Kata Gerindra soal 4 Hakim MK Dissenting Opinion pada Putusan Batas Usia Capres-Cawapres
Sebanyak empat hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion pada putusan batas usia Capres-Cawapres.
Partai Gerindra tetap menghormati keputusan yang telah dibacakan hakim MK.
Kata Gerindra soal 4 Hakim MK Dissenting Opinion pada Putusan Batas Usia Capres-Cawapres
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batasan usia capres-cawapres minimal berusia 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion. Sebanyak empat hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion.
Menanggapi pendapat berbeda tersebut, Partai Gerindra tetap menghormati keputusan yang telah dibacakan hakim MK. Sebagai catatan yang tetap tidak terpisahkan dalam sebuah putusan perkara 90/PUU-XXI/2023.
"Tentu saja itu dissenting opinion dari hakim saya kira sudah tercantum dalam sebuah memori hukum yang juga komprehensif. Sehingga itu harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan MK yang sudah diputuskan," kata Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Senin (16/10).
Selain itu, Muzani pun menyampaikan terkait pandangan Ketum Prabowo Subianto soal putusan MK. Di mana, akan menjadi pembahasan dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang akan digelar dalam waktu dekat.
"Beliau menyimak, mendengar, dan memperhatikan keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah keputusan yang final dan mengikat," kata dia.
"Tentu saja ini akan menjadi sebuah cara pandang bagi partai-partai koalisi di Koalisi Indonesia Maju dalam mengambil keputusan," tambahnya.
Meski begitu, Muzani mengakui putusan MK soal usia capres-cawapres tetap 40 tahun dengan pengecualian boleh di bawah umur asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah telah membuat terang benderang.
"Saya kira putusan MK menjadi suatu yang jelas terang benderang, jadi nanti nunggu sesuatu yang sudah jelas nanti tunggu semua ketua umumnya," ujar dia.
Diketahui, empat hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Sedangkan, dua hakim konstitusi menyatakan alasan berbeda (concurring opinion) ialah Hakim Konsttusi Enny Nurbaningsh dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
"Terhadap putusan Mahkamah a quo, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari 2 (dua) orang Hakim Konsttusi, yaitu Hakim Konsttusi Enny Nurbaningsh dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh," kata Anwar Usman dalam ruang sidang MK, Jakarta, Senin (16/10).
"Serta terdapat puta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 4 (empat) orang Hakim Konsttusi, yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konsttusi Said Isra, Hakim Konstitus Avie Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo," sambung Anwar Usman.
Salah satu hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan, untuk menunjukkan berpengalaman atau tidaknya seorang kepala daerah sebagaimana dalil pemohon tidak dapat hanya didasarkan pada status kepala daerah, in casu gubernur yang merupakan pihak yang memegang jabatan Karena telah terpilih (elected official) dalam pemilihan Kepala daerah.
"Sebab, antara berpengalaman sebagai kepala daerah dengan keterpilihan dalam jabatan kepala daerah, merupakan dua hal yang berbeda," ucap Enny.
Selain itu, Saldi Isra mengaku bingung Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat terkait putusan gugatan diajukan Almas Tsaqibbirru tersebut. Tidak hanya itu, Saldi Isra merasa khawatir putusan itu membuat MK terjebak dalam pusaran politik.
Kemudian untuk, Arief Hidayat membeberkan kejanggalan gugatan perkara diajukan Almas Tsaqibbirru yang meminta ditambahkan frasa 'berpengalaman sebagai kepala daerah' sebagai syarat capres-cawapres.
Arief menilai pengubahan frasa tersebut terdapat beberapa kejanggalan mulai didaftarkan hingga pengambilan keputusan jika dibandingkan empat gugatan dengan petitum terkait batas mininum capres-cawapres seperti gugatan nomor 29, gugatan nomor 51, gugatan nomor 55 dan gugatan nomor 91.