Imunisasi Rendah, Ancaman 'Gunung Es' di Serambi Mekkah
Merdeka.com - Yanti (38), duduk di samping SN, bayi berusia dua tahun yang tengah terbaring lemas di ranjang dengan infus tertancap di tangan mungilnya. Sudah dua malam bayi itu dirawat di ruang Cut Nyak Dhien 7 Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA), Banda Aceh.
Anak perempuan semata wayangnya itu dilarikan ke rumah sakit karena demam tinggi. Kata dokter dia mengalami dehidrasi dan infeksi.
"Siang ini sudah bisa pulang bang," kata Yanti, mengawali perbincangan dengan merdeka.com saat berkunjung ke RSIA, Banda Aceh, Rabu (18/12).
-
Kenapa imunisasi terlambat bisa membuat anak lebih rentan terhadap penyakit? Anak yang tidak menjalani imunisasi sesuai jadwal mungkin tidak mendapatkan perlindungan yang optimal dari penyakit tertentu. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi, dan jika terinfeksi, durasi penyakit yang dialami bisa lebih lama dibandingkan dengan anak yang telah menyelesaikan vaksinasi.
-
Informasi apa yang disebarluaskan? Diseminasi adalah proses penyebaran informasi, temuan, atau inovasi yang direncanakan, diarahkan, dan dikelola agar dapat dimanfaatkan oleh kelompok target atau individu.
-
Kenapa angka kesembuhan kanker anak di Indonesia rendah? Salah satu dampak serius dari keterlambatan diagnosis adalah rendahnya angka kesembuhan bagi anak-anak penderita kanker di Indonesia. Dr. Yaulia menyebutkan bahwa prevalensi kesembuhan kanker anak di Indonesia hanya berkisar antara 20-35 persen.
-
Siapa saja yang berisiko karena anak tidak divaksinasi? Anak yang tidak divaksinasi juga membawa risiko bagi anggota keluarga lainnya.
-
Apa yang terjadi jika anak terlambat imunisasi? Jika anak tidak mendapatkan imunisasi tepat waktu, mereka akan menjadi lebih rentan terhadap berbagai infeksi penyakit yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin. Di samping itu, proses perlindungan maksimal melalui imunisasi akan memakan waktu lebih lama, sehingga anak akan berisiko lebih tinggi terhadap penyakit yang bisa saja berbahaya bagi kesehatan mereka.
-
Kenapa angka DBD di Indonesia terus meningkat? Demam berdarah dengue terus menjadi beban serius di Indonesia. Setiap tahun, ribuan kasus dilaporkan di seluruh negeri, menyebabkan beban yang signifikan pada sistem kesehatan.
Yanti merupakan salah seorang perempuan yang terinfeksi rubella sebelum hamil. Dokter menjelaskan, virus rubella sudah menjadi imun dalam tubuhnya.
Yanti mengaku awam dengan virus rubella sebelum menikah. Tak ada pemahaman sama sekali dengan virus tersebut. Apa lagi saat itu tidak ada gejala apapun dengan kesehatannya.
Sebelum menikah, ia diminta melengkapi vaksin tetanus, atau dikenal dengan nama toksoid tetanus karena itu menjadi prasyarat mengurus surat pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) di Banda Aceh.
Yanti tidak sedikit pun menduga. Ternyata dalam tubuhnya terdapat virus rubella, atau juga dikenal dengan Campak Jerman. Ia baru mengetahui setelah mengalami keguguran dua kali.
Semua pasangan suami istri (pasutri) yang sudah menikah tentunya berkeinginan memiliki si jabang bayi. Namun ia nyaris putus asa. Setelah positif hamil, kandungannya keguguran. Ia bahkan sampai dua kali kehilangan janin.
Awalnya Yanti tidak menaruh curiga keguguran kandungannya akibat dari rubella. Gejala awalnya cairan merah keluar sedikit-sedikit seperti wanita sedang datang bulan.
