Tinggalkan Pekerjaan Sebagai Petani, Kelompok Ibu-Ibu Rintis Usaha Jenang dari Nol
Merdeka.com - Setiap musim kemarau, wilayah Gunungkidul selalu dilanda kekeringan. Hal ini selalu menjadi kendala para petani di daerah itu yang lahannya merupakan sawah tadah hujan. Bila tak ada hujan, mereka otomatis tidak bertani.
Ada banyak cara yang mereka lakukan demi melewati masa-masa kemarau yang sulit. Ada yang menjadi buruh bangunan, ada yang beternak, ada pula yang mencoba alternatif usaha lain.
Pilihan terakhir ini yang dilakukan oleh kelompok ibu-ibu dari Padukuhan Saban, Kaluruhan Karangwuni, Kapanewon Rongkop. Mereka merintis usaha kuliner Jenang. Kelompok usaha mereka diberi nama “Jenang Barokah”.
-
Bagaimana Gunungkidul mengatasi kekeringan? “Anggaran di BPBD masih tersedia sehingga belum meminta tambahan melalui BTT,“ katanya.
-
Dimana saja di Gunungkidul mengalami kekeringan? Terlebih sebanyak 14 dari 18 kecamatan di sana mengalami kesulitan air bersih.
-
Apa yang dilakukan warga Majalengka untuk mengatasi kekeringan? Selain Abibah, warga lain juga turut memanfaatkan air sungai di desanya itu, salah satunya dengan membuat bendungan sederhana dari bebatuan.
-
Siapa saja yang terdampak kekeringan di Jawa Tengah? Dampak musim kemarau yang perkepanjangan ini memukul ratusan jiwa warga Desa Garangan, Kecamatan Wonosamudro, Kabupaten Boyolali.
-
Apa dampak dari kekeringan di Jawa Tengah? Dampak musim kemarau yang perkepanjangan ini memukul ratusan jiwa warga Desa Garangan, Kecamatan Wonosamudro, Kabupaten Boyolali. Dalam dua bulan terakhir, mereka kesulitan air bersih.
-
Kenapa kekeringan terjadi di Jawa Tengah? Dampak musim kemarau yang perkepanjangan ini memukul ratusan jiwa warga Desa Garangan, Kecamatan Wonosamudro, Kabupaten Boyolali.
Suswaningsih (52) salah satu perintis kelompok ibu-ibu Jenang Barokah mengatakan, inisiatif tersebut muncul saat mereka tidak ada kegiatan lain di sela-sela kegiatan utama sebagai petani. Apalagi kegiatan di sektor pertanian hanya efektif dijalankan pada saat musim hujan.
Maka dari itu mereka kemudian berkumpul dan memulai usaha pembuatan jenang pada bulan Februari tahun 2011.
“Waktu itu kami memulai dari modal nol. Modalnya juga perorangan. Bahan bakunya juga dikumpulkan dari para anggota,” kata Suswaningsih saat ditemui Merdeka.com pada Jumat (16/6).
Anggota kelompok “Jenang Barokah” beranggotakan 20 orang. Mereka menyewa sebuah rumah untuk produksi jenang sehari-hari.
Suswaningsih berkata, pada saat awal-awal memulai usaha, ia bersama ibu-ibu lain menemui berbagai kendala. Bahkan banyak orang yang meragukan usaha kelompok ibu-ibu itu bakal maju. Bahkan pada saat itu, jenang yang dijual ke pasar warnanya dianggap terlalu hitam karena proses pengadukan yang lama.
“Jadi mau laku ataupun tidak laku kita sikapi dengan sabar. Cemoohan dari orang itu banyak tapi kita tetap bersatu dalam kelompok dan tetap Istiqomah dalam membuat jenang,” ujarnya.
©IstimewaGayung bersambut, kelompok itu mendapat berbagai pendampingan dari dinas terkait. Pada tahun 2015 ada program dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sekarang BRIN) untuk ikut membantu kelompok usaha itu dari sisi pengolahan hasil jenangnya. Mereka melakukan pendampingan agar produk jenang yang diproduksi para ibu-ibu tersebut kualitasnya lebih baik dan makin laku di pasar.
