31 Desember 1926: Pemutaran Perdana Loetoeng Kasaroeng, Film Pertama yang Diproduksi di Indonesia
Dengan durasi sekitar 60 menit, "Loetoeng Kasaroeng" diadaptasi dari cerita rakyat Sunda yang populer.
Dengan durasi sekitar 60 menit, "Loetoeng Kasaroeng" diadaptasi dari cerita rakyat Sunda yang populer.
31 Desember 1926: Pemutaran Perdana Loetoeng Kasaroeng, Film Pertama yang Diproduksi di Indonesia
"Loetoeng Kasaroeng" adalah sebuah film bisu Indonesia yang dianggap sebagai film Indonesia pertama. Film ini pertama dirilis pada 31 Desember 1926 dan disutradarai oleh L. Heuveldorp. Dengan durasi sekitar 60 menit, "Loetoeng Kasaroeng" diadaptasi dari cerita rakyat Sunda yang populer.
"Loetoeng Kasaroeng" mengisahkan tentang Tjioeng Wanara, seorang putri yang cantik, yang diculik oleh Dewi Pertiwi karena kecantikannya. Cerita berfokus pada upaya sang raja untuk menyelamatkan putrinya dari Dewi Pertiwi.
-
Kapan film pertama diputar di Indonesia? Di tahun ini, film pertama kalinya diputar di Indonesia, tepatnya di Batavia.
-
Apa film pertama di Indonesia? Film dokumenter perjalanan Raja dan Ratu Belanda di Den Haag adalah film yang pertama kali diputar.
-
Siapa yang membuat film 'Loetoeng Kasaroeng'? Loetoeng Kasaroeng menjadi film yang pertama kali dibuat di Indonesia dan diputar di Bandung. Film ini diproduksi oleh perusahaan "Java Film Company".
-
Siapa sutradara film pertama di Indonesia? Saat itulah ia resmi menjadi sutradara film pertama di Indonesia.
-
Di mana bioskop pertama di Indonesia? Rumah seorang pengusaha ini dialihfungsikan sebagai bioskop dengan nama 'The Royal Bioscoope'.
-
Kapan Hari Film Sedunia pertama kali dirayakan? Hari Film Sedunia diperingati pertama kali pada tahun 2020 lalu.
Pada intinya, film ini menggambarkan konflik antara kebaikan dan kejahatan, dengan unsur-unsur supernatural dan mitologis yang kuat.
"Loetoeng Kasaroeng" memiliki nilai sejarah yang tinggi karena dianggap sebagai film layar lebar pertama yang diproduksi di Indonesia. Meskipun film ini kini dianggap sebagai film hilang, artinya salinan asli film tidak lagi dapat ditemukan, tetapi popularitasnya sebagai karya sejarah tetap terjaga.
Film ini memberikan pandangan awal terhadap perkembangan industri perfilman Indonesia dan menandai dimulainya eksistensi perfilman nasional.
Sinopsis Cerita Loetoeng Kasaroeng
Film ini dibintangi oleh para pemeran pribumi, menjadikannya sebagai film pertama yang menampilkan penduduk asli. Pemutaran perdananya di Bandung dari 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927.
Loetoeng Kasaroeng sendiri dibuat berdasarkan cerita rakyat Sunda yaitu, Lutung Kasarung. Film ini ercerita tentang seorang gadis yang jatuh cinta pada seekor lutung. Pada akhirnya, diketahui bahwa lutung itu adalah seorang pangeran titisan Sunan Ambu.
Purbasari dan Purbararang adalah kakak-beradik yang saling berkompetisi. Purbararang, sang kakak, mengejek Purbasari karena mempunyai kekasih seekor lutung bernama Guru Minda. Sementara, Purbararang sendiri mempunyai kekasih seorang manusia bernama Indrajaya, yang sangat ia banggakan. Pada akhirnya, terungkap bahwa Guru Minda adalah seorang pangeran tampan titisan dewi Sunan Ambu.