Saat itu dia mencoba berpikir positif saja dan berusaha menepis segala pikiran negatif. Apalagi dia belum mengetahui tentang virus rubella.
Namun keguguran kedua ternyata memiliki pola yang sama. Yanti mulai berpikir ada yang tidak beres dengan kandungannya.
Lantas Yanti memeriksa diri pada dokter kandungan. Saat itulah, Yanti sangat terkejut. Ternyata keguguran yang dialami selama ini akibat virus rubella. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, dalam tubuhnya terdapat virus rubella yang sudah menjadi imun, biasa disebut dengan imun rubella.
"Nah dari situ dibilang dokter, kamu kena rubella makanya kamu keguguran dua kali," kata Yanti.
Yanti mulai memperbaiki asupan gizinya untuk menghadapi program kehamilan ketiga kali meskipun imun rubella bersarang di tubuhnya. Dia berpikir tidak berpengaruh terhadap kehamilan maupun anaknya nanti.
Setiap malam, dia selalu berdoa agar anaknya nanti bisa lahir normal. Yanti meyakinkan diri imun rubella dalam tubuhnya tidak berpengaruh terhadap janinnya. Namun kekhawatiran tetap saja menghantui Yanti.
Apa yang dikhawatirkan ternyata benar. Menjelang dua minggu kelahiran. Bahkan dalam seminggu janinnya turun berat badan mencapai 1 kilogram.
Padahal dokter kala itu meminta kepada Yanti untuk menambah berat badan si jabang bayi dalam kandungan. Namun situasi berkata lain, justru terjadi sebaliknya.
Bayi mungil itu lahir pada 1 Agustus 2017 lalu secara normal. Akan tetapi, si buah hatinya itu lahir dalam kondisi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Kendati demikian, Yanti menyambut bayi itu dengan sukacita.
Sebelumnya seperti saran dokter, ia diminta untuk menambah berat badan bayi dengan memenuhi asupan gizi pada makanan yang ia konsumsi. Sayangnya bayi tetap lahir dalam kondisi BBLR, hanya berat 2,3 kilogram.
"Meskipun dinyatakan sudah jadi imun rubella, ternyata berdampak juga kepada anak saat lahir dengan BBLR," sebutnya. Terlepas dari itu semua ia bersyukur, anak perempuan pertamanya lahir tanpa cacat.
Kisahnya tidak sampai di situ. Setelah 6 bulan usia, SN juga terjangkit TBC (Tuberkulosis) yang juga dikenal dengan TB. TB adalah penyakit paru-paru akibat kuman mycobacterium tuberculosis.
Yanti kemudian harus mengobati si buah hatinya selama satu tahun. Berbagai upaya dilakukan agar anaknya bisa sembuh. Hingga akhirnya diperiksa ke klinik dengan merogoh kocek Rp 1 juta lebih demi kesembuhan anaknya.
"Lengkaplah penderitaan anak saya itu," ucapnya.
Yanti mengaku, sebelum hamil anak pertamanya itu, suaminya pernah terjangkit TB. Tetapi setelah menjalani pengobatan dokter menyatakan sembuh.
"Anak saya lahir setelah ayahnya sudah selesai berobat. Mungkin anak saya terjangkit TB waktu proses kehamilan," ungkapnya.
Setahun yang lalu kisah hampir sama juga pernah menimpa seorang ibu bernama Husna (27) asal Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen. Husna yang juga seorang bidan memiliki anak yang terinfeksi virus rubella sejak lahir.
Husna tak menyangka bintik-bintik merah di tubuhnya saat hamil membuat anaknya lahir tidak normal. Awalnya dia mengira itu hanya bintik-bintik biasa, sehingga diabaikan sampai bayi lahir. Sejak itu dia harus berjuang keras untuk mengobati si buah hatinya. Bahkan sejak dalam kandungan.
"Berat waktu lahir 2 kilogram," jelasnya.
