Menengok aktivitas pandai besi di tengah gempuran barang pabrikan
Merdeka.com - Perajin cangkul dan alat pertanian atau Pandai Besi semakin tersisih oleh zaman yang serba modern dan industrialisasi. Karyanya tertindas oleh barang pabrikan yang dapat diproduksi massal, masif dan lebih murah.
Di beberapa sudut Kota Malang, masih bisa ditemukan aktivitas para pandai besi. Tetapi keberadaannya seperti 'hidup segan mati tak mau' dengan aktivitas ala kadarnya.
Salah satunya pandai besi 'Penerimane Pandum' di Jalan Mayjend Sungkono Kedung Kandang, Kota Malang. Pandai besi milik Mulyadi (54) itu beroperasi hanya ketika datang pesanan dari para petani sekitar wilayahnya, itu pun dengan jumlah satuan.
-
Di mana letak kampung pandai besi di Sukabumi? Suara 'Tiiinggg…tiiinggg…tiiinggg...' terdengar cukup nyaring di sudut Kampung Cikuluwung, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
-
Apa yang dibuat di Kampung Pandai Besi? Di sepanjang jalan setapak kampung, dapat dijumpai banyak tempat pembuatan pisau sampai golok yang dikelola oleh warga setempat.
-
Di mana pusat produksi besi di Nusantara? Salah satu sentra besi di Kepulauan Nusantara itu berada di Luwu dan Banggai. Kini tempat itu masuk Provinsi Sulawesi Tenggara dan berada di pantai timur Pulau Sulawesi.
-
Mengapa para pandai besi di Cisolok masih menggunakan pompa api manual? Tangannya bergantian mengayun kayu di sisi kiri dan kanan. Saat kayu dinaik-turunkan, api di bagian bawah menyala cukup besar dan mampu membakar besi hingga membara.
-
Apa yang ditemukan di Kawasan Industri Batang? Pada tahun 2019, seorang arkeolog asal Prancis bernama Veronique de Groot menemukan sebuah situs diduga candi di Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang di Desa Sawangan, Kecamatan Gringsing, Batang.
-
Di mana pekerja Indonesia bekerja? Haygrove, sebuah perkebunan di Hereford yang memasok buah beri ke supermarket Inggris, memberikan surat peringatan kepada pria tersebut dan empat pekerja Indonesia lainnya tentang kecepatan mereka memetik buah sebelum memecat mereka lima dan enam pekan setelah mereka mulai bekerja.
Mulyadi sudah tidak lagi mampu memproduksi cangkul lagi, dan benar-benar pasrah seperti arti terkandung dalam nama 'Penerimane Pandum'. Karena memproduksi cangkul butuh biaya besar dan pemasaran hasil produksi.
"Bisa saja membuat cangkul, tapi paling tidak butuh empat tenaga. Membuat cangkul itu berat, tenaga pemukulnya harus kuat, memukulnya harus cepat," kata Mulyadi di Kedung Kandang, Kota Malang, Sabtu (12/11).
Penerimane Pandum menempati pojok tanah lapang dengan bangunan seadanya. Mulyadi baru beberapa tahun terakhir menempati lokasi tersebut.
Sementara adiknya, Muhammad Shoheh tetap beroperasi di pande warisan nenek moyangnya di lokasi tidak jauh dari milik Mulyadi. Nenek Mulyadi, Mbah Sumo mendirikan pande sejak 1913.
Beberapa anak dan cucunya secara turun-temurun menjadi seorang pandai besi, temasuk Mulyadi dan Muhammad Shoheh. Tetapi baik Mulyadi maupun Muhammad Shoheh sudah tidak membuat cangkul lagi.
Mereka membuat aneka peralatan berbahan besi dan paling banyak dilayani belakangan ini adalah sabit atau clurit dan pisau. Selain itu, yang paling rutin adalah service dan penyepuhan cangkul petani.
"Sudah tidak membuat cangkul lagi, hanya melayani servis dan penyepuhan saja," katanya.
Biasanya para petani membawa cangkulnya untuk diservis karena dirasa sudah tidak tajam lagi. Cangkul tersebut oleh Mulyadi akan ditambah bajanya di ujung-ujung cangkul agar kembali tajam.
