Kerja serabutan agar tak kelaparan
Merdeka.com - Darmanto (42) sudah terbiasa hidup dalam udara pengap terjepit beton jembatan penyangga pipa air milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Bau tidak sedap sampah sungai Banjir Kanal Barat yang merangsek masuk dari celah-celah dinding beton, jadi santapan sehari-hari.
Lelaki asal Palembang, Sumatera Selatan ini duduk santai di ruang berukuran 3x2 meter yang disulap sebagai rumah tinggalnya. Sesekali dia berbaring di ruangan yang tingginya tak lebih dari satu meter itu.
Sehari-hari dia menjajakan bir dan minuman ringan di kawasan Tanah Abang. Penghasilannya tidak tetap, bahkan bisa dibilang kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota metropolitan. Dia memilih tinggal di jembatan beton penyangga pipa PDAM agar bisa menyisakan penghasilannya untuk anak-istrinya yang tinggal di Daan Mogot, Jakarta Barat.
-
Di mana warga seberangi jembatan bambu? Di sana, penduduk harus menyeberangi Sungai Cisangu menggunakan jembatan ala kadarnya yang terbuat dari batang bambu.
-
Bagaimana kehidupan warga di pemukiman padat? Saat memasuki area perkampungan lebih dalam, kehidupan warganya pun masih begitu terasa.
-
Kenapa warga kesulitan air bersih? Kekeringan tahun ini disebabkan oleh fenomena El Nino yang membuat curah hujan sangat rendah.
-
Siapa yang kesulitan mendapatkan air bersih? Dampak bencana kekeringan rupanya sangat dirasakan warga di Dusun Bisang. Di sana lahan-lahan kering kerontang. Sumur-sumur warga mengering. Satu-satunya sumber mata air berada di atas bukit. Warga berbondong-bondong untuk mengambil air dari sana.
-
Bagaimana warga mengatasi kesulitan air di Jawa Tengah? Warga pun terpaksa mencari air di dalam hutan yang jaraknya mencapai satu kilometer dari desa mereka.'Kondisinya sudah berlangsung sebulan ini. Padahal kebutuhan air ini untuk memasak dan mandi,' kata Suratmi, salah seorang warga Desa Garangan yang terdampak kekeringan, dikutip dari kanal YouTube Liputan6 pada Rabu (18/9).
-
Siapa yang menghuni pemukiman? Analisis genetik pada tulang manusia yang digali menunjukkan hubungan erat antara penduduk pemukiman ini dengan kelompok lain di China selatan dan Asia Tenggara.
"Saya dagang, tidak selamanya untung. Semalam saya dagang, seribu perak pun enggak dapat," kata Darmanto ketika berbincang dengan merdeka.com di biliknya, akhir pekan lalu.
Dari bilik sempit itu Darmanto berbagi cerita. Dia sadar betul tanggung jawabnya untuk anak dan istrinya sangat besar. Dia berulang kali menyatakan bahwa anaknya harus mengenyam pendidikan dengan harapan bisa hidup layak suatu hari nanti.
Beberapa potong baju dan satu buah lampu bohlam 5 watt menjadi saksi bisu kegundahan hatinya setiap hari. Darmanto rela tidur di atas papan yang hanya dengan alas gabus tipis, asal anak dan istrinya bisa hidup layak di rumah kontrakan. "Kalau datang dari rumah pasti butuh ongkos mahal. Lebih baik untuk jajan anak-anak di sekolah," kata Darmanto lirih.
Ada satu hal yang membuat batin Darmanto teriris. Saat itu istri dan anak-anaknya datang menemuinya. Mereka terenyuh karena hanya bisa melihat Darmanto dari celah sempit di atas jembatan. Istrinya sempat mengajak Darmanto pulang ke rumah kontrakannya di daerah Jakarta Barat karena khawatir suaminya terjaring razia penyakit masyarakat.
belum tuntas ceritanya, tiba-tiba Darmanto terdiam. Wajahnya sedikit berubah ketika petir menggelegar diikuti hujan deras. Dengan cekatan Darmanto langsung menutup pintu rumahnya yang hanya terbuat dari sebilah papan triplek berukuran 50x25 cm. Hujan yang datang sewaktu-waktu membuat Darmanto khawatir banjir kembali menerjang. Hidup di atas aliran Banjir Kanal Barat membuatnya harus siap mengungsi jika suatu saat banjir datang. Seperti tahun lalu, Darmanto harus pergi dari 'pemukiman' bawah jembatan pipa PDAM karena tempat tinggal mereka digenangi air.
