Virus HMPV Ditemukan di Indonesia, Apakah Berpotensi Jadi Pandemi Baru?
Kenaikan jumlah kasus virus HMPV (Human Metapneumovirus) di China pada akhir 2024 dan awal 2025 telah memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat.
Setiap kali musim dingin tiba, jumlah kasus infeksi saluran pernapasan di China mengalami lonjakan. Kali ini, lonjakan tersebut terjadi di wilayah utara. Masyarakat dunia sepertinya masih terbayang-bayang dengan pandemi yang sebelumnya melanda. Ketika sebuah video yang menunjukkan rumah sakit di Tiongkok dipenuhi pasien penyakit pernapasan muncul di media sosial, kekhawatiran akan kemungkinan pandemi baru pun mulai muncul. Negara-negara di Asia pun segera mengambil langkah untuk memantau peningkatan kasus di Tiongkok. Sebuah virus yang sebelumnya tidak begitu dikenal kini menjadi perbincangan hangat di media sosial, khususnya di platform X.
Human metapneumovirus (HMPV) kini disebut-sebut sebagai penyebab utama meningkatnya kasus penyakit pernapasan di China selama musim dingin ini. Lonjakan kasus virus HMPV di China pada akhir tahun 2024 dan awal tahun 2025 menimbulkan rasa cemas. Terlebih lagi, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, telah mengonfirmasi bahwa virus ini juga terdeteksi di Indonesia dan banyak menyerang anak-anak. Banyak masyarakat khawatir bahwa infeksi pernapasan yang terjadi di China dapat berkembang menjadi pandemi besar seperti yang pernah terjadi dengan COVID-19. "masa karantina lagi, hidup dewasa gue baru mulai," tulis seorang warganet di platform X pada 5 Januari 2025.
Seorang warganet lainnya menambahkan, "haduuuh jangan dong, gue pas pandemi kemarin di rumah tuh jadi gak produktif banget." Ada juga yang curhat, "Woe pls... Aku masih maba... Ga mau dikarantina lagi, berlum sempat merasakan kehidupan kuliah secara utuh." Salah satu pengguna X mengeluh, "Abis ngerasa new born udah disuruh lockdown lagi ni ntar?" Beberapa pengguna menanggapi dengan nada humor, "Hadeeeh masa ngocok dalgona lagi." Resep minuman khas Korea itu memang sempat populer saat pandemi COVID-19, di mana banyak orang menghabiskan waktu di rumah. Kini, muncul pertanyaan mengenai apa dan bagaimana sebenarnya HMPV, serta apakah peningkatan kasus yang terjadi di Tiongkok berpotensi menjadi pandemi baru setelah COVID-19?
Apa yang Dimaksud dengan HMPV?
Human metapneumovirus, atau yang lebih dikenal dengan sebutan HMPV, merupakan virus pernapasan yang cukup umum. Menurut WebMD, virus ini tergolong dalam keluarga pneumoviridae, yang juga mencakup virus pernapasan syncytial (RSV). Epidemiolog Dicky Budiman menjelaskan bahwa HMPV bukanlah virus yang baru ditemukan, karena virus ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 2001. Penularan HMPV mirip dengan influenza A, yaitu melalui droplet yang dihasilkan saat seseorang batuk atau bersin. "HMPV penularannya sama dengan influenza A ya, ada droplet, termasuk kontak langsung," kata Dicky dalam pesan suara yang dikirimkan kepada Liputan6.com pada Jumat (3/1).
Orang yang terinfeksi HMPV biasanya akan merasakan gejala yang mirip dengan flu, seperti batuk, demam, hidung tersumbat, dan sedikit sesak napas. "Pada kasus berat bisa berkembang menjadi bronchitis dan pneumonia," tambah Dicky. Kelompok yang paling rentan terhadap infeksi HMPV adalah mereka yang memiliki sistem imun yang tidak optimal, seperti anak-anak dan orang lanjut usia. "Lalu, individu baik muda atau tua yang terganggu atau cenderung lemah imunitasnya," jelas Dicky lebih lanjut. Oleh karena itu, penting bagi kelompok rentan ini untuk menjaga kesehatan dan menghindari kontak dengan orang yang terinfeksi.
Sudah Ada di Indonesia, Namun Berbeda dari COVID-19
Kasus HMPV tidak hanya terjadi di Tiongkok, tetapi juga sudah terdeteksi di Indonesia. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengingatkan masyarakat untuk tidak panik, karena virus ini bukanlah hal baru dan sudah dikenal dalam dunia medis. "HMPV sudah lama ditemukan di Indonesia, kalau dicek apakah ada, itu ada. Saya sendiri kemarin melihat data di beberapa lab, ternyata beberapa anak ada yang terkena HMPV," ungkap Budi Gunadi di Jakarta pada hari Senin (6/1). Ia juga menekankan perbedaan antara HMPV dan COVID-19.
