Tak pede, partai dan calon terjebak politik uang
Merdeka.com - Berita tentang calon anggota legislatif yang membawa dan membagikan sekoper uang, sebetulnya biasa dalam musim pemilu. Banyak saksi bercerita, bahkan pelakunya sendiri membeberkan ke wartawan dengan wanti-wanti, "jangan sebut nama saya ya."
Tapi kalau ada polisi menangkap mobil kampanye yang membawa sekoper uang, tentu bukan cerita biasa. Sebab, ada fakta tak terbatahkan: uang sekoper bersatu bersama atribut partai dan calon, seperti kaos, form pengkaderan relawan, form pelatihan relawan, contoh surat suara, dan dokumen-dokumen calon lainnya.
Bahwa banyak orang tidak percaya lagi atas klaim elit partai politik, bahwa partainya bersih dan antikorupsi, kita sudah mafhum. Ya tentu saja, karena klaim itu berlawanan dengan praktik politik sehari-hari. Oleh sebab itu, teriak kencang juru kampanye, bahwa partai dan calonnya melarang politik uang, hanya jadi bahan ketawaan saja.
-
Gimana uang bisa mempengaruhi Pemilu? Ia menyebut bahwa calon legislatif (caleg) yang memiliki sumber daya finansial yang cukup seringkali tidak perlu melakukan kampanye secara aktif, karena ancaman uang sudah cukup kuat untuk mempengaruhi hasil pemilihan.
-
Kenapa politikus maju capres ? Sejumlah kandidat maju sebagai capres dengan tujuan ingin menang. Tapi ada juga yang maju karena alasan ingin membantu memperkuat posisi partainya di parlemen sebagai bagian dari upaya mencetak pemimpin jika terjadi kebuntuan politik.
-
Apa besaran gaji Pantarlih Pilkada 2024? Menurut regulasi tersebut, gaji Pantarlih Pilkada 2024 ditetapkan sebesar Rp 1.000.000 per bulan.
-
Berapa honor Pantarlih Pilkada 2024? Besaran honor yang telah ditetapkan adalah sebesar Rp 1 juta per bulan.
-
Kenapa uang mengancam Pemilu 2024? 'Banyak sekali sekarang, paling serius dalam integritas negeri ini adalah uang, ancaman ini akan terjadi, dan akan terjadi pada Pemilu 2024,' jelas Alfitra dalam acara sosialisasi aplikasi Sietik DKPP RI di Hotel Yuan Garden, Senin (18/12).
-
Apa itu Pemilu? Pemilu adalah sarana penyelenggaraan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Meski demikian, tertangkapnya sekoper uang bersama atribut partai dan calon oleh polisi itu, tetap menarik perhatian. Apalagi ada nama mentereng di situ: Hanafi Rais, Calon Anggota DPR dari PAN, Nomor Urut 1 Daerah Pemilihan DI Yogyakarta. Dari namanya sudah ketahuan: dia adalah anak Amien Rais, mantan Ketua Umum PAN.
Tapi hendaknya kita tidak berprasangka terlebih dahulu, bahwa Hanafi Rais akan membagi-bagikan uang tersebut kepada pemilih. Jangan-jangan uang itu akan digunakan untuk pelatihan relawan dan pelatihan saksi, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa dokuman dalam mobil itu.
Memang relawan itu kerja tanpa motif uang. Tapi mereka toh tetap biaya makan dan transportasi. Memang saksi itu diangkat oleh partai. Tapi mereka juga butuh biaya makan dan transportasi. Mungkin dana Rp 510 juta dalam koper itu tidak cukup untuk membiayai kegiatan relawan dan saksi yang jumlahnya ribuan.
Ok. Kita paham alasan itu. Atau paling tidak, kita bisa tunggu penyelidikan pengawas pemilu atas dugaan ada tidaknya kaitan sekoper uang itu dengan kegiatan politik uang.
Namun sebelum pengawas pemilu memutuskan, kita sudah mafhum, sebagian besar calon memang gemar bagi-bagi duit ke pemilih, baik dengan cara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, baik dilakukan sendiri maupun melalui kaki tangan. Tindakan ini sesungguhnya tidak masuk akal.
