Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Rektor UP Nonaktif, Korban Mengaku Diminta Kampus Cabut Laporan di Polisi
Intimidasi pihak kampus itu diungkapkan kuasa hukum korban berinisial RZ, Amanda Manthovani.
Intimidasi pihak kampus itu diungkapkan kuasa hukum korban berinisial RZ, Amanda Manthovani.
Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Rektor UP Nonaktif, Korban Mengaku Diminta Kampus Cabut Laporan di Polisi
RZ, korban pelecehan seksual diduga dilakukan Rektor Universitas Pancasila (UP) nonaktif Edie Toet Hendratno (ETH) mengaku mendapat intimidasi.
RZ mengaku diminta untuk mencabut laporan di polisi oleh pihak kampus.
"Ada intimidasi. Untuk cabut laporan. Setelah kasus ini naik di permukaan media, korban dipanggil," kata kuasa hukum RZ, Amanda Manthovani, Sabtu (9/3).
Intimidasi itu datang saat RZ sudah lapor ke Polda Metro Jaya pada Januari 2024. Kemudian kasus ini mencuat ke media dan menjadi perhatian banyak kalangan.
"Jadi permintaan (cabut laporan) itu saat semua sudah ramai di media," kata Amanda.
Sebelumnya korban sudah berupaya untuk meminta pertanggungjawaban pihak kampus melalui laporan ke yayasan.
Hanya saja, laporan RZ tidak ditanggapi sama sekali saat itu.
RZ justru mendapat perlakuan intimidasi di lingkungan kerjanya.
Karena sudah tidak sanggup dengan situasi yang dialami, RZ akhirnya membuat laporan polisi.
Amanda menegaskan kliennya tidak ada sedikitpun ingin menempuh jalur damai setelah perjalanan panjang yang ditempuh selama ini.
"Sampai detik ini tidak pernah membicarakan terkait ini selesai. Berharap tetap proses berjalan," ujar RZ.
Menurut Amanda, korban bahkan memberi amanat kepada tim kuasa hukum agar kasus ini terungkap dengan kebenarannya. Sehingga tidak ada lagi kasus serupa dalam lingkungan kampus UP.
"Amanat korban tolong sampaikan pada masyarakat bantu kami tegakkan keadilan. Jangan sampai ada petinggi yang dengan leluasa melakukan pelecehan dalam kampus yang harusnya tidak dilakukan," ujar Amanda.
Sampai saat ini pihak korban tidak ada komunikasi apapun dengan kampus. Kliennya saat ini menutup diri untuk menempuh jalur damai.
"Bagaimana mereka (kampus) komunikasi? Saat kedua korban membuat surat ke yayasan pun tidak ada respons. Dari korban masih memberikan kesempatan pada yayasan supaya bisa selesaikan baik-baik, tapi ngga direspon," kata Amanda.
Dia menilai sikap yang dilakukan kampus ataupun yayasan sangatlah otoriter. Karena selain tidak membuka jalur komunikasi dengan para korban, pihak kampus justru membuat narasi yang menyudutkan para korban yaitu terkait politisasi kampus pemilihan rektor.
"Mereka membuat narasi semau mereka padahal kita intelektual yang paham hukum. Ini kasus pelecehan seksual murni bukan seperti yang mereka alihkan jadi isu lain," tutup Amanda.