"Tahun ini memang tidak banjir seperti tahun lalu, tapi kalau hujan ya tetap masuk melalui celah terpal. Tapi Tuhan itu baik, saya tidak pernah sakit," tuturnya.
Tetangga Darmanto, Tina, punya cerita tak jauh berbeda soal perjuangan hidup di kerasnya ibu kota. Sehari-hari Tina bekerja sebagai buruh cuci di sebuah rumah susun tak jauh dari tempat tinggalnya itu. Gajinya hanya Rp 300.000 per bulan.
Dia menyadari betul, tidak bisa hidup di Jakarta jika hanya bermodal gaji sebesar itu. Karena itu, setiap senja hingga larut malam, dia menjajakan kopi keliling di pinggir jalan protokol.
Sebelum tinggal di tempat itu, Tina berdagang makanan di pingggir Stasiun Tanah Abang. Pada 2014 dia terjaring razia petugas Satpol PP DKI Jakarta. Wanita paruh baya ini pun memilih pulang kampung. Itu hanya sementara. Tina kembali tergiur janji kehidupan layak di Jakarta. "Kerja apa saja yang penting engak lapar," tutur Tina sambil tersenyum.
Penghuni lainnya, Aleks (42) juga merasakan getirnya hidup dari balik bilik sempit. Ketika banjir datang tahun lalu, semua perabotan dan barang-barang yang dimilikinya hanyut dibawa air. "Dulu saya punya TV tapi dibawa banjir semuanya dengan barang-barang yang lain," kata Aleks.
Aleks sadar betul, tinggal di bawah jembatan penyangga pipa air telah melanggar aturan. Beberapa kali dia terjaring penertiban. Petugas Satpol PP sering menertibakan terpal-terpal yang mereka gunakan. Mereka menyiasatinya dengan pergi sejenak beberapa hari. Setelah dirasakan aman, mereka kembali dan tinggal di tempat itu. "Razia sering tapi kalau aman datang lagi. Kita tidak keberatan kalau diusir kok. Ini kan tempat bukan milik kita," jelasnya. (mdk/noe)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Di tengah-tengah masyarakat yang hidup berkecukupan, ada sebuah perkampungan dengan kondisi begitu miris.
Baca SelengkapnyaSebetulnya ada wacana warganya akan di relokasi ke sebuah rusun yang nantinya bakal disiapkan oleh Pemprov.
Baca SelengkapnyaSehari-hari, mereka bekerja sebagai buruh tani. Penghasilan harian kecil kadang tak dapat sama sekali
Baca SelengkapnyaPotret kehidupan nelayan di tengah laut saat mencari ikan. Terombang-ambing saat hujan badai.
Baca SelengkapnyaWilayah pesisir Jakarta Utara bukan hanya menjadi langganan banjir rob sebagai dampak krisis iklim, tetapi juga menghadapi krisis air bersih.
Baca SelengkapnyaWarga harus berjuang keras untuk mendapatkan air di tengah bencana kekeringan.
Baca SelengkapnyaWarga Desa Sumberkare terpaksa menggunakan air sungai untuk berbagai kebutuhan.
Baca SelengkapnyaSeorang ibu-ibu warga di sana menyebutkan bahwa kampung ini sudah ada sejak zaman peperangan.
Baca SelengkapnyaBahkan dikabarkan pernah ada warga yang meninggal dunia usai terjatuh dari atas jembatan saat menyeberangi sungai tersebut.
Baca SelengkapnyaMeski sudah tak layak pakai, masih banyak kendaraan roda empat yang nekat lewat karena jembatan merupakan akses penghubung antara dua kabupaten.
Baca Selengkapnya"Sumur-sumur sudah mengering, sehingga warga hanya bisa mendapatkan air dari dasar sungai,” Sunardi.
Baca SelengkapnyaSumur ini jadi satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat.
Baca Selengkapnya