Penampakan Rumah Mewah di Medan Terkait Korupsi Lahan Rorotan
KPK belum mengungkapkan nilai rumah mewah itu dan proses pendataan terhadap aset tersebut masih berlangsung.
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (14/11), menyita satu unit rumah mewah yang berlokasi di Medan, Sumatera Utara, terkait penyidikan dugaan korupsi pengadaan lahan di Rorotan, Jakarta Utara, oleh BUMD Sarana Jaya tahun 2019-2020.
"Hari ini penyidik KPK telah melakukan penyitaan sebuah rumah mewah yang berlokasi di Kota Medan atas nama SS dengan luas 90 meter persegi," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (14/11).
Sejauh ini pihak KPK belum mengungkapkan nilai rumah mewah itu dan proses pendataan terhadap aset tersebut masih berlangsung. Pihak KPK juga menyampaikan apresiasi kepada masyarakat yang turut menjaga kelancaran proses penyitaan tersebut.
KPK pada hari Kamis (13/6) mengumumkan dimulainya penyidikan terkait dengan dugaan korupsi pengadaan lahan di Rorotan, Jakarta Utara di lingkungan BUMD Sarana Jaya.
Selain itu, KPK juga mengumumkan telah melakukan cekal ke luar negeri terhadap 10 orang tersebut berlaku sejak 12 Juni 2024 selama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk kepentingan penyidikan.
Dengan perkara tersebut telah memasuki tahap penyidikan, kata dia, bisa dipastikan sudah ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka.
Meski demikian, siapa saja pihak yang ditetapkan sebagai tersangka beserta uraian lengkap perkara tersebut baru akan disampaikan penyidik ketika penyidikan dinyatakan rampung.
Budi menjelaskan bahwa penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan lahan di Rorotan tersebut merupakan pengembangan dari penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan lahan di Cakung, Jakarta Timur.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur pada hari Rabu (26/6) mengungkapkan kerugian keuangan negara terkait dengan perkara tersebut mencapai lebih dari Rp200 miliar.
Asep menerangkan bahwa modus dugaan korupsi dalam perkara tersebut adalah adanya permainan antara pembeli dan makelar yang menyebabkan adanya selisih harga hingga berujung pada kerugian keuangan negara.
Pembelian itu, menurut dia, mengabaikan proses yang benar. Misalnya, beli tanah seharusnya bisa langsung kepada penjual, tetapi ini ada makelar-nya di tengah.
"Terlihat ada persekongkolan antara pembeli dan makelar tersebut, padahal harusnya pembeli itu bisa langsung membeli tanah dari penjual atau masyarakat," kata Asep.