Tiga bulan awal, anaknya tidak memperlihatkan gejala apapun. Husna pun tak memiliki firasat jika bayinya menderita rubella. Namun saat anak perempuannya berusia 3 bulan, dia mulai khawatir. Di bola mata tampak bintik merah.
Husna kemudian membawanya ke salah satu rumah sakit di Medan, Sumatera Utara untuk menjalani operasi katarak. Bersamaan dengan itu, dokter juga menyarankan untuk memeriksa Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes Simplex (TORCH).
Setelah uji laboratorium, Husna positif terinfeksi rubella. Sedangkan lainnya dinyatakan negatif. Saat itulah, Husna sadar, ternyata bayinya terinfeksi virus rubella sejak dalam kandungan.
"Ketika hasil tes keluar, saya positif kena virus rubella dan yang lainnya negatif. Virusnya sudah tidak aktif, tapi masih ada dalam badan saya," ungkapnya.
Pada usia 10 bulan anaknya kembali harus menjalani operasi mata kedua kali. Kali ini untuk pemasangan lensa pada matanya agar bisa melihat.
Tak hanya itu, anaknya juga mengalami gangguan pendengaran. Sehingga harus menggunakan alat bantu mendengar dengan biaya Rp 40 juta.
Anaknya adalah satu dari puluhan anak yang terlahir akibat terinfeksi virus rubella di Aceh. Mereka harus menjadi difabel akibat virus rubella. Imunisasi penting untuk mencegah segala penyakit dampak dari berbagai virus atau bakteri yang mewabah selama ini.
Husna maupun Yanti berharap, pemerintah Aceh agar bisa menginstruksikan kepada seluruh orang tua di Aceh supaya mau memberikan imunisasi lengkap, khususnya vaksin Measle-Rubella (MR). Melalui vaksin, metabolisme tubuh seseorang akan kuat sehingga bisa mencegah terinfeksi virus yang cukup berbahaya tersebut.
Vaksin imunisasi yang diberikan kepada anak usia 0-18 bulan bisa mencegah berbagai virus maupun bakteri yang menyerang kesehatan anak. Menurut dokter anak RSUD Pasar Rebo, dr Arifianto, Sp.A vaksinasi bisa memberikan antigen ke dalam tubuh untuk membentuk antibodi spesifik.
Vaksin merupakan zat yang merangsang kekebalan tubuh anak maupun orang dewasa. Oleh karena itu, anak tidak hanya cukup diberikan Air Susu Ibu (ASI) dan makanan bergizi saja, tetapi juga vaksinasi untuk melengkapi antibodi pada anak.
Penulis buku "Pro Kontra Imunisasi” itu menyebutkan, penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi adalah Hepatitis B, DPT, Japanese ebcepphalitis, Dengue, Hepatitis A, Campak, gondongan, rubella, cacar air, tuberkolosis, meningitis, pneumonia, tifoid, kanker serviks influenza dan polio.
Begitu juga dengan penyakit difteri yang cukup mematikan. Penyebabnya adalah bakteri corynebacterium diphtheriae yang menghasilkan toksin. Apa lagi difteri adalah virus yang sangat mematikan.
Gejala sakit difteri berupa pembengkakan tonsil (amandel), sampai miokarditis dan neuritis. Di Indonesia wabah difteri memuncak pada 2012 lalu. Begitu juga di Aceh setiap tahunnya terdapat kasus difteri, bahkan ada yang meninggal dunia.
"Difteri sangat menular, juga beberapa penyakit lain bisa dicegah dengan imunisasi," ucap Apin, sapaan akrab dokter anak tersebut.
Capaian Imunisasi Aceh Rendah
Aceh merupakan provinsi paling rendah capaian imunisasi pada 2019 ini, hanya 11 persen dan menduduki peringkat paling buncit di seluruh Indonesia. Tentu ini cukup mengkhawatirkan, dapat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak dan generasi Aceh masa yang akan datang.
Data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh, capaian cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) kurun waktu 2018Oktober 2019 mengalami penurunan yang sangat curam. Penurunan cakupan sangat besar dipengaruhi oleh pemberitaan miring dan halal haram.
