Penting Dipahami Orangtua, Begini Pengarug Kekerasan Fisik dan Verbal pada Perkembangan Otak Anak
Baik kekerasan verbal maupun fisik terhadap anak memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Anak-anak yang mengalami kekerasan tidak hanya menanggung luka fisik, tetapi juga menderita luka emosional, perilaku menyimpang, dan penurunan fungsi otak. Penting untuk tidak menganggap remeh dampak kekerasan terhadap anak-anak. Mereka berisiko mengalami masalah fisik dan mental, penyalahgunaan narkoba, serta penurunan kualitas hidup yang dapat berlangsung hingga dewasa, bahkan seumur hidup.
Kekerasan terhadap anak bisa berupa tindakan fisik, seksual, psikologis, verbal, eksploitasi, perdagangan anak, atau pengabaian kesejahteraan mereka. Situasi ini dapat terjadi di berbagai tempat, termasuk rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Kekerasan emosional yang sering dialami anak dapat berdampak negatif pada perkembangan otak mereka, karena lingkungan adalah faktor penting dalam pertumbuhan otak anak.
-
Bagaimana kekerasan dapat memengaruhi kemampuan anak mengendalikan emosi? Kekerasan yang dialami anak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemampuan mereka dalam mengendalikan emosi. Setelah mengalami kekerasan, anak sering kali kesulitan untuk mengontrol emosinya, sehingga mereka lebih rentan merasa sedih, marah, atau ketakutan secara berlebihan.
-
Apa dampak kekerasan pada anak? Menurut American Psychological Association (APA), anak-anak yang mengalami kekerasan lebih rentan terhadap depresi, kecemasan, agresi, dan perilaku antisosial di kemudian hari.
-
Siapa yang perlu tahu dampak buruk pukul anak? Saat anak-anak disiplin dengan kekerasan, mereka mempelajari bahwa tindakan kekerasan adalah cara yang sah untuk menyelesaikan konflik atau masalah.
-
Bagaimana membentak anak mengubah otak? 'Membentak merupakan hasil dari sejumlah emosi negatif. Pikiran negatif ini bisa berdampak buruk terhadap otak anak,' kata Dr. Neha Mehta, MD.
-
Apa dampak pukul anak? Mereka juga memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan kesehatan mental dan harga diri yang lebih rendah. Jadi, pemukulan tidak hanya tidak efektif dalam mengubah perilaku anak, tetapi juga dapat merusak kesejahteraan mental dan emosional mereka.
-
Mengapa sering membentak anak bisa berpengaruh buruk pada mental mereka? Anak-anak yang sering kali mendengar teriakan atau bentakan dari orang tua berpotensi mengalami trauma emosional. Dampak dari trauma ini bisa sangat serius, termasuk masalah kesehatan mental di kemudian hari, yang bisa menyebabkan penurunan rasa percaya diri.
Rasa takut dan nyeri akibat kekerasan dapat menghambat perkembangan serta fungsi otak, dan menghalangi kemampuan mereka untuk tumbuh dan berinisiatif. Baik kekerasan verbal maupun fisik dapat memberikan dampak jangka panjang bagi kesehatan dan kesejahteraan anak. Berikut adalah beberapa konsekuensi dari kekerasan verbal dan fisik terhadap perkembangan otak anak, dilansir Australian Institute of Family Studies pada Jumat (11/10):
Cedera pada Otak
Penelitian yang mengkaji hubungan antara trauma dan perkembangan kognitif biasanya dilakukan melalui studi neuroimaging atau neuropsikologi. Studi neuroimaging berfokus pada perkembangan struktur otak yang penting serta kemampuan otak dalam merespons rangsangan emosional, seperti saat melihat ekspresi wajah yang menunjukkan kemarahan.
Di sisi lain, studi neuropsikologi menggunakan hasil dari berbagai tugas yang telah teruji untuk menarik kesimpulan mengenai fungsi otak, misalnya dengan mengevaluasi memori dan rentang perhatian saat melakukan tugas tertentu, kemudian menginterpretasikan hasilnya terkait dengan fungsi dan perilaku (untuk informasi lebih lanjut mengenai studi neuroimaging dan neuropsikologi). Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan otak anak-anak yang dibesarkan dalam pengasuhan sangat dipengaruhi oleh pengalaman awal mereka.
