dan Piramida Yucatan di Meksiko.
Konsep desain monumen ini mengelaborasi tiga bangunan monumental di dunia yaitu Candi Sukuh Karanganyar, Piramida Mesir, dan Piramida Yucatan di Meksiko.
Melihat Pembangunan Monumen Antroposen di Bantul, Bangunan Tiga Lantai yang Terbuat dari Sampah Plastik
Di Bantul, tepatnya tak jauh dari TPST Piyungan, Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat sebuah bangunan yang cukup unik bernama Monumen Antroposen.
-
Di mana bangunan ditemukan? Arkeolog menemukan struktur atau bangunan misterius di bawah lapangan bola bangsa Maya di Campeche, Meksiko.
-
Bagaimana manusia purba membuat monumen? Megalitikum adalah zaman batu besar, karena pada zaman ini manusia bisa membuat beragam monumen dari batu-batu besar.
-
Mengapa Monumen Yonaguni dianggap buatan manusia? Jika dilihat dari tampilan bangunannya, kemungkinan besar monumen Yonaguni merupakan hasil buatan tangan manusia.
-
Di mana struktur kuno tersebut berada? Struktur tersebut memiliki panjang sekitar 149 meter dengan lebar sekitar 21 meter dan terletak pada ketinggian 4.661 meter di atas permukaan laut pada kemiringan 8 derajat, dengan koordinat GPS 39°42'39.65' LU, 44°17'59.52' BT.
-
Bagaimana bangunan Museum Rumah Adat Baanjuang? Tempat ini sangatlah berbeda dari museum lainnya, karena di sini masih sangat kental dengan suasana tradisional. Bentuk bangunannya pun layaknya rumah adat khas Minangkabau.
-
Dimana monumen Hargorejo dibangun? Di Desa Hargorejo, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri, terdapat sebuah tugu monumen peringatan.
Dhoni Yudhanto, arsitek pembangunan Monumen Antroposen mengatakan bahwa, pembangunan monumen tersebut merupakan wujud dari keprihatinan para aktivis dan teman-teman di Bantul dan sekitarnya terhadap kondisi sampah di seluruh dunia, khususnya di sekitar TPST Piyungan.
“Isu yang kami angkat adalah soal pengolahan limbah plastik. Kita mengolah limbah plastik untuk menjadi alternatif material untuk konstruksi, untuk artistekturuntuk seni, dan sebagainya. Dan untuk riset awal ini kita membangun kompleks ini,”
kata Dhoni dikutip dari kanal YouTube Bantul TV.
Dhoni menambahkan bahwa kompleks monumen itu memiliki empat bangunan yaitu monumen sebagai bangunan utama serta tiga bangunan pendukung lain berupa rumah produksi dan makerspace, rumah sortir, dan fasilitas umum. Konsep desain monumen itu mengelaborasi tiga bangunan monumental di dunia yaitu Candi Sukuh Karanganyar, Piramida Mesir, dan Piramida Kukulcan Yucatan di Meksiko.
“Kompleks monumen ini diharapkan menjadi pusat kebudayaan dan aktivitas masyarakat setempat. Karena kita ingin mengedukasi masyarakat melalui pendekatan seni budaya tidak perlu dengan mengadakan seminar dan sebagainya,”
Terang Doni terkait keinginannya saat pengerjaan bangunan itu telah rampung nantinya
Kurator monumen tersebut, Ignatia Nilu mengatakan bahwa monumen itu lahir dari gagasan yang menggabungkan antara seni budaya, wawasan ekologi, dan ekonomi sirkular di tengah tantangan ekologi persoalan sampah plastik.
Oleh karena itu sebuah instalasi raksasa dibangun dengan material sampah plastik. Bahan baku material pembuatan dinding monumen dibuat dari sampah plastik yang dipanaskan, lalu dipress dan dibentuk menyerupai batu bata. Setiap batu bata plastic dibuat dari 6 kg sampah plastik.
Dilansir dari kanal YouTube Bantul TV, proyek pembangunan monumen ini dikelola oleh Yayasan Antroposen dan mendapat suntikan dana dari Kementerian Luar Negeri Jerman serta GETO Institute sebesar Rp2,5 miliar. Diperkirakan proyek ini selesai dalam waktu dua tahun.
Dengan penggunaan teknologi sampah plastik yang mampu mengubah sampah menjadi material bangunan seperti keramik lantai, batu bata, genting, hingga kusen, dapat membawa wawasan baru bagi masyarakat Bantul dalam pengolahan sampah.
Sementara itu Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Laksmi Pratiwi mengatakan bahwa monumen tersebut merupakan suatu proyek budaya yang mengolaborasikan lingkungan dengan sampahnya dan seni budaya.
Melalui mesin pengolahan sampah jadilah material bangunan dan berbagai karya budaya lainnya. Monumen itu bisa terwujud berkat proses edukasi dan sosialisasi tentang sampah dan budaya yang cukup lama dikondisikan.
“Muncul kesadaran bersama bahwa ancaman sampah bisa menjadi peluang. Inilah yang dimaksud dengan kerja budaya yang sesungguhnya, ketika proses dihargai sebagai bagian untuk mencerahkan akal pikiran. Proses ini adalah tanggung jawab bersama, tidak semata pemerintah,”
pungkas Dian dikutip dari Jogjaprov.go.id.