Pada 2018 lalu capaian IDL mendekati 60 persen, namun terjun bebas capaiannya pada 2019 hanya sekitar 37 persen. Apa persoalannya hingga imunisasi di Serambi Mekah turun drastis?
Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah Aceh, agar pada 2020 mendatang capaian imunisasi bisa ditingkatkan. Sehingga bisa mencegah berbagai penyakit menyerang anak di Aceh.
Karena dengan capaian IDL yang rendah mengakibatkan semakin banyaknya kelompok rentan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Aceh terancam terjangkit wabah penyakit menular yang mematikan.
Kasus difteri sempat menghebohkan masyarakat sejak tahun 2017. Data dari Dinkes Aceh, kasus difteri dan riwayat status imunisasi sejak 2012 hingga 25 November 2019 mengalami peningkatan signifikan.
Ada 11 kasus terjangkit difteri pada 2016 lalu. Mengalami peningkatan pada 2017 sebanyak 113 kasus. Dari jumlah itu bila ditinjau dari riwayat status imunisasi, 94 persen di antaranya belum pernah imunisasi.
Kasus difteri terus meningkat pada 2018 sebanyak 200 kasus. Dari jumlah itu, 82 persen yang terjangkit difteri tak penah diberikan imunisasi, hanya 17 persen 3 kali, 1 persen 1 kali imunisasi dan 1 persen 2 kali pemberian imunisasi.
Meskipun 2019 mengalami penurun secara statistik angka terjangkit difteri, hanya 106 kasus. Namun dari jumlah itu yang mengkhawatirkan, bila ditinjau riwayat imunisasi, 81 persen tidak pernah dapat vaksin imunisasi lengkap, 17 persen hanya 3 kali imunisasi, selebihnya 1 dan 2 kali pemberian imunisasi.
Data tersebut menunjukkan bahwa yang terinfeksi virus difteri adalah mereka yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap sejak kecil. Tentunya kondisi ini semakin mengkhawatirkan dengan capaian imunisasi di Tanah Rencong paling rendah di Indonesia.
Dengan rendahnya capaian imunisasi sebagaimana target secara nasional 95 persen, tentunya kekebalan kelompok (herd immunity) terhadap penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tidak akan terbentuk.
Kekebalan kelompok padahal cukup penting, mengingat mobilitas masyarakat yang tinggi dapat mempermudah penyebaran penyakit di suatu daerah.
Misalnya bila satu orang dari suatu kelompok masyarakat menolak vaksin lalu pergi ke suatu tempat dan tertular campak. Kemungkinan ia akan menyebarkan penyakit itu ke kelompoknya setelah ia pulang.
Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta capaian vaksinasi 95 persen demi terwujudnya kekebalan kelompok yang dapat memberikan perlindungan bagi mereka yang belum memiliki imunitas.
Hal ini dibenarkan oleh Apin. Menurutnya syarat keberhasilan program imunisasi agar ada kekebalan kelompok, tinggi cakupannya, dosisnya lengkap. Sehingga anak bisa tumbuh kembang dengan baik dan sehat.
Imunisasi program yang sudah berjalan sejak puluhan tahun lalu di Nusantara ini. Imunisasi juga terbukti mengeliminasi cacar bopeng (variola) dan sebagian polio. Rendahnya cakupan imunisasi berpotensi menjadi wabah, seperti difteri.
"Saatnya kita harus memberikan imunisasi lengkap," pintanya.
Susahnya Sosialisasi Imunisasi di Serambi Mekah
Puluhan murid Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 5 Banda Aceh tampak antre menunggu giliran diimunisasi. Petugas medis Puskesmas Ulee Kareng mulai sibuk mempersiapkan bahan. Semua siswa yang hendak disuntik vaksin didata.
"Gak sakit kok," kata seorang siswi usai disuntik imunisasi, Selasa (29/10) lalu.
