6 Oktober 1981 Presiden Mesir Anwar Sadat Dibunuh, Ini Kronologinya
Pembunuhan ini bukan hanya mengakhiri karier politik seorang pemimpin, tetapi juga menandai momen penting dalam sejarah Mesir dan kawasan Timur Tengah.
Pada 6 Oktober 1981, dunia dikejutkan oleh pembunuhan Presiden Mesir, Anwar Sadat, yang terjadi dalam sebuah parade militer di Kairo. Pembunuhan ini bukan hanya mengakhiri karier politik seorang pemimpin, tetapi juga menandai momen penting dalam sejarah Mesir dan kawasan Timur Tengah.
Anwar Sadat, yang dikenal sebagai arsitek Perjanjian Camp David dengan Israel dan sebagai sosok yang memimpin Mesir menuju modernisasi, menjadi target bagi kelompok ekstremis yang menolak kebijakan luar negerinya dan perubahan sosial yang diterapkan di dalam negeri.
-
Bagaimana Anwar Sadat dibunuh? Saat Presiden Anwar Sadat tengah menerima penghormatan dari defile militer, Khaled dan pasukannya melompat dari truk. Mereka melempar granat dan memberondongkan senjata ke arah Presiden Mesir.
-
Siapa yang membunuh Anwar Sadat? Aksi itu dipimpin oleh Letnan Khaled Islambouli.
-
Kapan Saddam Hussein dibunuh? Tepatnya pada 30 Desember 2006, Saddam Hussein dibunuh karena terbukti bersalah atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan.
-
Kenapa Saddam Hussein dibunuh? Tepatnya pada 30 Desember 2006, Saddam Hussein dibunuh karena terbukti bersalah atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan.
-
Bagaimana Saddam Hussein dibunuh? Hukuman mati dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 2006 dengan digantung di sebuah fasilitas militer di dekat Baghdad.
-
Siapa yang membunuh Saddam Hussein? Hukuman mati dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 2006 dengan digantung di sebuah fasilitas militer di dekat Baghdad.
Motivasi di balik pembunuhan Sadat sangat kompleks dan berakar pada ketidakpuasan di kalangan segmen-segmen tertentu masyarakat Mesir. Banyak yang merasa bahwa kebijakan luar negeri Sadat, terutama hubungan dekat dengan Amerika Serikat dan pengakuan terhadap Israel, mengkhianati prinsip-prinsip Arab dan Islam.
Kelompok-kelompok ekstremis, seperti al-Jihad, melihat Sadat sebagai penghalang bagi cita-cita mereka untuk membangun negara Islam yang murni. Kejadian tragis ini mencerminkan pergeseran besar dalam politik Mesir dan memperlihatkan ketegangan antara moderasi dan ekstremisme.
Dampak dari pembunuhan ini sangat terasa, tidak hanya di Mesir tetapi juga di seluruh dunia Arab. Setelah kematiannya, Mesir mengalami ketidakstabilan politik dan sosial yang berkepanjangan, dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh penerusnya, Hosni Mubarak, berupaya untuk meredakan ketegangan tersebut.
Namun, meski Sadat telah tiada, warisannya sebagai pemimpin yang berani melakukan langkah-langkah berani dalam diplomasi tetap menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan politisi. Pembunuhan Anwar Sadat membuka babak baru dalam sejarah Mesir, yang masih terus dipengaruhi oleh konflik ideologis dan politik yang dihadapi oleh bangsa tersebut hingga saat ini.
Mengenal Sosok Anwar Sadat
Anwar Sadat adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Mesir dan dunia Arab. Ia lahir pada 25 Desember 1918 di desa Mit Abu al-Kum, Mesir. Sadat memulai karier militernya setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer Mesir dan segera terlibat dalam politik ketika bergabung dengan gerakan bebas Mesir, yang berjuang melawan kolonialisme Inggris.
Sadat menjabat sebagai wakil menteri pertahanan selama pemerintahan Gamal Abdel Nasser dan menjadi salah satu arsitek penting dalam revolusi 1952 yang mengakhiri monarki di Mesir. Setelah kematian Nasser pada tahun 1970, Sadat diangkat sebagai presiden Mesir.
Di bawah kepemimpinannya, Mesir mengalami sejumlah perubahan signifikan, baik di bidang politik maupun ekonomi. Ia dikenal karena kebijakan liberalisasi ekonomi yang disebut "Infitah" (pembukaan), yang bertujuan untuk menarik investasi asing dan memperbaiki kondisi ekonomi Mesir.
Namun, salah satu pencapaian paling terkenal dari Sadat adalah perjanjian damai dengan Israel melalui Perjanjian Camp David pada tahun 1978. Langkah ini membuatnya menjadi pemimpin Arab pertama yang mengakui eksistensi Israel, sebuah tindakan yang banyak dipuji di Barat tetapi menuai kritik tajam dari banyak negara Arab.