Namun, dampak neuropsikologis dari kesulitan yang dialami dapat bervariasi secara signifikan, dan tidak semua anak yang menghadapi kesulitan akan terus mengalami tantangan dalam hal pembelajaran, memori, dan perhatian. Pengaruh kesulitan terhadap perkembangan otak tergantung pada apakah anak-anak tersebut mengalami perampasan atau ancaman sebelum masa pengasuhan, yang dapat mengakibatkan keterlambatan dalam perkembangan kognitif atau disintegrasi keterampilan kognitif.
Ketidakseimbangan dalam Regulasi Hormon Stres
Trauma dan kesulitan sering dianggap sebagai pemicu hipereksitasi pada sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), yang berpotensi memengaruhi perkembangan otak. Namun, pandangan ini mungkin terlalu menyederhanakan hubungan antara trauma dan sistem hormon stres. Meskipun ada konsensus bahwa stres di masa awal kehidupan dapat menyebabkan disregulasi dalam sistem respons stres tubuh yang terkait dengan sumbu HPA, sifat spesifik dari disregulasi ini masih menjadi perdebatan.
Penelitian menunjukkan bahwa sistem respons stres dapat menjadi terlalu aktif atau kurang responsif seiring waktu, dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks (termasuk durasi dan waktu terjadinya pelecehan), yang saat ini belum sepenuhnya dipahami. Oleh karena itu, meskipun hasil penelitian mendukung ide bahwa trauma masa kecil berhubungan dengan gangguan respons sumbu HPA, hasil tersebut tidak sepenuhnya mendukung gagasan tentang hiperaktivasi kronis seperti yang sering diasumsikan. Disregulasi dalam sistem respons stres memang berhubungan dengan perubahan dalam perkembangan struktur otak utama (seperti hipokampus), tetapi hubungan ini tidak sesederhana yang sering dilaporkan.
Saat ini, bukti yang mendukung hubungan ini sebagian besar berasal dari penelitian pada orang dewasa yang mengingat kembali riwayat pelecehan, bukan dari penelitian pada anak-anak, sehingga faktor lain tidak dapat diabaikan. Hubungan yang tepat antara waktu dan sifat kesulitan, disregulasi sumbu HPA, serta gangguan perkembangan otak masih belum jelas dan hanya dapat dipahami melalui penelitian longitudinal yang sedang berlangsung.
Perubahan pada Struktur dan Fungsi Otak
Banyak penelitian tentang pencitraan otak yang mengeksplorasi hubungan antara trauma dan perubahan dalam perkembangan, regulasi, serta kemampuan otak anak. Seiring waktu, umumnya mengandalkan studi pada orang dewasa yang melaporkan pengalaman kekerasan di masa kecil, bukan pada penelitian yang secara berkelanjutan mengikuti perkembangan anak. Di sisi lain, penelitian neuropsikologis biasanya memberikan bukti yang lebih meyakinkan mengenai hubungan antara trauma dan fungsi otak.
Studi neuropsikologis lebih efektif dibandingkan studi neuroimaging dalam menilai fungsi sehari-hari anak, karena memberikan wawasan yang lebih langsung tentang tantangan yang dihadapi anak-anak. Secara keseluruhan, penelitian neuropsikologis menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami atau menyaksikan kekerasan, trauma, pelecehan, atau penelantaran cenderung mengalami kesulitan kognitif di satu atau lebih bidang dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami hal-hal tersebut.
Keterlambatan dalam Perkembangan Kognitif
Secara umum, anak-anak yang tidak menerima perhatian yang cukup cenderung lebih rentan terhadap keterlambatan dalam perkembangan kognitif dan bahasa. Mereka yang mengalami penelantaran atau tumbuh dalam kondisi kemiskinan berisiko lebih tinggi mengalami keterlambatan kognitif dibandingkan dengan anak-anak yang mengalami kekerasan.
Di antara anak-anak yang mengalami kekerasan, tingkat kekerasan yang lebih tinggi berkaitan dengan skor IQ yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sebanding. Namun, banyak penelitian tidak mempertimbangkan faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil IQ, seperti tingkat pendidikan dan adanya gangguan seperti Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau depresi, sehingga hasil tersebut tidak dapat digeneralisasi untuk semua anak dalam pengasuhan.
Selain itu, paparan kekerasan dalam rumah tangga juga terbukti berhubungan dengan IQ, menunjukkan pola yang tergantung pada tingkat paparan; semakin parah trauma yang dialami, semakin besar dampaknya. Setelah mempertimbangkan pengaruh genetika dan bentuk penganiayaan lainnya, anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memiliki skor IQ delapan poin lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa riwayat paparan kekerasan dan PTSD dapat memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan kognitif anak.