Service cangkul dikenakan tarif Rp 20 ribu atau tergantung tambahan baja dan besinya. Tetapi tidak jarang, para petani membeli cangkul baru kemudian disepuhkan agar lebih tajam.
"Biasanya petani pengarap itu alatnya bagus-bagus. Beli pacul yang harga Rp 150 ribu, kemudian disepuhkan. Beberapa juga pasrah untuk sekalian dibelikan cangkulnya," katanya.
Setiap bulan Mulyadi menerima sekitar 8 sampai 10 orang yang membetulkan cangkulnya. Sementara lebih banyak orang yang membuat sabit atau celurit.
Kata Mulyadi, cangkul maupun sabit yang di pasaran dibuat dengan lebih banyak unsur besinya. Sehingga harganya lebih murah berkisar antara Rp 35 ribu sampai Rp 40 ribu, tetapi saat dipakai sering 'mulet' atau tidak lurus.
Penyepuhan dilakukan untuk menambah unsur baja ke dalam besinya. Caranya dibakar dengan suhu tinggi, kemudian besi dan baja dilebur dengan dipukul-pukul secara berulang-ulang.
"Kalau untuk membuat sabit cukup 2 jam. Harga bajanya Rp 25 ribu per batang. Besi putihnya Rp 100 ribu per kilogram. Harga sabitnya dijual Rp 100 ribu," katanya.
Purnomo, karyawan Mulyadi mengungkapkan, untuk membuat cangkul butuh biaya besar, tetapi belum tentu laku di pasaran. Kabanyakan orang akan memilih cangkul pasaran yang lebih murah, apalagi sekadar untuk bersih-bersih rumah.
"Tidak butuh cangkul yang bagus, cukup membeli dengan harga Rp 50 ribu," katanya.
Pandai besi di Malang ©2016 merdeka.com/darmadi sasongkoSelain itu, bahan besi dan baja yang mahal bahkan sulit didapatkan di pasaran. Mereka biasanya memanfaatkan kikir (pengasah) dengan bahan baja murni digunakan sebagai bahan untuk menyepuh.
Baik Mulyadi maupun Purnomo mengaku tidak pernah lagi terpikir untuk memproduksi cangkul. Karena dirasa sudah tidak mungkin untuk bersaing dengan cangkul di pasaran buatan pabrik, bahkan impor dari China.
Keduanya juga mengaku tidak memiliki lagi penerus untuk melanjutkan ketrampilan sebagai pandai besi. Anak-anak mereka sudah memilih mencari nafkah di bidang lain.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Para pandai besi di desa ini juga bisa membuat aneka senjata untuk kebutuhan seni, seperti pedang atau golok.
Baca SelengkapnyaDi kampung Cipari ada puluhan perajin golok dengan metode pembuatannya yang masih tradisional.
Baca SelengkapnyaKota ini bahkan menjadi kota paling miskin di negaranya.
Baca SelengkapnyaLelahnya fisik seolah hilang, setelah hasil mengamen mereka belanjakan untuk makan.
Baca SelengkapnyaPerajin tembaga di Desa Tumang sedang mengalami krisis regenerasi. Para pemudanya dinilai tidak mau repot belajar membuat kerajinan dengan kualitas tinggi.
Baca SelengkapnyaSetiap tahunnya, warga harus memberi tumbal kepala kerbau ke tempat itu
Baca SelengkapnyaSebanyak enam belas gubug produksi pandai besi menjadi pemandangan unik di kampung tersebut.
Baca SelengkapnyaWalaupun berukuran hanya selebar badan, kondisi gang padat penduduk di Kota Bandung ini amat bersih dan rapi
Baca SelengkapnyaRumah-rumah ini rata-rata berusia 50 hingga 100 tahun
Baca SelengkapnyaAktivitas perdagangna besi di tempat itu sudah ramai sejak abad ke-14
Baca SelengkapnyaKonon kerajinan sangkar burung di sana sudah ada sejak zaman Penjajahan Jepang. Namun kini eksistensinya makin redup.
Baca SelengkapnyaKerajinan perak di desa ini memiliki keunikan yang terletak pada bentuknya yang halus dan warna yang tidak terlalu berkilau
Baca Selengkapnya