HMPV merupakan virus yang sudah ada sebelumnya dan mirip dengan flu, sehingga sistem imun manusia dapat mengenalinya dengan baik. "Berbeda dengan COVID-19 yang baru muncul beberapa tahun lalu, HMPV adalah virus lama yang sudah ada sejak 2001 dan telah beredar ke seluruh dunia sejak 2001. Selama ini juga tidak terjadi apa-apa juga," jelas Menkes. Sebelumnya, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama, yang pernah menjabat sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, menegaskan bahwa menyamakan HMPV dengan COVID-19 adalah suatu kesalahan yang mendasar.
Ia mengatakan, "Banyak pembicaraan yang mecoba 'mensejajarkan' infeksi HMPV ini dengan COVID-19. Ini tentu pernyataan yang tidak betul," ujarnya pada hari Sabtu (4/1). HMPV bukanlah virus baru; virus ini pertama kali dilaporkan dalam jurnal ilmiah di Belanda pada bulan Juni 2001. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa HMPV telah beredar selama puluhan tahun sebelum resmi ditemukan. Di sisi lain, COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Corona baru, SARS-CoV-2, yang muncul di Wuhan, China, pada akhir tahun 2019. "HMPV ini bukan varian baru seperti COVID-19. Jadi, ini adalah dua hal yang berbeda," tegas Tjandra.
Gejala HMPV sering kali disalahartikan sebagai gejala COVID-19. Virus ini dapat menyebabkan batuk, demam, nyeri dada, dan kesulitan bernapas. Dalam kasus yang lebih parah, pasien mungkin perlu dirawat di rumah sakit. Namun, Prof. Tjandra menekankan bahwa gejala ini sebenarnya umum pada berbagai infeksi saluran pernapasan. "Perlu diketahui bahwa semua infeksi paru dan saluran napas memang gejalanya seperti itu," ujarnya. Selain itu, lonjakan kasus HMPV di China tidak seharusnya langsung dihubungkan dengan COVID-19.
Menurut Prof. Tjandra, peningkatan jumlah kasus infeksi saluran pernapasan adalah hal yang biasa terjadi di negara-negara dengan empat musim, terutama pada musim dingin. "Jadi, tidak tepatlah kalau kita terlalu cepat mengkorelasikan kenaikan kasus HMPV ini dengan COVID-19, walaupun tentu kita perlu tetap waspada," tambahnya. Selain itu, perbedaan mendasar antara HMPV dan COVID-19 tidak hanya terletak pada sejarah virus, tetapi juga pada dampaknya di seluruh dunia. Pandemi SARS-CoV-2 telah mengubah kehidupan manusia secara global, sementara HMPV, meskipun berbahaya, tidak menimbulkan dampak epidemiologis yang sama.
Apakah HMPV Memiliki Potensi untuk Menjadi Pandemi Baru?
Meskipun Human Metapneumovirus (HMPV) telah dikenal sejak lama, kepanikan masyarakat terhadap penularan virus ini meningkat setelah munculnya laporan mengenai lonjakan kasus di berbagai negara. Terlebih lagi, bayang-bayang pandemi COVID-19 masih terasa di benak banyak orang. Budi Gunadi kemudian meluruskan informasi yang beredar, dengan menyatakan bahwa peningkatan kasus penyakit pernapasan di Tiongkok tidaklah akurat. Dia menegaskan bahwa data menunjukkan virus yang meningkat di negara tersebut adalah tipe H1N1 atau flu biasa, bukan HMPV. Pernyataan ini juga didukung oleh pemerintah China dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). "Saya sudah lihat datanya, yang naik di Tiongkok itu bukan HMPV, melainkan flu biasa. HMPV hanya berada di peringkat ketiga dari sisi prevalensi di sana. Jadi, informasi itu tidak benar," ungkap Menteri Kesehatan.
Di sisi lain, Tjandra menjelaskan bahwa peningkatan kasus penyakit pernapasan di China tidak menunjukkan adanya pandemi besar seperti yang disebabkan oleh SARS-CoV-2. "Peningkatan kasus infeksi pernapasan di China bukan hal yang baru. Setiap tahun, terutama pada musim dingin, selalu ada peningkatan infeksi di negara dengan empat musim, termasuk China," jelas Prof. Tjandra dalam wawancara khusus bersama Health Liputan6.com di KLY KAPANLAGI YOUNIVERSE Head Office pada Rabu, 8 Januari 2025.