Sementara di pintu ruang Usaha Kesehatan Siswa (UKS) tampak berkerumun melihat rekannya disuntik imunisasi. Hari itu tak banyak siswa yang diimunisasi. Dari 200-an siswa di sekolah itu, hanya sekitar 30 siswa yang diizinkan untuk diimunisasi.
Koordinator Imunisasi Puskesmas Ulee Kareng, Banda Aceh, Hayatun Wardani menjelaskan, ini merupakan program bulan imunisasi anak sekolah (Bias). Petugas Puskesmas langsung mendatangi sekolah-sekolah untuk diberikan vaksin kepada anak.
"Setiap tahun dua kali dilakukan pada Juni dan Oktober," kata Hayatun Wardani.
Katanya, imunisasi itu dilakukan khusus untuk siswa kelas satu, dua, dan kelas lima. Untuk siswa kelas satu mendapatkan imunisasi vaksin campak rubella (MR) dan vaksin difteri tetanus (DT).
Sedangkan untuk kelas dua dan enam, siswa mendapatkan imunisasi vaksin TD. Hal itu dilakukan dalam upaya mencegah para siswa terjangkit berbagai virus penyakit yang kerap terjadi pada anak akhir-akhir ini.
Tak hanya ke sekolah. Agar cakupan imunisasi bisa terpenuhi kepada anak. Dia juga sering datang langsung ke gampong-gampong untuk melakukan sosialisasi maupun pemberian imunisasi.
Ada banyak tantangan yang dihadapi. Selain pengetahuan masyarakat yang rendah, sehingga menyulitkan petugas lapangan untuk memberikan imunisasi. Bahkan ada masyarakat yang tidak mau bertemu dengan dirinya saat diketahui hendak diberikan imunisasi kepada anaknya.
"Saya berharap pemerintah bisa lebih lagi melakukan sosialisasi, sehingga cakupan imunisasi di Aceh bisa mencapai target," pintanya.
Rendahnya cakupan imunisasi di tanah Seulanga karena pemerintah belum menempatkan pemberian vaksin menjadi hal penting. Belum ada strategi khusus agar capaiannya bisa terpenuhi seperti yang telah ditetapkan oleh WHO maupun pemerintah pusat.
Padahal petugas Puskesmas sudah berjibaku turun langsung ke gampong-gampong untuk melakukan imunisasi. Namun dinilai itu tidak cukup, tetapi butuh ada keterlibatan pemangku kepentingan dan medium lain agar sosialisasi imunisasi bisa masif kepada masyarakat.
Pemerintah Aceh Tidak Tegas
Seorang aktivis perempuan Aceh, Raihal Fajri mengemukakan, rendahnya cakupan imunisasi di Aceh bukan karena merebaknya isu halal-haram. Tetapi pemerintah Aceh terkesan tidak memiliki sikap tegas dan belum ada skala prioritas.
"Pemerintah yang belum ada skala prioritas, soal halal haram itu sudah selesai," kata Raihal Fajri.
Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2020 disahkan Rp17,2 triliuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Ditambah lagi dengan Dana Alokasi Khusus Aceh (DOKA) sebesar Rp8 triliun lebih dikucur oleh pemerintah pusat setiap tahunnya.
Semestinya tidak ada alasan Aceh posisi terbuncit capaian imunisasi. Apalagi imunisasi itu merupakan hak anak yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Karena berhubungan dengan masa depan anak agar bisa tumbuh kembang sehat.
Menurut Raihal, sekarang masyarakat belum menganggap imunisasi itu penting. Sehingga di akar rumput mengabaikan pemberian imunisasi kepada anak-anaknya.
"Pengetahuan akar rumput sekarang masih rendah soal imunisasi, karena tidak menganggap penting, kalau dianggap penting apapun akan dilakukan. Ini soal edukasi dan sosialisasi yang harus dilakukan oleh pemerintah," tukasnya.
Lemahnya edukasi yang dilakukan oleh pemerintah hingga berdampak rendahnya capaian imunisasi. Raihal menilai, pemerintah masih belum fokus dan tidak prioritas untuk meningkatkan capaian imunisasi di Aceh.
