Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Menengok aktivitas pandai besi di tengah gempuran barang pabrikan

Menengok aktivitas pandai besi di tengah gempuran barang pabrikan Pandai besi di Malang. ©2016 merdeka.com/darmadi sasongko

Merdeka.com - Perajin cangkul dan alat pertanian atau Pandai Besi semakin tersisih oleh zaman yang serba modern dan industrialisasi. Karyanya tertindas oleh barang pabrikan yang dapat diproduksi massal, masif dan lebih murah.

Di beberapa sudut Kota Malang, masih bisa ditemukan aktivitas para pandai besi. Tetapi keberadaannya seperti 'hidup segan mati tak mau' dengan aktivitas ala kadarnya.

Salah satunya pandai besi 'Penerimane Pandum' di Jalan Mayjend Sungkono Kedung Kandang, Kota Malang. Pandai besi milik Mulyadi (54) itu beroperasi hanya ketika datang pesanan dari para petani sekitar wilayahnya, itu pun dengan jumlah satuan.

Mulyadi sudah tidak lagi mampu memproduksi cangkul lagi, dan benar-benar pasrah seperti arti terkandung dalam nama 'Penerimane Pandum'. Karena memproduksi cangkul butuh biaya besar dan pemasaran hasil produksi.

"Bisa saja membuat cangkul, tapi paling tidak butuh empat tenaga. Membuat cangkul itu berat, tenaga pemukulnya harus kuat, memukulnya harus cepat," kata Mulyadi di Kedung Kandang, Kota Malang, Sabtu (12/11).

Penerimane Pandum menempati pojok tanah lapang dengan bangunan seadanya. Mulyadi baru beberapa tahun terakhir menempati lokasi tersebut.

Sementara adiknya, Muhammad Shoheh tetap beroperasi di pande warisan nenek moyangnya di lokasi tidak jauh dari milik Mulyadi. Nenek Mulyadi, Mbah Sumo mendirikan pande sejak 1913.

Beberapa anak dan cucunya secara turun-temurun menjadi seorang pandai besi, temasuk Mulyadi dan Muhammad Shoheh. Tetapi baik Mulyadi maupun Muhammad Shoheh sudah tidak membuat cangkul lagi.

Mereka membuat aneka peralatan berbahan besi dan paling banyak dilayani belakangan ini adalah sabit atau clurit dan pisau. Selain itu, yang paling rutin adalah service dan penyepuhan cangkul petani.

"Sudah tidak membuat cangkul lagi, hanya melayani servis dan penyepuhan saja," katanya.

Biasanya para petani membawa cangkulnya untuk diservis karena dirasa sudah tidak tajam lagi. Cangkul tersebut oleh Mulyadi akan ditambah bajanya di ujung-ujung cangkul agar kembali tajam.

Service cangkul dikenakan tarif Rp 20 ribu atau tergantung tambahan baja dan besinya. Tetapi tidak jarang, para petani membeli cangkul baru kemudian disepuhkan agar lebih tajam.

"Biasanya petani pengarap itu alatnya bagus-bagus. Beli pacul yang harga Rp 150 ribu, kemudian disepuhkan. Beberapa juga pasrah untuk sekalian dibelikan cangkulnya," katanya.

Setiap bulan Mulyadi menerima sekitar 8 sampai 10 orang yang membetulkan cangkulnya. Sementara lebih banyak orang yang membuat sabit atau celurit.

Kata Mulyadi, cangkul maupun sabit yang di pasaran dibuat dengan lebih banyak unsur besinya. Sehingga harganya lebih murah berkisar antara Rp 35 ribu sampai Rp 40 ribu, tetapi saat dipakai sering 'mulet' atau tidak lurus.

Penyepuhan dilakukan untuk menambah unsur baja ke dalam besinya. Caranya dibakar dengan suhu tinggi, kemudian besi dan baja dilebur dengan dipukul-pukul secara berulang-ulang.

"Kalau untuk membuat sabit cukup 2 jam. Harga bajanya Rp 25 ribu per batang. Besi putihnya Rp 100 ribu per kilogram. Harga sabitnya dijual Rp 100 ribu," katanya.

Purnomo, karyawan Mulyadi mengungkapkan, untuk membuat cangkul butuh biaya besar, tetapi belum tentu laku di pasaran. Kabanyakan orang akan memilih cangkul pasaran yang lebih murah, apalagi sekadar untuk bersih-bersih rumah.

"Tidak butuh cangkul yang bagus, cukup membeli dengan harga Rp 50 ribu," katanya.

pandai besi di malang

Pandai besi di Malang ©2016 merdeka.com/darmadi sasongko

Selain itu, bahan besi dan baja yang mahal bahkan sulit didapatkan di pasaran. Mereka biasanya memanfaatkan kikir (pengasah) dengan bahan baja murni digunakan sebagai bahan untuk menyepuh.

Baik Mulyadi maupun Purnomo mengaku tidak pernah lagi terpikir untuk memproduksi cangkul. Karena dirasa sudah tidak mungkin untuk bersaing dengan cangkul di pasaran buatan pabrik, bahkan impor dari China.

