Delegasi DPR RI Tolak Komisi Politik AIPA ke-40 Karena Tak Bahas Rohingya
Merdeka.com - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon memimpin delegasi parlemen Indonesia dalam rapat Komite Eksekutif ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) yang digelar di Bangkok, Thailand, Minggu (25/8) malam.
Sidang ini bertugas untuk memutuskan agenda serta daftar resolusi yang akan dibahas dalam Sidang Umum AIPA ke-40. Fadli Zon didampingi dua anggota DPR, Amelia Anggraini (Nasdem) dan Kartika Yudhisti (PPP). Rapat dipimpin Ketua Parlemen Thailand H.E. Chuan Leekpai, yang juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand 1992-1995 dan 1997-2001.
Dalam sidang tersebut, delegasi parlemen Indonesia kembali memperjuangkan isu krisis kemanusiaan Rohingya untuk dijadikan resolusi. Hal ini merupakan ketiga kalinya sejak sidang AIPA 2017 lalu.
-
Siapa yang memimpin delegasi Indonesia? Dalam pertemuan tersebut, delegasi Indonesia dipimpin Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono.
-
Siapa yang memimpin rapat paripurna DPR? Ketua DPR Puan Maharani menjelaskan alasan rapat paripurna DPR tidak lagi menyebutkan jumlah kehadiran anggota dewan secara virtual.
-
Siapa yang memimpin delegasi Indonesia di pertemuan Konsultasi? Dalam pertemuan tersebut, delegasi Indonesia dipimpin Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono.
-
Siapa ketua DPR? Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Komarudin sampaikan apresiasi.
-
Siapa yang menjadi Ketua DPR RI? Bahkan, lanjut dia, sudah diputuskan dan menjadi sebuah resolusi untuk mengapresiasi Ketua DPR RI Puan Maharani atas kepemimpinannya sebagai Chair dan Presiden AIPA 44th.
-
Apa tujuan pertemuan PDIP di Bali? 'Hari ini Ibu Megawati akan memimpin langsung konsolidasi PDIP di Bali, di mana seluruh kader partai dihadirkan untuk mengompakkan suatu semangat juang dan kita lihat Bali ini militansinya sangat tinggi.'
Usulan tersebut mengundang perdebatan panjang dalam sidang Komite Eksekutif AIPA. Myanmar kembali menolak dengan tegas isu krisis Rohingya masuk ke dalam pembahasan Sidang AIPA. Sementara sejumlah negara lainnya, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Singapura, lebih bersikap diam dan menyerahkan kepada mekanisme konsensus.
"Hari ini, 25 Agustus 2019, menandakan tepat dua tahun peristiwa genosida dan eksodus ratusan ribu orang Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh. Meski demikian, hingga kini situasi yang dialami para pengungsi Rohingya masih tak menunjukkan perbaikan. Upaya repatriasi yang sudah direncanakan sejak tahun lalu juga belum menunjukkan perkembangannya. Itu sebabnya, kami kembali mengajukan draf resolusi atas krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Resolusi ini harus menjadi bagian penting dari hasil Sidang Umum AIPA ke-40. Kita di ASEAN tak boleh menutup mata atas masalah Rohingya," kata Fadli Zon.
Fadli menjelaskan, sikap delegasi parlemen Indonesia masih sama dengan sikap pada 2017 dan 2018, bahwa krisis Rohingya harus masuk ke dalam agenda pembicaraan Komisi Politik AIPA. Sebagai forum parlemen tertinggi di ASEAN, AIPA tak boleh mengabaikan isu kemanusiaan Rohingya yang hingga kini belum tuntas penyelesaiannya. Penolakan AIPA terhadap pembahasan isu Rohingya, menandakan forum AIPA tak memiliki komitmen terhadap perlindungan kemanusiaan dan perdamaian di kawasan.
"Kekhawatiran Myanmar dan sejumlah negara lainnya terhadap draf resolusi yang kami ajukan, karena dinilai mencampuri urusan internal anggota ASEAN lainnya, jelas tak beralasan. Draf resolusi ini kami ajukan semata untuk mendukung Myanmar dalam memulihkan perdamaian dan stabilitas, serta untuk memberi bantuan dalam mengatasi krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Saya sudah meninjau langsung para pengungsi di kamp Kutupalong Bangladesh dan mereka hidup sangat menderita. Lebih dari 1 juta pengungsi dan mereka membawa cerita mengerikan tentang pengusiran, pemerkosaan bahkan pembantaian."
