Firli Bahuri jadi Tersangka Pemerasan, Pimpinan KPK Tidak Mendesak Mundur
Pimpinan KPK tak meminta Ketua KPK Firli Bahuri mundur dari jabatan meski sudah ditetapkan sebagai tersangka pemerasan
Menurut Johanis, Firli Bahuri belum tentu sepenuhnya dianggap bersalah atas kasus pemerasan tersebut.
Firli Bahuri jadi Tersangka Pemerasan, Pimpinan KPK Tidak Mendesak Mundur
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak menyebut pihaknya tak meminta Ketua KPK Firli Bahuri mundur dari jabatan meski sudah ditetapkan sebagai tersangka pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo alias SYL. Namun Johanis juga menyebut tak meminta agar Firli Bahuri tetap menjadi ketua KPK.
"Tidak ada permintaan seperti itu (Firli mundur atau tetap jadi ketua KPK),"
ujar Johanis Tanak dalam keterangannya, Kamis (23/11).
Menurut Johanis, Firli belum tentu sepenuhnya dianggap bersalah atas kasus pemerasan tersebut. Sebab perlu ada pembuktian lebih lanjut melalui meja hijau.
"Setiap orang dianggap tidak bersalah sepanjang belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan lain," ungkap Johanis.
Kendati demikian, kata Johanis semua pihak tentu harus menghormati semua proses hukum yang telah berlaku. Termasuk Firli yang telah ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya.
"Kita harus taat asas hukum yang cukup banyak, antara lain, Negara Indonesia adalah Negara Hukum, setiap warga harus taat terhadap hukum, setiap orang harus menghormati proses hukum,"
tukasnya.
merdeka.com
Muncul Desakan Firli Mundur
Sebelumnya, Firli Bahuri diminta menanggalkan jabatannya usai diumumkan sebagai tersangka korupsi oleh Polda Metro Jaya. Hal itu sesuai dengan Pasal 32 ayat 2 UU KPK yang berbunyi 'dalam hal pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatan'.
"Lagi pada nagih pasal 32 ayat 2 (di internal KPK)," ujar sumber Liputan6.com, Kamis (23/11/2023).
Sumber menyebut beberapa pegawai KPK sudah menagih agar Firli menjalani aturan yang ada dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Penagihan itu sudah ramai di dalam grup aplikasi perpesanan di internal KPK.
Hanya saja secara tertulis desakan tersebut belum dibuat dan diberikan ke Firli Bahuri. Dia berharap hal itu tak perlu dilakukan jika Firli profesional dan mengikuti prosedur yang ada.
"Di grup (aplikasi perpesanan) sudah ramai. Belum (disampaikan secara langsung ke Firli) karena (pegawai) masih pada di rumah," kata dia.
Dia tak hanya meminta Firli nonaktif sebagai ketua KPK, namun dia mendesak Firli Bahuri mundur karena rekam jejak buruk Firli Bahuri. Dia berharap nantinya KPK dipimpin oleh pihak yang benar-benar niat memberantas korupsi.
"Sejak menjabat sebagai Deputi Penindakan, tindak tanduk Firli sudah menunjukkan niat jahat mengatur perkara di KPK," kata dia.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dijerat pasal berlapis atas kasus dugaan pemerasaan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL). Tak main-main ancaman hukuman dari lima tahun kurungan penjara sampai penjara seumur hidup.
Dalam kasus ini, Firli dipersangkakan melanggar Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 65 KUHP.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak kemudian membeberkan, sanksi pidana maupun denda sebagaimana yang diterangkan di dalam pasal tersebut.
Adapun, Pasal 12 huruf e tentang Undang Undang tentang pemberantasan tindak korupsi pegawai negeri atau penyelenggaraan negara yang dimaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Kemudian, Pasal 12 huruf B ayat 1 berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dan kewajibannya ataupun tugasnya dan terkait dengan Pasal 12 huruf B ayat 1.
"Pada Pasal 12 huruf B ayat 2 disebutkan bahwa pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana yang dimaksud ayat 1, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 Miliar," kata Ade saat konferensi pers, Kamis (23/11/2023) dini hari.
Sedangkan, Ade melanjutkan untuk Pasal 11 ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan/atau pidana paling sedikit denda Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.