Pertama, jika semua calon membagikan uang, lalu ada calon terpilih dan ada yang tidak, berarti dasar keterpilihan itu bukan faktor uang. Apakah calon yang memberi uang terbanyak akan terpilih? Tidak juga. Nyatanya, banyak calon gagal dan bangkrut karena alasan ini.
Kedua, dari tahun ke tahun, berbagai hasil survei menunjukkan, bahwa sekitar 75 sampai 85 persen pemilih yang menerima uang atau barang dari calon, ternyata tidak memilih calon yang memberikan uang atau barang itu. Ini terjadi baik pada pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pemilu kepala daerah.
Ketiga, data pilkada 2005-2008 dan pilkada 2010-2013 menunjukkan, bahwa 60 persen petahana di Jawa, terpilih kembali; sementara di luar Jawa angkanya 40 persen. Artinya, 40 persen petahana di Jawa gagal, sementara di luar Jawa 60 persen yang gagal. Nah, bukankah petahana punya nama, punya kuasa, dan punya duit, tetapi mengapa tidak terpilih semua? Sekali lagi, salah besar yang menganggap pemilih kita mata duitan.
Sesungguhnya elit partai politik dan para calon anggota legislatif mengetahui tiga situasi tersebut. Mereka paham betul, bahwa bagi-bagi uang bukan jaminan menjadi pilihan rakyat. Masalahnya, mengapa mereka tetap melakukan politik uang? Mengapa mereka mau bertindak yang jelas-jelas merugikan diri sendiri?
Di sinilah para politisi mengalami kegalauan. "Saya tahu politik uang tidak menjadi jaminan. Tapi kalau kita lihat, calon lain membagikan uang, maka muncul kekhawatiran: jangan-jangan kalau saya tidak bagikan uang, saya kalah?" Demikian pengakuan seorang politisi yang sudah 10 tahun ngantor di Senayan.
Sesungguhnya para politisi kita sudah masuk dalam jebakan politik uang. Dan cilakanya jebakan itu mereka ciptakan sendiri. Oleh karena itu, jangan berharap pemilih bisa melepaskan jebakan itu, karena yang paham tentang jebakan itu adalah para politisi sendiri.
(mdk/tts)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ikhsan pernah melakukan penelitian saat pemilihan Walikota Serang, Banten tahun 2013 dan mendapati salah satu calon membayar Rp5 miliar.
Baca SelengkapnyaMenurut Cak Imin, kompetisi politik sudah semakin pragmatis. Dia ingin pemilihan dikembalikan kepada nilai-nilai dari tujuan berbangsa dan bernegara.
Baca SelengkapnyaCak Imin mengungkapkan bahwa dalam Pilkada 2024, biaya politik uang mencapai Rp300 ribu untuk setiap suara. Apakah hal ini mengancam kualitas demokrasi kita?
Baca SelengkapnyaUang perahu ini akan banyak ditemukan menjelang pemilu.
Baca SelengkapnyaPolitik uang cenderung mahal karena dampaknya yang tidak sebanding dengan ekspektasi.
Baca SelengkapnyaAnggota Komisi II DPR RI Fraksi PDIP Hugua mengusulkan, agar money politics dilegalkan dengan batasan tertentu di Peraturan KPU pencalonan di Pilkada
Baca SelengkapnyaPolres Pekalongan mengungkap kasus penipuan dengan modus penggandaan uang bermotif politik. Korbannya seorang caleg dari Partai Golkar.
Baca SelengkapnyaPakar Hukum Tata Refly Harun mengatakan alasan Pilkada, Pileg, hingga Pilpres mahal karena pertemuan calon dengan pemilih membutuhkan biaya.
Baca SelengkapnyaChico meyebut maraknya money politic tidak ditindak tegas dan justru dibiarkan tumbuh subur.
Baca SelengkapnyaSemakin jelas bahwa selama ini, ada pihak yang teriak-teriak curang padahal dirinya sebagai pelaku kecurangan.
Baca SelengkapnyaUntuk menjadi calon anggota legislatif (caleg) membutuhkan biaya yang besar.
Baca SelengkapnyaSekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto mendengar kabar upaya mengusung calon tunggal yang kaya raya dalam Pilkada 2024.
Baca Selengkapnya