Keduanya juga mengaku tidak memiliki lagi penerus untuk melanjutkan ketrampilan sebagai pandai besi. Anak-anak mereka sudah memilih mencari nafkah di bidang lain.

(mdk/gil)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Upaya Pandai Besi Banyuwangi Bersaing dengan Produk Pabrikan, Jaga Kualitas Dikirim Luar Kota
Upaya Pandai Besi Banyuwangi Bersaing dengan Produk Pabrikan, Jaga Kualitas Dikirim Luar Kota

Para pandai besi di desa ini juga bisa membuat aneka senjata untuk kebutuhan seni, seperti pedang atau golok.

Baca Selengkapnya
Mengunjungi Kampung Pandai Besi di Cipari, Ciptakan Golok Unggul secara Tradisional
Mengunjungi Kampung Pandai Besi di Cipari, Ciptakan Golok Unggul secara Tradisional

Di kampung Cipari ada puluhan perajin golok dengan metode pembuatannya yang masih tradisional.

Baca Selengkapnya
Miris, Kota Ini Sumber Tambang Berlian Tapi Warganya Tetap Sengsara
Miris, Kota Ini Sumber Tambang Berlian Tapi Warganya Tetap Sengsara

Kota ini bahkan menjadi kota paling miskin di negaranya.

Baca Selengkapnya
Cerita Badut Jalanan Bertahan Hidup di Jalanan Kota Serang, Jatuh Bangun Cari Nafkah di Tengah Larangan Pemerintah
Cerita Badut Jalanan Bertahan Hidup di Jalanan Kota Serang, Jatuh Bangun Cari Nafkah di Tengah Larangan Pemerintah

Lelahnya fisik seolah hilang, setelah hasil mengamen mereka belanjakan untuk makan.

Baca Selengkapnya
Jumlahnya Terus Berkurang dari Tahun ke Tahun, Ini Kisah Para Perajin Tembaga di Desa Tumang Boyolali
Jumlahnya Terus Berkurang dari Tahun ke Tahun, Ini Kisah Para Perajin Tembaga di Desa Tumang Boyolali

Perajin tembaga di Desa Tumang sedang mengalami krisis regenerasi. Para pemudanya dinilai tidak mau repot belajar membuat kerajinan dengan kualitas tinggi.

Baca Selengkapnya
Menelusuri Kota Mati “Alas Roban”, Saksi Bisu Kejayaan Industri Era Hindia Belanda
Menelusuri Kota Mati “Alas Roban”, Saksi Bisu Kejayaan Industri Era Hindia Belanda

Setiap tahunnya, warga harus memberi tumbal kepala kerbau ke tempat itu

Baca Selengkapnya
Mengunjungi Kampung Pandai Besi di Cisolok Sukabumi, Pompa Apinya Masih Pakai Tenaga Manusia
Mengunjungi Kampung Pandai Besi di Cisolok Sukabumi, Pompa Apinya Masih Pakai Tenaga Manusia

Sebanyak enam belas gubug produksi pandai besi menjadi pemandangan unik di kampung tersebut.

Baca Selengkapnya
Begini Potret Gang Permukiman Padat Penduduk di Bandung, Hanya Selebar Badan dan Tak Terpapar Sinar Matahari
Begini Potret Gang Permukiman Padat Penduduk di Bandung, Hanya Selebar Badan dan Tak Terpapar Sinar Matahari

Walaupun berukuran hanya selebar badan, kondisi gang padat penduduk di Kota Bandung ini amat bersih dan rapi

Baca Selengkapnya
Menjelajahi Kota Tua Gresik Kampungnya Para Crazy Rich, Banyak Rumah Megah Bergaya Eropa dan China
Menjelajahi Kota Tua Gresik Kampungnya Para Crazy Rich, Banyak Rumah Megah Bergaya Eropa dan China

Rumah-rumah ini rata-rata berusia 50 hingga 100 tahun

Baca Selengkapnya
Daerah di Pesisir Timur Sulawesi Ini Dulunya Sentra Besi Nusantara, Jadi Langganan Kerajaan Majapahit
Daerah di Pesisir Timur Sulawesi Ini Dulunya Sentra Besi Nusantara, Jadi Langganan Kerajaan Majapahit

Aktivitas perdagangna besi di tempat itu sudah ramai sejak abad ke-14

Baca Selengkapnya
Geliat Para Pengrajin Sangkar Burung di Bantul, Berjuang Demi Mempertahankan Eksistensi
Geliat Para Pengrajin Sangkar Burung di Bantul, Berjuang Demi Mempertahankan Eksistensi

Konon kerajinan sangkar burung di sana sudah ada sejak zaman Penjajahan Jepang. Namun kini eksistensinya makin redup.

Baca Selengkapnya
Sejarah Kerajinan Perak di Koto Gadang, Terkenal sejak Zaman Penjajahan Belanda
Sejarah Kerajinan Perak di Koto Gadang, Terkenal sejak Zaman Penjajahan Belanda

Kerajinan perak di desa ini memiliki keunikan yang terletak pada bentuknya yang halus dan warna yang tidak terlalu berkilau

Baca Selengkapnya