Untung Rugi Indonesia Gabung BRICS
Peneliti Hubungan Internasional CSIS Muhammad Habib berbicara rugi gabungnya Indonesia dalam keanggotaan BRICS.
Peneliti Hubungan Internasional CSIS Muhammad Habib berbicara rugi gabungnya Indonesia dalam keanggotaan BRICS. Menurutnya, tak bisa serta merta mengkalkulasikan keuntungan ekonomi Indonesia dalam BRICS.
Hal ini disampaikan Habib pada acara merespons pernyataan tahunan Menteri Luar Negeri 2025 dan Jelang 100 Hari Diplomasi Prabowo dalam diskusi CSIS Indonesia, Senin (13/1).
"Bagaimana kita mengkalkulasikan untuk rugi kita dari pada keanggotaan Indonesia BRICS, saya rasa betul bahwa kita tidak bisa menggunakan perangkat penilaian untuk menghitung perangkat tradisional free trade agremeent (FTA) untuk menghitung keuntungan kita dari BRICS, karena BRICS sendiri bukan mekanisme FTA," kata Habib.
"BRICS tidak menawarkan market akses, tidak menawarkan juga pengurangan hambatan perdagangan," sambungnya.
Dedolarisasi
Namun, Habib menerangkan, yang bisa dilakukan Indonesia adalah menggunakan kombinasi antara perangkat penilaian geopolitik ataupun konsekuensi dari geopolitik itu sendiri.
"Apa yang akan ditimbulkan dari pada keanggotaan kita di sana, dan juga berbagai macam agenda yang disana tentu kita harus lebih selektif di dalam partisipasi kita dalam setiap anggota BRICS," ucapnya.
Habib mengambil contoh, salah satu agenda yang sering kali disebut di BRICS mengenai dedolarisasi. Namun, ia menyarankan agar pemerintah Indonesia tak perlu ikut-ikutan dalam dedolarisasi.
Sebab, dedolarisasi yang dimaksud oleh negara BRICS berbeda dengan Local Currency Settlement (LCS) yang digalakkan Indonesia.
Habib menjelaskan, LCS yang digalakkan Indonesia dengan beberapa negara berkembang dan mitra perdagangan Indonesia motivasinya adalah ekonomi.
Tujuannya, membuat perdagangan lebih efisien serta memperhatikan kaidah nasional yang berlaku.
"Sedangkan dedolarisasi sendiri bermakna itu mengurangi penggunaan dollar baik itu untuk perdagangan-trade, ataupun untuk cadangan luar negeri atau reserved," ujarnya.
Habib melanjutkan, dedolarisasi sering kali disebut untuk mengganti dengan mata uang digital lainnya seperti kripto.
"Jadi dua benda berbeda antara dedolarisasi dan Local Currency Settlement, kalau Indonesia ingin menciptakan perdagangan lebih adil mengedepankan Local Currency Settlement sendiri ini juga," imbuhnya.
Pemerintah Harus Usung Program
Sementara, Peneliti CSIS Indonesia, Andrew Mantong, mendorong pemerintah Indonesia menyusun program-program apa saja yang akan dilakukan usai menjadi anggota BRICS.
“Oke Indonesia join BRICS, tapi apa programnya? Apakah Indonesia ingin jadi anggota DK PBB? Atau kalau ada diskusi di BRICS siapa wakil negara berkembang yang duduk di DK PBB, reformasi seperti apa, World Bank harus direformasi seperti apa, harus ditunjukkan,” ungkapnya.
“Pada akhirnya, join BRICS dan lain-lain hanyalah pertanyaan sekunder dibandingkan pertanyaan primer. Kepentingan kita dan agenda kita apa, dan dunia seperti apa yang ingin kita bangun di pemerintahan Prabowo,” pungkasnya.