Seiring waktu jenang yang mereka jual di pasar makin banyak pembelinya. Pedagang besar mulai berdatangan. Tak hanya membeli produk mereka, beberapa dari pedagang juga menawarkan sistem barter di mana mereka menawarkan bahan baku seperti beras, ketan, gula, dan kelapa.
Setelah bertahun-tahun usaha mereka berjalan lancar, pada saat pandemi COVID-19 menyerang tahun 2020 usaha mereka berhenti. Keadaan itu berjalan selama dua tahun.
“Selama dua tahun itu tidak ada yang pesan. Kita mau buat tapi tidak ada yang beli. Akhirnya berhenti. Kita kembali melakukan kegiatan bertani lagi,” kata Suswaningsih.
Namun pada akhir 2021, mulai banyak orang yang memesan jenang. Para ibu-ibu meninggalkan ladang dan kembali memproduksi jenang.
Suswaningsih mengatakan, dalam sebulan mereka bisa memproduksi 1.500 kg jenang dengan total omzet mencapai Rp10 juta. Uang itu kemudian dibagi-bagi ke setiap anggota dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, terutama dalam mengalami sulitnya musim kemarau di mana para petani tak bisa menggarap ladang.
“Tidak hanya petani, peternak pun kalau ladangnya tidak ada tanaman mereka terpaksa membeli rumput. Jadi dengan adanya program ini bisa menopang ibu rumah tangga yang punya anak masih sekolah,” tuturnya.
©IstimewaUntuk memperkenalkan produknya, mereka mengikuti berbagai pameran, salah satunya adalah Bazar UMKM yang diselenggarakan Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada Jumat (16/6) di halaman Kantor Wilayah BRI Yogyakarta. Ia berharap dengan mengikuti program tersebut
“Jenang Barokah” semakin dikenal. Selain itu ia berharap kelompok usaha itu bisa menjadi kluster bimbingan BRI dan mendapat bantuan Coorporate Social Responsibilty (CSR) agar produk mereka bisa semakin berkembang.
“Kami berharap Jenang Barokah bisa maju dan kami bisa menjaga kualitas dan kualitas demi kepercayaan konsumen,” pungkas Suswaningsih. (mdk/shr)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Seorang wanita paruh baya pilih berjualan di tengah hutan dan gunung selama 24 jam sehari untuk penuhi kebutuhan keluarganya.
Baca SelengkapnyaTerbentuknya kelompok itu berawal dari para ibu-ibu yang ingin punya kebun sayur sendiri
Baca SelengkapnyaArea persawahan di Jakarta tersebut terdampak kekeringan panjang
Baca SelengkapnyaSebuah video memperlihatkan seorang perempuan yang memutuskan untuk resign dari kantor dan merintis usaha dari nol di kampung halaman.
Baca SelengkapnyaSecara berkelompok Ibu-ibu di Banyuwangi bersama warga lingkungan sekitar ternak jangkrik yang hasilnya bisa menambah ekonomi keluarga.
Baca SelengkapnyaSaat musim tanam tiba, para perantau itu pulang sebentar untuk menanam jagung dan selanjutnya pergi merantau lagi
Baca Selengkapnya"Sumur-sumur sudah mengering, sehingga warga hanya bisa mendapatkan air dari dasar sungai,” Sunardi.
Baca SelengkapnyaMayoritas warga di sana merupakan petani yang menggarap lahan tadah hujan. Kalau musim kemarau lahan itu dibiarkan kosong.
Baca SelengkapnyaWarga harus berjuang keras untuk mendapatkan air di tengah bencana kekeringan.
Baca SelengkapnyaKondisi ekonomi keluarga nelayan amat ditentukan oleh hasil tangkapan ikan
Baca SelengkapnyaSemangat emak-emak tersebut bisa membantu pemenuhan kebutuhan makanan sehat di tengah harga pangan yang mahal.
Baca SelengkapnyaRengginang merupakan camilan tradisional yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sederhana.
Baca Selengkapnya