Ini Alasan Polda Metro Belum Tahan Ketua KPK Firli Usai Ditetapkan Tersangka Pemerasan
Usai ditetapkan sebagai tersangka, Firli belum kunjung ditahan Polda Metro Jaya
Usai ditetapkan sebagai tersangka, Firli belum kunjung ditahan Polda Metro Jaya
Ini Alasan Polda Metro Belum Tahan Ketua KPK Firli Usai Ditetapkan Tersangka Pemerasan
Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya telah menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri sebagai tersangka pemerasan, dalam penanganan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) 2021. Namun hingga kini Firli belum ditahan.
Dir Reskrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Ade Safri Simanjuntak tidak menjelaskan secara gamblang mengapa Firli belum ditahan. Dia hanya menjelaskan perkembangan tim penyidik yang memangani perkara itu.
"Upaya-upaya yang dilakukan oleh tim penyidik. Yang dilakukan oleh tim penyidik di tahap penyidikan itu semua terkait kepentingan atau kebutuhan penyidikan dalam penanganan perkara a quo, yang saat ini sedang dilakukan penyidikan ya," kata Ade Safri kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jumat (24/11).
"Jadi, untuk kepentingan dan kebutuhan penyidikan. Apabila penyidik memandang, mempertimbangkan perlunya tindakan-tindakan lain, penyidik akan melakukan tindakan yang dimaksud," sambungnya.
Lalu saat ditegaskan kembali alasan kenapa belum melakukan penahanan terhadap Firli, dia justru menjawab telah mengirimkan surat kepada pihak Imigrasi untuk pencekalan terhadap Firli.
"Tadi sudah saya sampaikan bahwa hari ini, penyidik telah membuat, mengirimkan dan diterima di Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI," ujarnya.
"Terkait dengan permohonan penyidik untuk dilakukan pencegahan ke luar negeri terhadap tersangka Saudara FB selaku Ketua KPK RI dalam 20 hari ke depan," pungkasnya.
Firli dijerat Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 65 KUHP.
Adapun, Pasal 12 huruf e tentang Undang Undang tentang pemberantasan tindak korupsi pegawai negeri atau penyelenggaraan negara yang dimaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Kemudian, Pasal 12 huruf B ayat 1 berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dan kewajibannya ataupun tugasnya dan terkait dengan Pasal 12 huruf B ayat 1.
"Pada Pasal 12 huruf B ayat 2 disebutkan bahwa pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana yang dimaksud ayat 1, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp1 miliar," kata Ade saat konferensi pers, Kamis (23/11) dini hari.