Loetoeng Kasaroeng berhasil menjadi tonggak awal dalam sejarah perfilman Indonesia, memberikan landasan bagi perkembangan lebih lanjut dalam industri ini.
Diproduksi Oleh N.V. Java Film
N.V. Java Film adalah sebuah rumah produksi yang berpusat di Batavia (sekarang Jakarta). Di bawah tekanan film-film impor, pada 1926, N.V. Java Film memilih untuk membuat film fitur yang dibuat berdasarkan cerita rakyat Sunda yaitu Lutung Kasarung.
Pemilik perusahaan, L. Heuveldorp, bertindak sebagai sutradara dan produser. Sementara itu, kepala laboratoriumnya, G. Krugers bertanggung jawab atas sinematografi dan pemrosesan. Hanya sedikit informasi biografis yang tersedia mengenai latar belakang kedua orang ini.
Semua pemeran berasal dari golongan priayi, di bawah koordinasi kepala sekolah Kartabrata. Di antara para pemeran adalah anak-anak Wiranatakusumah V, bupati Bandung. Ia telah setuju untuk membantu mendanai film ini guna mempromosikan budaya Sunda; sebelumnya, ia telah mengangkat cerita ini ke atas panggung.
Subsidi lainnya datang dari Kementerian Pertahanan, yang menyumbangkan sejumlah truk untuk memudahkan pembuatan film. Syuting dimulai pada bulan Agustus 1926, dengan beberapa adegan diambil di sebuah gua yang telah digali untuk keperluan produksi di Bukit Karang.
Awalnya, para pemeran berakting tanpa arahan. Namun, hasilnya mengecewakan. Kartabrata lantas berdiri di belakang kameramen dan memberi arahan. Ia juga meminta setiap pemeran untuk berlatih sebelum syuting dilakukan. Setiap shot yang dilakukan di gua dan tebing membuat beberapa aktris berlatih dengan keras karena medan yang sulit.
Pertama Kali Diputar pada 31 Desember 1929
Film Loetoeng Kasaroeng pertama kali diputar pada 31 Desember 1926 di Bioskop Oriental dan Elita di Bandung. Loetoeng Kasaroeng menjadi film fitur pertama yang diproduksi di dalam negeri dan yang pertama menampilkan pemeran pribumi.
Iklan-iklannya dimuat dalam publikasi berbahasa Belanda dan Melayu. Film ini hanya ditayangkan selama seminggu disertai pertunjukan gamelan Sunda secara langsung sebagai musiknya, setelah itu Loetoeng Kasaroeng digantikan oleh film-film Hollywood.
Pada 14 hingga 17 Februari 1927, film ini diputar di bioskop Mignon di Cirebon. Meskipun kinerja box office-nya tidak tercatat, diperkirakan hasilnya buruk.
Sebuah ulasan oleh "Bandoenger" di majalah Panorama menilai film ini memiliki kualitas teknis yang buruk dibandingkan dengan film impor, yang menunjukkan bahwa produksi film ini kekurangan dana. Ulasan tersebut juga menyatakan bahwa beberapa pemeran tidak dibayar atas penampilan mereka.
Setelah Loetoeng Kasaroeng dirilis, banyak film domestik yang dibuat. Produksi domestik kedua, Eulis Atjih (1927), disutradarai oleh Krugers dan dirilis lebih luas. Perilisan Lily van Java (Lili dari Jawa) pada 1928 menandai keterlibatan etnis Tionghoa dalam industri film. Pada 1940, sutradara pribumi telah menjadi hal yang umum.
Loetoeng Kasaroeng tampaknya termasuk film yang hilang. Antropolog visual Amerika, Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia dari sebelum tahun 1950 telah hilang. Namun, Katalog Film Indonesia karya JB Kristanto mencatat bahwa beberapa film masih tersimpan di Sinematek Indonesia.