Sadat juga berupaya untuk memperkuat hubungan Mesir dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat yang membawanya pada dukungan finansial dan militer. Sayangnya, kebijakan dan keputusan Sadat, termasuk hubungan dekatnya dengan Barat, menyebabkan ketidakpuasan di kalangan segmen-segmen tertentu dalam masyarakat Mesir.
Dibunuh pada 6 Oktober 1981
Anwar Sadat, Presiden Mesir, dibunuh pada 6 Oktober 1981, saat perayaan ulang tahun ke-8 Perang Yom Kippur. Sadat dikenal karena kebijakan luar negerinya yang pro-Barat dan perjanjian damai yang ditandatangani dengan Israel pada tahun 1979, yang memicu kemarahan di kalangan kelompok-kelompok Islamis dan nasionalis Arab. Kebijakan ini juga menyebabkan ketidakpuasan di dalam negeri, di mana banyak yang merasa bahwa Sadat mengabaikan masalah sosial dan ekonomi.
Selama tahun-tahun menjelang pembunuhannya, ketegangan politik meningkat. Sadat menangkap banyak lawan politiknya, termasuk anggota kelompok Islam yang aktif, yang mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok militan seperti Al-Jihad yang menentang pemerintah. Pada 6 Oktober 1981, Sadat hadir dalam sebuah parade militer untuk merayakan peringatan Perang Yom Kippur. Acara tersebut dihadiri oleh banyak pejabat tinggi, termasuk diplomat asing dan anggota militer.
Selama parade, sekelompok militan yang terafiliasi dengan organisasi Al-Jihad, yang dipimpin oleh Khalid Islambouli, menyerang. Mereka menggunakan senjata otomatis dan granat, menembaki Sadat dan para pejabat yang hadir. Dalam serangan itu, Sadat terluka parah dan kemudian meninggal dunia di rumah sakit. Setelah pembunuhan, banyak anggota kelompok yang terlibat ditangkap dan diadili. Khalid Islambouli, salah satu pelaku utama, dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi pada tahun 1982.
Dampak Pembunuhan Presiden Anwar Sadat
Setelah pembunuhan Sadat, Wakil Presiden Husni Mubarak mengambil alih kekuasaan dan menjadi presiden Mesir. Mubarak melanjutkan kebijakan Sadat, tetapi dengan pendekatan yang lebih represif terhadap oposisi politik dan kelompok Islamis, termasuk penangkapan massal dan tindakan keras terhadap aktivis.
Meskipun Mubarak berusaha menjaga stabilitas politik, ketidakpuasan di kalangan masyarakat tetap ada. Rezim Mubarak menghadapi berbagai tantangan, termasuk protes dan pemberontakan yang akhirnya memuncak pada Revolusi Mesir 2011. Ketidakpuasan ini sebagian besar berakar dari masalah ekonomi, korupsi, dan pengekangan hak asasi manusia yang semakin meningkat.
Sadat dikenal karena kebijakan luar negerinya yang pro-Israel dan upayanya untuk menjalin hubungan baik dengan negara-negara Barat. Meskipun Mubarak melanjutkan perjanjian damai dengan Israel, pembunuhan Sadat menciptakan ketidakpastian dalam hubungan tersebut. Mesir tetap menjadi sekutu penting bagi Amerika Serikat, tetapi juga harus menghadapi kritik dari kelompok-kelompok Arab yang menentang normalisasi hubungan dengan Israel.
Pembunuhan Sadat mendorong radikalisasi lebih lanjut di kalangan kelompok Islamis di Mesir dan negara-negara Arab lainnya. Kelompok-kelompok seperti Al-Jihad dan Ikhwanul Muslimin terus beroperasi dan menentang pemerintah Mesir. Radikalisasi ini juga berkontribusi pada meningkatnya kekerasan dan terorisme di kawasan, termasuk serangan terhadap pemerintah dan pejabat negara.
Pembunuhan Sadat juga berdampak pada politik Arab secara keseluruhan, di mana banyak negara mulai melihat kebutuhan untuk menanggapi tuntutan masyarakat terhadap reformasi politik dan sosial. Proses ini memicu pergeseran dalam dinamika kekuasaan di kawasan tersebut, dengan meningkatnya tekanan untuk perubahan yang lebih demokratis dan mengurangi pengekangan kebebasan.
Kematian Presiden Anwar Sadat memperkuat pandangan internasional tentang risiko yang dihadapi pemimpin yang berusaha melakukan perubahan besar dalam kebijakan luar negeri dan domestik. Ini juga menjadi pelajaran bagi banyak pemimpin di kawasan Timur Tengah mengenai pentingnya menangani ketidakpuasan masyarakat dan berupaya membangun dialog dengan kelompok-kelompok oposisi.