Buka-bukaan Septian, WNI yang Pindah Jadi Warga Negara Singapura
Sebagai penerima beasiswa, Septian diwajibkan bekerja di perusahaan Singapura selama tiga tahun.
Ribuan WNI Bertalenta Pindah Jadi Warga Negara Singapura Setiap Tahun
Banyaknya warga negara Indonesia yang pindah ke Singapura menyita perhatian publik.
Direktur Jenderal Imigrasi Indonesia, Silmy Karim mengatakan, setidaknya 1.000 warga negara Indonesia (WNI) bertalenta pindah menjadi warga negara Singapura setiap tahun.
Salah satunya Septian Hartono.
Pria asal Indonesia ini menjadi warga negara Singapura. Dia mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa dia berpindah menjadi warga negara Singapura sejak tahun 2020.
Septian sudah lebih dari 15 tahun tinggal di Singapura. Pria yang berusia 38 tahun itu awalnya mendapatkan beasiswa untuk kuliah S1 di Nanyang Technological University (NTU) setelah lulus SMA di Jakarta pada 2003.
Sebagai penerima beasiswa, Septian diwajibkan bekerja di perusahaan Singapura selama tiga tahun. Jika ditotal, Septian tinggal di Singapura selama tujuh tahun sebelum menyandang status Permanent Resident (PR). Septian kemudian menikah dengan seorang perempuan asal Indonesia yang juga mendapat beasiswa di NTU. Keduanya dikaruniai anak, lalu mereka memutuskan untuk tinggal dalam jangka panjang di Singapura. "Setelah itu, make sense kalau kita convert (pindah kewarganegaraan)," katanya kepada BBC News Indonesia.Bagi Septian, keputusan untuk berganti kewarganegaraan tidak diambil begitu saja. Selama 15 tahun dia berkali-kali mempertimbangkan untuk pulang ke Indonesia tetapi akhirnya memutuskan untuk tinggal karena ‘alasan pragmatis’.
Septian bekerja sebagai teknisi kesehatan di rumah sakit umum terbesar di Singapura dan dia merasa apa yang dia kerjakan sekarang belum ada di Indonesia, atau kalaupun ada, levelnya tidak sama seperti di Singapura.
Faktor lainnya ialah standar hidup di Singapura yang dinilai lebih baik dari Indonesia, yang menurut Septian itu berkat fasilitas publiknya.
"Di Singapura keluarga kami bisa tinggal di rumah susun publik, ke mana-mana menggunakan transportasi publik, sekolah (anak) di sekolah negeri, saya bekerja di RS Umum, jadi saya melihat bahwa hidup yang so-called baik itu justru hidup yang bisa menikmati fasilitas-fasilitas publik ini," kata Septian.
"Adik saya tinggal di Jakarta dan dia juga sudah punya anak. Saya lihat justru mungkin anak dia tuh biaya hidupnya lebih tinggi dari anak saya. Sekolah (swasta) lebih mahal, ke mana-mana mesti diantar-jemput naik mobil, segala macam," kata Septian.
Tetapi meskipun sudah menjadi warga negara Singapura, Septian mengatakan dia tidak pernah meninggalkan identitasnya sebagai orang Indonesia.
"Ketika aku pindah tidak berarti aku meninggalkan ke-Indonesia-anku. Justru aku menjabarkan identitasku sekarang sebagai Indonesian-Singaporean," ujarnya.
Menurut Septian, identitas Indonesia itu penting untuk memperkaya identitas Singapura itu sendiri.
“Aku di sini juga kan ke gereja yang isinya komunitas orang Indonesia. Lebih dari setengah mungkin sudah warga Singapura, cuma tetap ada kekhasannya sebagai orang Indonesia-Singapura. Di satu sisi memperkaya identitas Singapura itu sendiri, di sisi lain juga tetap ada link dengan negara asal, Indonesia."
Sebagai salah satu negara dengan angka fertilitas terendah di dunia, Singapura sedang berusaha menambah populasinya dari sekitar 5 juta sekarang menjadi 6,9 juta pada 2030. Caranya, dengan membujuk lebih banyak warganya untuk punya anak dan memberikan kewarganegaraan kepada tenaga profesional dari luar negeri. Menurut informasi resmi, negara-kota itu memberikan kewarganegaraan kepada 15.000-25.000 orang setiap tahun. Syarat utama untuk mendapatkan kewarganegaraan Singapura adalah telah menjadi Permanent Resident selama setidaknya dua tahun.Warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai akademisi di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Profesor Sulfikar Amar mengatakan, salah satu cara Singapura ‘merekrut' warga dari negara-negara tetangga adalah dengan memberikan beasiswa untuk kuliah di universitas-universitas paling bergengsi di negara tersebut, seperti NTU dan National University of Singapore (NUS). Beasiswa itu berupa hibah biaya pendidikan atau tuition grant untuk studi sarjana selama maksimal empat tahun. Namun ada syaratnya. Yaitu penerima beasiswa harus bekerja di perusahaan Singapura selama tiga sampai empat tahun.
"Nah biasanya anak anak yang pindah jadi warga negara Singapura itu adalah mereka yang sudah menikmati berbagai fasilitas yang disediakan oleh pemerintah Singapura, baik itu fasilitas pendidikan maupun fasilitas publik yang lain seperti misalnya transportasi publik, kesehatan, dan sebagainya,” kata Prof. Sulfikar.
"Belum lagi kita bicara tentang kondisi kota yang jauh lebih baik dari kota-kota manapun di Indonesia, polusinya itu sangat rendah ya kemudian transportasi publiknya yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Jadi nyaman lah."
Faktor tambahan yang membuat banyak orang berpindah kewarganegaraan, menurut Prof. Sulfikar, adalah paspor Singapura yang merupakan salah satu paspor paling sakti di dunia. Paspor Singapura menempati peringkat ke lima dalam daftar Passport Index dan dapat masuk ke 127 negara tanpa visa. "Sementara kita pakai paspor Indonesia ke mana-mana itu, aduh, diperlakukan sangat tidak enak ketika kita minta visa," kata Prof. Sulfikar. Bagaimanapun, berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa kawan yang sudah berpindah warga negara, Prof. Sulfikar mengatakan para WNI yang jadi WN Singapura sesungguhnya tidak pernah benci atau kecewa dengan Indonesia. Prof. Sulfikar mengamati, apapun yang terjadi dengan Indonesia, mereka tetap merasa itu adalah bagian dari identitas mereka sebagai orang Indonesia yang tinggal di Singapura. "Tapi mereka melihat bahwa mungkin pekerjaan mereka itu tidak terlalu dihargai kalau mereka tetap ada di Indonesia, khususnya teman-teman yang ada di dunia akademik ya, atau di dunia pendidikan. Lalu kemudian ada alasan-alasan yang bersifat personal yang tentu saja sangat kompleks," dia menjelaskan