Kisah Buya Hamka Tolak Pangkat Mayor Jenderal & Dubes Arab Saudi Demi Dakwah
Merdeka.com - Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal sebagai Buya Hamka adalah sosok ulama besar Indonesia. Beliau banyak meninggalkan cerita soal keteladanan. Jika orang lain silau dengan pangkat dan jabatan, tidak demikian dengan Buya Hamka.
Ceritanya sekitar tahun 1970an. Buya Hamka dipanggil oleh Menteri Agama kala itu, Mukti Ali, ke kantornya. Buya langsung diberi selamat. Dari semua nama yang diusulkan pada Presiden Soeharto, Buya Hamka dinilai paling tepat untuk menempati posisi istimewa sebagai duta besar Indonesia di Kerajaan Arab Saudi.
Anak-anak Buya Hamka yang mendengar kabar tersebut sangat gembira. Mereka dapat tinggal dan belajar di Arab Saudi.
-
Kapan Buya Hamka meninggal? Tepat hari ini, 24 Juli pada 1981 lalu, Buya Hamka meninggal dunia.
-
Kapan Buya Hamka meninggal dunia? Selain foto bersama tokoh Indonesia lainnya, ada pula beberapa foto Buya Hamka saat masih kanak-kanak hingga foto usai dirinya meninggal dunia pada tahun 1981.
-
Apa karya fenomenal Buya Hamka? Sebagai sastrawan, Hamka telah melahirkan karya-karya fenomenal seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1937), dan masih banyak lagi.
-
Kapan Buya Hamka membahas tentang keikhlasan? Ikhlas dan sejati akan bertemu di dalam senyuman anak kecil, senyum yang sebenarnya senyum, senyum yang tidak disertai apa-apa.
-
Siapa yang Buya Hamka maksud dengan orang berakal? Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukan buat dirinya sendiri.
-
Di mana Buya Hamka dimakamkan? Saat itu, ribuan pelayan datang mengantre ikut menyalatkan jenazah Buya Hamka.
Namun, istri Buya Hamka menolak tawaran mentereng sebagai duta besar untuk Arab Saudi. Dia memberi saran, lebih baik Buya Hamka melanjutkan dakwah di masjid dekat rumahnya. Masjid itu adalah Masjid Agung Kebayoran, yang kini diubah namanya menjadi Masjid Al-Azhar. Demikian ditulis Irfan Hamka dalam bukunya, Ayah..., Kisah Buya Hamka yang diterbitkan oleh Republika Penerbit tahun 2013.
Lebih Baik Berdakwah
Hj Siti Raham binti Rasul Sutan Endah yang biasa dipanggil Ummi ini mengingatkan kegiatan sebagai duta besar akan sangat sibuk. Lalu kapan waktu untuk Buya Hamka belajar dan mengajarkan agama lagi?
"Hampir tiap malam nanti Angku Haji harus menghadiri jamuan makan malam yang diselenggarakan duta besar lain. Lalu kapan waktu mengaji Alquran yang tidak pernah ditinggalkan sejak kecil?" kata istrinya.
Sang istri mengingatkan dakwah yang dimulai oleh Buya Hamka di Masjid Agung Kebayoran sudah mulai semarak. Dia menilai mengembangkan dakwah di sana lebih bernilai daripada menjadi Duta Besar di Arab Saudi.
"Lebih baik masjid di depan rumah saja Angku Haji kelola dengan baik. Pahalanya dapat dirasakan oleh umat dan InsyaAllah diridhai oleh Allah SWT," kata Ummi, dengan lembut.
Mendengar pandangan dari pasangan hidupnya, Buya Hamka pun kembali ke Kantor Kementerian Agama dan menolak jabatan duta besar tersebut dengan halus.
Menolak Pangkat Mayor Jenderal Tituler
Bukan kali ini saja Buya Hamka menolak pangkat dan jabatan. Sebelumnya sekitar tahun 1960an, Buya Hamka dipanggil menghadap Jenderal AH Nasution yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Bersenjata dan Menteri Pertahanan.
Buya akan dianugerahi pangkat mayor jenderal tituler. Hal ini diberikan mengingat jasa-jasa Buya dalam perang kemerdekaan dulu di Sumatera Barat dan Riau. Pangkat Mayjen tituler adalah pangkat kehormatan. Namun hak dan fasilitas yang diberikan tetap sama dengan pangkat mayor jenderal karir.
Sang istri memberi pertimbangan pada Buya Hamka untuk menolak. Menurut Ummi, lebih mulia jika Buya Hamka tetap berada di jalan dakwah saja. Buya pun menerima pertimbangan tersebut.
"Saya sudah dianggap ulama oleh masyarakat dan hobi saya hanya menulis. Tentu hal-hal tersebut sedikit banyak akan mengganggu tugas saya sebagai mayor jenderal walau Tituler," demikian alasan Buya yang disampaikan pada Jenderal Nasution.
Nasution pun menerima pertimbangan tersebut.
Sikap Buya Hamka
Irfan Hamka yakin sebenarnya ayahnya bisa langsung menolak kedua jabatan tersebut. Namun sudah menjadi kebiasaan ayahnya untuk mengabarkan ke keluarga serta meminta masukan dari istrinya.
Dari dua cerita di atas, dapat ditarik kesimpulan betapa Buya menghargai pendapat istrinya. Walau pun sebenarnya Buya sudah bisa menebak apa masukan dari istrinya soal tawaran jabatan tersebut. Keduanya bukanlah pasangan suami istri yang mudah silau akan jabatan.
Berdakwah di tengah masyarakat dinilai lebih berarti daripada pangkat dan jabatan yang sifatnya hanya sementara. Semoga kisah ini bisa menjadi pengingat.
(mdk/ian)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ayah dari Buya Hamka ini adalah sosok ulama tersohor dan pelopor reformis Islam di Indonesia.
Baca SelengkapnyaMakamnya jadi salah satu destinasi wisata religi penting di Surabaya
Baca SelengkapnyaBerikut foto lawas Buya Hamka saat menjadi Imam salat jenazah Soekarno.
Baca Selengkapnyarumah milik nenek Buya Hamka itu sempat hancur lebur saat pemerintahan Jepang menduduki Sumatra Barat.
Baca SelengkapnyaSosok Habib Umar bin Hafidz ulama yang tengah jadi sorotan masyarakat Indonesia.
Baca SelengkapnyaPenampilan kuli panggul itu berjubah dan mengenakan sorban berwarna merah putih.
Baca SelengkapnyaMomen kerendahan hati Habib dari Solo bikin Buya Yahya kaget dan istigfar.
Baca SelengkapnyaHabib Umar bin Hafidz baru saja datang ke Tanah Air sekaligus memberikan ilmu terkait akidah keislamannya.
Baca SelengkapnyaBuya Hamka merupakan seorang ulama, aktivis politik, dan sastrawan.
Baca SelengkapnyaSoekarno dan Hatta selalu meminta pertimbangan Habib Ali Kwitang terkait kapan waktu dan di mana lokasi yang tepat untuk menentukan proklamasi kemerdekaan.
Baca SelengkapnyaSetiap mendapat persoalan, Ganjar selalu berkonsultasi dengan Hamka Haq.
Baca SelengkapnyaMewakili para orang tua pribumi Indonesia, kami ingin mengingatkan agar para putera puteri bangsa Indonesia dapat hidup aman, tenteram dan sejahtera.
Baca Selengkapnya