Kesulitan dalam Mengingat
Bukti yang ada menunjukkan bahwa trauma dan kesulitan dapat memengaruhi ingatan seseorang. Struktur otak yang berperan dalam konsolidasi memori tampak berbeda pada orang dewasa yang memiliki pengalaman kekerasan, meskipun perbedaan ini tidak terlihat pada anak-anak. Misalnya, orang dewasa yang pernah mengalami kekerasan biasanya memiliki volume hipokampus yang lebih kecil, yaitu bagian otak yang penting untuk konsolidasi memori. Anak-anak yang menderita PTSD akibat kekerasan mungkin juga menunjukkan aktivasi yang kurang optimal di area otak ini saat melakukan tugas-tugas ingatan, berbeda dengan anak-anak yang tidak mengalami kekerasan.
Penelitian neuropsikologis terhadap anak-anak mendukung anggapan bahwa ingatan dapat terpengaruh oleh trauma dan kesulitan lainnya. Studi yang melibatkan anak-anak dengan diagnosis PTSD dalam konteks kekerasan menunjukkan bahwa mereka mungkin mengalami masalah dalam ingatan, meskipun hasilnya tergantung pada metode pengukuran yang digunakan. Meskipun beberapa penelitian tidak menemukan perbedaan dalam kinerja memori antara anak-anak dengan PTSD terkait kekerasan dan yang tidak, studi lain yang menggunakan tes memori yang lebih realistis menunjukkan bahwa anak-anak dengan PTSD akibat trauma memiliki kemampuan ingatan yang lebih lemah dibandingkan dengan yang tidak mengalami PTSD. Secara keseluruhan, ada alasan yang kuat untuk meyakini bahwa anak-anak yang mengalami PTSD akibat kekerasan akan menghadapi kesulitan dalam berbagai tugas yang melibatkan memori.
Kekurangan Keseimbangan dalam Pengolahan Emosional
Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang pernah mengalami pelecehan memiliki cara berbeda dalam memproses informasi sosial dan emosional. Amigdala, bagian otak yang berperan dalam pemrosesan informasi emosional secara otomatis, terbukti sangat responsif terhadap rangsangan emosional, seperti ekspresi wajah marah. Anak-anak yang mengalami trauma dapat lebih cepat mengenali wajah marah dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami trauma, yang menunjukkan bahwa mereka lebih peka terhadap potensi ancaman. Selain itu, anak-anak yang tumbuh di lingkungan traumatis juga menunjukkan penurunan ketebalan di area otak yang bertanggung jawab untuk pemrosesan informasi sosial dan emosional, menandakan bahwa perkembangan di area tersebut tidak seoptimal anak-anak yang tidak mengalami kekerasan.
Tantangan dalam Pengelolaan Fungsi Eksekutif
Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa kesulitan dalam menjalankan fungsi eksekutif dapat disebabkan oleh masalah yang terjadi pada masa awal kehidupan. Fungsi eksekutif meliputi berbagai keterampilan kognitif yang saling terhubung, yang terbagi menjadi dua kategori utama: keterampilan metakognitif (seperti pemecahan masalah, perencanaan, pengorganisasian, dan fleksibilitas kognitif) serta keterampilan pengaturan perilaku (seperti pengendalian impuls dan pengaturan emosi).
Keterampilan Metakognitif
Penelitian di bidang neuropsikologi menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami penelantaran dan kekerasan fisik sering kali menghadapi kesulitan dalam perhatian pendengaran dan fleksibilitas kognitif, yang mencakup kemampuan dalam pemecahan masalah dan perencanaan. Anak-anak yang menderita PTSD akibat kekerasan menunjukkan perhatian dan fungsi eksekutif yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami penganiayaan.
Misalnya, mereka cenderung membuat lebih banyak kesalahan dalam tugas yang memerlukan perhatian berkelanjutan, lebih mudah teralihkan, dan lebih impulsif dibandingkan rekan-rekan sebayanya. Sebuah studi menemukan bahwa pengalaman PTSD dalam konteks trauma keluarga dapat berdampak lebih signifikan terhadap fungsi eksekutif ketimbang trauma yang terjadi di luar lingkungan keluarga.
Pengaturan Perilaku
Anak-anak yang mengalami pengabaian emosional, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak, menunjukkan aktivitas otak yang kurang efisien saat melakukan tugas yang memerlukan kontrol penghambatan. Hal ini menunjukkan bahwa pengabaian berkaitan dengan kemampuan yang lebih rendah dalam mengatur diri sendiri dan menahan respons.