Menurut Tjandra, gejala penyakit pernapasan yang mirip dengan COVID-19 tidak bisa dijadikan indikator yang pasti. "Gejala penyakit pernapasan, baik yang disebabkan oleh HMPV, influenza, atau virus lainnya, umumnya serupa. Keluhan seperti batuk, demam, dan sakit pernapasan sering muncul pada infeksi saluran pernapasan atas atau paru-paru," tambahnya.
Tjandra menjelaskan bahwa pandemi terjadi ketika virus baru atau varian baru menyebabkan penyakit yang lebih berat dengan angka kematian yang tinggi. "Pandemi terjadi ketika sebuah virus baru atau varian baru menyebabkan penyakit yang lebih berat dan banyak orang meninggal. HMPV saat ini adalah virus yang sama seperti yang ditemukan pada tahun 2001, dan tidak ada bukti bahwa itu menyebabkan pandemi," kata Tjandra. Sebagian besar kasus HMPV cenderung ringan, dan banyak di antaranya sembuh sendiri tanpa memerlukan pengobatan khusus. Meskipun individu dengan daya tahan tubuh yang rendah, seperti anak-anak dan orang tua, mungkin mengalami gejala yang lebih berat, HMPV umumnya tidak berbahaya. "Sebagian besar kasus infeksi HMPV tidak menyebabkan penyakit yang berat. Infeksi ini tidak sama berbahayanya dengan COVID-19," tegasnya.
Walaupun begitu, Tjandra mengingatkan bahwa setiap penyakit pernapasan memerlukan perhatian dan langkah pencegahan yang tepat. "Setiap penyakit pernapasan memerlukan perhatian dan langkah-langkah pencegahan yang tepat untuk menjaga kesehatan." Sejalan dengan pendapat Tjandra, Dicky Budiman juga menekankan bahwa HMPV memiliki potensi yang rendah untuk menimbulkan pandemi. "HMPV itu jauh atau sangat kurang memiliki potensi pandemi, karena HMPV ini penyebarannya lebih lambat dan tingkat keparahan penyakit juga ringan umumnya," ujar Dicky.
Upaya untuk Mencegah Penularan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi menekankan bahwa HMPV bukanlah virus yang mematikan. Sebagian besar individu yang terinfeksi dapat sembuh dengan sendirinya tanpa memerlukan perawatan khusus. Meskipun umumnya virus ini tidak berbahaya, Budi Gunadi tetap mengingatkan agar kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, dan individu dengan kondisi kesehatan tertentu, tetap waspada. Ia juga mengimbau masyarakat untuk menjalani pola hidup sehat, seperti cukup tidur, mencuci tangan secara teratur, menggunakan masker ketika merasa tidak sehat, dan segera berkonsultasi dengan tenaga medis jika mengalami gejala yang mencurigakan.
"Yang terpenting adalah tetap tenang dan waspada. Dengan mengikuti protokol kesehatan 3M, menjaga jarak, mencuci tangan dan memakai masker, sama seperti COVID-19, kita dapat mengatasi virus ini dengan baik," tegasnya. Saat ini, belum ada vaksin spesifik yang dapat mencegah keparahan akibat virus HMPV. Dokter Sukamto Koesnoe, Ketua Satuan Tugas Imunisasi Dewasa dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), menjelaskan bahwa salah satu cara untuk melindungi diri adalah melalui vaksinasi saluran napas, mengingat HMPV merupakan virus yang menyerang sistem pernapasan.
"Meski belum ada vaksin khusus untuk HMPV, menjaga kelengkapan vaksinasi untuk penyakit pernapasan lainnya tetap sangat penting sebagai bagian dari upaya pencegahan yang menyeluruh," ujarnya. Ia juga menambahkan, "Manfaat tidak langsung dari vaksinasi yang ada mengurangi risiko komplikasi jika terinfeksi HMPV, mengurangi beban sistem pernapasan dari infeksi lain, mencegah ko-infeksi (infeksi bersamaan) yang bisa memperburuk kondisi, dan membantu membedakan diagnosis karena gejala yang mirip." Sejumlah vaksinasi untuk saluran napas yang dianjurkan meliputi vaksin influenza tahunan, vaksin pneumokokus, vaksin DPT (komponen pertusis), serta vaksin COVID-19 dan booster-nya.
Adapun saran untuk pemerintah terkait HMPV, Dicky merekomendasikan agar meningkatkan sistem surveilans untuk mendeteksi penyakit menular. "Terutama di pintu masuk negara, pelabuhan, pemantauan atau laporan kasus secara real time untuk melihat trennya, biosurveilans di semua unit pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Selain itu, penting untuk memastikan fasilitas layanan kesehatan mampu menangani lonjakan kasus penyakit pernapasan, terutama di musim hujan saat ini," papar Dicky.