Dia menambahkan AIPA sebagai forum parlemen yang paling dekat dengan sumber krisis di Rohingya, semestinya menjadi forum parlemen yang paling aktif dalam merespon krisis tersebut. Sebab, dalam forum parlemen yang lebih luas, seperti dalam Sidang IPU (Inter Parliamentary Union) ke-139 di St. Petersburg, Rusia, pada 2018, masyarakat internasional telah mengakui urgensi untuk mengatasi situasi melalui sebuah resolusi.
Begitu juga halnya dengan PBB, yang telah menerbitkan laporan serta resolusi atas situasi yang terjadi di Rakhine, Myanmar. Sehingga, sangat aneh jika AIPA justru mengabaikan isu ini hanya karena hendak menjaga hubungan baik negara tetangga.
Fadli menjelaskan rapat Komite Eksekutif dibuka pukul 20.00 dan ditutup pukul 22.30. Dari 2,5 jam itu, sekitar 1,5 jam di antaranya berisi perdebatan mengenai draf resolusi yang diajukan parlemen Indonesia.
"Selama persidangan, Kami melakukan persuasi kepada seluruh delegasi bahwa resolusi ini penting untuk dijadikan sebagai sikap AIPA. Sesudah berdebat alot, persidangan terpaksa dihentikan sementara agar terjadi mekanisme lobi. Namun, upaya tersebut pun gagal. Delegasi parlemen Myanmar, yang dipimpin oleh Ny. Su Su Lwin, yang juga mantan ibu negara, tetap tidak mau membuka diri untuk menerima dan membahas resolusi yang diusulkan Indonesia," beber Fadli.
Sehingga sesuai dengan statuta AIPA, dimana mekanisme pengambilan keputusan di AIPA menganut sistem konsensus, akhirnya tak ada resolusi terkait isu Rohingya. Sebagai bentuk protes, delegasi Indonesia menolak untuk membahas resolusi lain dalam bidang politik. Konsekuensinya, dalam sidang AIPA pada tahun ini tidak akan ada pembahasan isu di Komite Politik.
"Sikap ini penting untuk ditunjukkan oleh delegasi Indonesia, agar AIPA tidak sekedar menjadi forum seremoni dan basa-basi belaka," lanjutnya.
"Krisis kemanusiaan di Rohingya adalah krisis kemanusiaan berat, tidak hanya untuk Asia Tenggara, tetapi untuk komunitas global. Itu sebabnya kami meminta agar AIPA tak lagi mendiamkan masalah ini. Itu posisi DPR RI dalam sidang AIPA kali ini," tutup Fadli. (mdk/ian)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Parlemen Thailand berkunjung ke Indonesia perkuat kerjasama di berbagai bidang
Baca SelengkapnyaRapat yang digelar di Gedung Nusantara II, DPR RI ini dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.
Baca SelengkapnyaDari 541 anggota dewan hanya 272 orang yang hadir. Sementara kursi pimpinan hanya satu orang yang absen.
Baca SelengkapnyaSaat itu dibahas sekitar 496 Daftar Inventaris Masalah (DIM) dengan beberapa bagian.
Baca SelengkapnyaDasco mengatakan, DPR akan selalu tunduk dengan aturan dana tata tertib rapat paripurna demi terciptanya keputusan yang demokratis.
Baca SelengkapnyaMenanggapi hal ini, fraksi PDIP berkomitmen akan terus berjuang dan memastikan demokrasi di Indonesia tetap berjalan
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi buka suara mengenai rapat baleg DPR RI yang disorot karena diduga untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Pilkada
Baca SelengkapnyaPDIP menilai, pembahasan RUU Pilkada mengabaikan suara masyarakat.
Baca SelengkapnyaDasco mengklaim tidak bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Jakarta untuk membahas pengesahan revisi undang-undang Pilkada.
Baca SelengkapnyaRapat paripurna dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Fraksi NasDem Rachmat Gobel.
Baca SelengkapnyaCak Imin menyatakan pansus sudah dapat menggelar rapat karena izinnya telah diiteken pimpinan Dewan.
Baca SelengkapnyaDPR RI mengusulkan Asean Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) membentuk satuan tugas untuk membantu demokratisasi di Myanmar
Baca Selengkapnya