Padahal ada banyak medium yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Raihal menyebutkan, pemerintah bisa mengajak Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, agar ikut menyosialisasikan pemberian imunisasi.
Sebagai daerah penerapan nilai-nilai syariat Islam, cukup efektif bila para ulama, terutama tengku-tengku pesantren di Aceh ikut berbicara ke publik, baik saat pengajian di gampong-gampong maupun ceramah Jumat.
Ceramah Jumat di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh misalnya akan cukup efektif bila isi khutbahnya menyinggung tentang imunisasi. Selain jemaahnya yang banyak, khutbahnya juga disiarkan oleh radio Baiturrahman yang didengar oleh akar rumput, terutama kaum ibu di rumah.
Menurut Raihal pintu masuk sosialisasi juga cukup banyak, misalnya merebaknya kasus difteri di Aceh. Apalagi angka statistik menujukkan bahwa 92 persen yang terjangkit difteri tidak mendapatkan imunisasi lengkap.
Bila ini terus dikampanyekan oleh pemerintah, Raihal yakin cakupan imunisasi di Aceh akan meningkat. Selain masyarakat mendapatkan pengetahuan dan pentingnya imunisasi. Ditambah lagi pemerintah bila membuat regulasi mewajibkan imunisasi kepada si anak.
"Peristiwa difteri sebenarnya bisa menjadi pintu masuk. Tetapi ini tidak dilakukan oleh pemerintah," jelasnya.
Menurutnya, soal halal-haram imunisasi bisa diselesaikan bila pemerintah bersama para pihak serius dan memiliki strategi khusus. Salah satunya pelibatan ulama dan meningkatkan sosialisasi hingga ke akar rumput dan membuat regulasi yang tegas mewajibkan semua anak untuk diimunisasi.
Bila pengetahuan sudah diperoleh masyarakat pentingnya imunisasi. Tentunya tanpa diminta pun, masyarakat akan memberikan imunisasi dengan kesadaran sendiri. Ini karena masyarakat sudah menganggap imunisasi kepada anak itu penting.
"Sekarang masyarakat masih beranggapan imunisasi itu gak penting," jelasnya.
Raihal menilai, butuh keterlibatan para pihak untuk mengkampanyekan agar cakupan imunisasi terpenuhi sesuai dengan ketentuan WHO. Pemerintah harus membuat regulasi mewajibkan imunisasi itu.
Ulama di Aceh cukup berpengaruh bisa menggiring opini publik. Raihal mencontohkan, paska Aceh tsunami. Dalam ceramah-ceramah disampaikan tsunami terjadi karena perempuan banyak melakukan maksiat.
"Itu masif di Aceh saat itu. Mengapa itu tidak dilakukan oleh pemerintah, mengajak ulama menjadi corong sosialisasi imunisasi hari ini," tukasnya.
Cara lain bisa juga dibuat kesepakatan saat Calon Pengantin (Catim) hendak mengurus sertifikat. Pihak pemerintah bisa saja membuat kesepakatan dengan catim tersebut untuk mewajibkan imunisasi kepada anaknya.
"Kalau tidak mau mereka (Catim), tidak dikeluarkan sertifikat, ini ekstremnya," jelasnya.
Menurut Raihal, persoalan lain yang membuat capaian imunisasi di Aceh rendah. Setiap ada masyarakat yang menolak imunisasi. Pemerintah atau pihak terkait tidak lagi mem-follow up. Mendatangi orang tua masing-masing mempertanyakan alasan mereka mengapa enggan anaknya diimunisasi.
"Seharusnya itu di-follow up, mengapa tidak mau, tetapi itu tidak ada," jelasnya.
Malah ada orang tua yang tidak mengizinkan anaknya sekolah karena ada dilakukan imunisasi. Seharusnya bila ada kasus seperti itu, pemerintah maupun pihak terkait respon cepat. Harus dilakukan pemetaan, mengapa banyak wali murid menolak diimunisasi.
