Teknologi Buatan Arab ini Lebih Canggih dari Google, Mampu Deteksi Harta Karun Tersembunyi di Bawah Gurun Pasir
Bahkan Google yang dianggap punya teknologi canggih, kalah hebat dibandingkan dengan teknologi buatan Arab ini.
Di tepi utara Rub al-Khali, salah satu gurun terbesar di dunia yang sering disebut sebagai "The Empty Quarter," tersembunyi rahasia-rahasia kuno di bawah lapisan pasir. Meskipun gurun seluas 650.000 kilometer persegi ini tampak kosong di permukaan, ternyata ada harta karun yang tersembunyi.
Mengutip CNN, Kamis (26/9), hal itu diketahui dari pemetaan teknologi canggih yang membantu para peneliti mengungkap harta karun arkeologi itu. Teknologi ini dikembangkan oleh Universitas Khalifa, Abu Dhabi, United Arab Emirates (UAE).
Mereka telah mengembangkan solusi inovatif untuk memetakan area yang sulit dijangkau seperti gurun. Teknologi yang digunakan menggunakan synthetic aperture radar (SAR) yang dikombinasikan dengan machine learning. Dampak dari penggunaan kedua teknologi itu adalah ditemukannya situs-situs arkeologi di bawah lapisan pasir.
Penelitian ini dilatih menggunakan data dari situs Saruq Al-Hadid, sebuah pemukiman kuno di luar Dubai yang memiliki sejarah aktivitas selama 5.000 tahun. Dengan menggunakan data dari situs yang sudah dikenal, algoritma dilatih untuk mendeteksi struktur tersembunyi di area sekitar yang belum dieksplorasi.
Setelah hasil algoritma dianalisis, tim melakukan survei lapangan menggunakan radar penembus tanah untuk membuktikan bahwa temuan dari citra satelit tersebut akurat. Ini menandai awal baru bagi metode eksplorasi situs arkeologi di wilayah padang pasir.
Hambatan
Salah satu hambatan terbesar dalam mencari situs arkeologi di gurun adalah kondisi alam yang tidak stabil, termasuk badai pasir yang sering kali menutupi permukaan tanah. Citra satelit optik tradisional, seperti yang digunakan di Google Earth, tidak cukup untuk mendeteksi objek di bawah lapisan pasir.
Namun, penggunaan teknologi SAR mampu menembus lapisan permukaan dan mengidentifikasi struktur di bawah tanah. Menurut Diana Francis, ilmuwan atmosfer yang memimpin penelitian ini, kombinasi SAR dan machine learning memungkinkan para peneliti untuk fokus pada area yang berpotensi memiliki temuan arkeologi.
Teknologi ini bahkan dapat memetakan struktur dalam model 3D dengan presisi hingga 50 sentimeter. Di sisi lain, ada juga peneliti yang skeptis terhadap teknologi ini. Hugh Thomas dari University of Sydney menyatakan bahwa meskipun teknologi ini berguna, sentuhan manusia dan keahlian arkeologis tetap diperlukan dalam proses identifikasi situs.
Menurutnya, teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk mempersempit area pencarian, sehingga arkeolog bisa fokus pada area yang lebih berpotensi. Teknologi ini akan diuji lebih lanjut saat penggalian di Saruq Al-Hadid dimulai bulan depan.
Dubai Culture, organisasi pemerintah yang mengelola situs tersebut, berencana menggunakan teknologi ini untuk mengungkap lebih banyak situs tersembunyi jika hasil penggalian sesuai dengan prediksi algoritma. Jika terbukti sukses, teknologi ini akan diekspor ke wilayah lain seperti Saudi Arabia, Mesir, dan mungkin Afrika.
Dengan kemampuannya menembus pasir gurun, teknologi SAR dan AI diharapkan menjadi alat yang tak ternilai untuk mengungkap sejarah tersembunyi di bawah permukaan bumi.