Sekretaris Daerah (Setda) Aceh, Taqwallah dan wakil Ketua Tim Penggerak PKK Aceh, Dyah Erti Idawati di berbagai kesempatan selalu membahas tentang kesehatan. Namun kedua tokoh ini jarang membahas secara detail atau langkah strategis agar capaian imunisasi di Aceh tercapai.
Saat Setda Aceh hadir dalam rapat Kerja Lanjutan Percepatan Program Bersih, Rapi, Estetis dan Hijau (Bereh), Stunting dan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), di Aula Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana, Kabupaten Aceh Jaya, Kamis (10/10) lalu. Taqwallah hanya berpesan agar petugas kesehatan sabar, komunikatif dan memiliki cita rasa dalam menangani manusia.
"Petugas kesehatan harus selalu sabar, komunikatif dan memiliki cita rasa. Jangan gundah jika mendapat kritikan saat bertugas. Tetap bersabar, komunikasikan dengan baik dan berikanlah penjelasan dan pemahaman dengan penuh cita rasa," kata Setda.
Begitu juga istri Plt Gubernur Aceh, Dyah Erti Idawati. Selama ini dia lebih fokus berbicara perangi stunting dan gizi buruk. Meskipun ini juga menjadi persoalan di Aceh, karena prevelansi stunting di Tanah Rencong masih di bawah rata-rata nasional.
Angka prevalensi stunting di Aceh hampir mencapai 37,9 persen, lebih tinggi rata-rata nasional yang hanya 30,8 persen. Artinya 4 dari 10 bayi yang lahir di Aceh menderita stunting.
Dinkes Aceh mencatat, 51.496 anak-anak Aceh menderita stunting. Data tertinggi adalah di Aceh Timur ada 8.583 masyarakat di sana mengalami stunting. Sedangkan peringkat kedua Aceh Besar sebanyak 5216 orang. Angka terendah adalah di Sabang, 476 anak yang menderita stunting.
Untuk mencegah stunting Pemerintah Aceh telah membuat program khusus diberi nama Geunting (Gerakan Penanganan dan Pencegahan Stunting). Program ini kemudian pelaksanaan di lapangan dengan sebutan Rumoh Gizi Gampong.
Program ini bukan hanya isapan jempol. Tetapi perintah dari Peraturan Gubernur Aceh No. 14 Tahun 2019, tentang upaya pencegahan dan penanganan stunting di Aceh.
Bahkan dalam Pergub itu ada target pada 2022 nanti Aceh bebas stunting. Artinya memerangi angka stunting, pemerintah memiliki langkah konkrit dan ada strategi hingga mengeluarkan regulasi khusus.
Lalu bagaimana dengan cakupan imunisasi? Padahal pencegahan stunting, cakupan imunisasi menjadi salah satu faktor pendukung, selain asupan gizi dan sanitasi yang bersih. Inilah kemudian yang dimaksud Raihal, bahwa hingga sekarang pemerintah belum ada strategi khusus untuk melawan cakupan imunisasi rendah di Aceh.
Meskipun Dyah selaku wakil ketua PKK Aceh menyebutkan, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan capaian imunisasi di Aceh. Dalam program Rumoh Gizi Gampong, selain membahas pencegahan stunting, petugas juga memberitahukan agar cakupan imunisasi harus dipenuhi.
Dyah tak menampik isu halal-haram vaksin imunisasi menjadi salah satu faktor cakupannya rendah. Namun tidak boleh berhenti di situ. Harus ada berbagai upaya dilakukan agar cakupan imunisasi bisa terpenuhi dengan baik.
Langkah yang dilakukan pemerintah Aceh adalah dengan mengajak para ulama, tengku-tengku pesantren agar bersama-sama menyosialisasikan imunisasi itu penting.
Dyah mencontohkan, apa yang dilakukan Bupati Kabupaten Bener Meriah melibatkan pimpinan pesantren. Termasuk memberikan contoh langsung kepada masyarakat agar mau memberikan imunisasi, sebuah terobosan yang positif.
"Jadi bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk melakukan imunisasi," tukasnya.
Hal yang terpenting agar capaian imunisasi tinggi di Aceh, sebutnya, penting adanya peran peserta para pihak. Terutama pimpinan daerah di kabupaten/kota. Dari tingkat yang paling tinggi hingga kepala desa mau memberikan contoh membawa anak ke puskesmas untuk diimunisasi.
Selama melakukan kampanye pencegahan stunting, Dyah mengaku juga selalu memberikan pemahaman bahwa imunisasi itu penting. Karena bisa mencegah terjangkit berbagai penyakit yang menular.
Menurutnya, asupan gizi saja tidak cukup. Harus dibarengi dengan pemenuhan imunisasi lengkap. Bila anak terjangkit penyakit berbahaya, gizi yang diberikan tidak dapat masuk dengan sempurna. Akhirnya anak-anak terkena stunting.
"Ini sudah dilakukan dan Insya Allah akan terus dilakukan atas dukungan para ulama akan bisa lebih tinggi partisipasi imunisasi," harapnya.
Dyah juga berpesan dengan imunisasi akan membentengi anak-anak dari penyakit berbahaya. Bisa mencegah stunting, lebih sehat dan otaknya juga bisa cerdas.
Sedangkan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengaku soal halal haram imunisasi sudah selesai. Sudah ada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun MPU Aceh. Untuk kesehatan vaksin imunisasi sudah diperbolehkan.
"Soal halal haram, sudah selesai, sudah ada fatwa MUI, sudah ada fatwa MPU untuk kesehatan diizinkan, semua harus bertanggung jawab," tukasnya.
Oleh sebab itu, Nova mengajak semua pemangku kepentingan harus diberi pengertian dan pencerahan bahwa penjagaan kesehatan, pemenuhan gizi, imunisasi sejak dini itu menentukan lahirnya generasi unggul.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jika 1 provinsi saja ada 10 anak yang menderita hepatitis, maka 34 provinsi lain bisa mengalami hal serupa.
Baca SelengkapnyaData ini berdasarkan informasi yang dikumpulkan sejak 2018 sampai 2023.
Baca SelengkapnyaHingga saat ini kasus cacar monyet di Indonesia masih tercatat 88 sejak tahun 2022 dan di tahun 2023 sempat naik, kemudian turun lagi pada tahun 2024.
Baca SelengkapnyaSebelumnya, Budi menyatakan vaksin cacar monyet masih menyasar kelompok tertentu, seperti penderita HIV.
Baca SelengkapnyaMenkes angkat bicara mengenai efek samping vaksin Covid-19 AstraZeneca
Baca SelengkapnyaAnggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Golkar, Dewi Asmara mengatakan, kasus DBD saat ini naik lebih tinggi dibandingkan tahun 2023.
Baca SelengkapnyaKelompok orang yang rawan tertular cacar monyet diminta untuk sadar dalam mencegah penyakit ini.
Baca SelengkapnyaTjandra Yoga Aditama mengatakan, tren peningkatan laju kasus Covid-19 di Indonesia dan sejumlah negara lain masih perlu diwaspadai.
Baca SelengkapnyaNamun kalau untuk yang komorbid, kata Menkes, risiko tetap ada karena virusnya tidak hilang.
Baca SelengkapnyaDia lalu mengatakan vaksin dengue dapat diberikan kepada masyarakat berusia 6 hingga 45 tahun.
Baca SelengkapnyaJamie Scott, seorang pria beranak dua mengalami cedera otak serius setelah mengalami penggumpalan darah dan pendarahan di otak usai mendapatkan vaksin itu p
Baca SelengkapnyaData Indeks Kualitas Udara (AQI) Air, DKI Jakarta menempati posisi teratas daftar kota dengan tingkat polusi terburuk pada Senin, 7 Agustus 2023.
Baca Selengkapnya