Erick Thohir: 7 BUMN Statusnya Masih Sakit
Dari 47 BUMN setelah holdingisasi, ada 7 BUMN yang kurang sehat.
Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan saat ini masih tersisa sekitar 7 BUMN sakit. Menurutnya, jumlah ini jauh lebih baik ketimbang yang lalu.
Dia menyampaikan, dari 47 BUMN setelah holdingisasi, ada 7 BUMN yang kurang sehat. Jumlah ini disebut lebih baik lantaran data yang dikantonginya menunjukkan sebelumnya hanya ada 15-20 BUMN dalam keadaan sehat.
"Kalau kita lihat dari 47 BUMN ini kan ada 7 yang masih kurang sehat, tapi dibandingkan sebelumnya yang jumlahnya mungkin hanya 15 sampai 20 yang sehat. Jadi penurunannya sudah sangat signifikan," kata Erick dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, di Jakarta, Senin (2/9).
Dia mengatakan, dari jumlah tersebut secara persentase hanya ada 15 persen BUMN sakit. Diketahui, ini berkaitan juga dengan upaya transformasi bisnis BUMN. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Erick menyadari aspek tata kelola perusahaan (good corporate governance/GCG) menjadi salah satu poin yang penting dilakukan. Dia menegaskan tak menutup mata adanya praktik korupsi di BUMN.
"Peningkatan good corporate governance kita harus terus dilakukan, dan kita tidak alergi kok kalau misalnya di publik ada wacana, 'oh kenapa BUMN ini ada yang melakukan korupsi'," tegas Erick.
Menurutnya, penanganan BUMN sakit tadi menjadi perhatiannya bersama tim Kementerian BUMN. Terkait penanganannya pun dia bersedia menggandeng lembaga lain, mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kejaksaan Agung, hingga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Memang sejak awal kami dari kementerian BUMN, saya, Pak Wamen Tiko, Pak Sesmen, Pak Robert, kita sangat transparan dengan BUMN yang sakit, yang mau sakit atau yang korupsi, kita sangat transpanan karena itu kerjasama kita dengan KPK, dengan Kejaksaan, pihak kepolisian, BPK, BPKP, ya kita sangat terbuka," urainya.
Fokus Efisiensi Bisnis Kejar Target Dividen Rp90 Triliun
Diberitakan sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan fokusnya dalam mengejar target dividen BUMN sebesar Rp 90 triliun di 2025. Termasuk memperkuat bisnis perusahaan pelat merah melalui efisiensi.
Erick mengatakan, efisiensi bisnis dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Meski begitu, dia tengah menyiapkan fondasi awal agar BUMN bisa mengejar target yang ditetapkan tersebut.
"Saya tidak berani bicara bisa atau tidak (tercapai), tapi tentu kita akan upayakan karena ini nanti selesai di bulan Oktober, ya tentu deteksi dini yang bisa kita lihat angka ini angka yang tidak mudah karena kondisi yang hari ini cost of logistic naik, lalu juga penurunan daripada sumber daya alam juga masih turun," ungkap Erick dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI, di Jakarta, Senin (2/9/2024).
Dia mencatat, ada kenaikan signifikan dari target dividen BUMN. Mulanya, pada 2021 lalu sebesar Rp 30 triliun. Dengan naiknya target ke Rp 90 triliun di 2025 nanti, artinya ada peningkatan sebesar 160 persen.
"Kalau kemarin kita sudah berhasil mengenjot sampai Rp 81 (triliun) lalu Rp 85 (triliun), sekarang ke Rp 90 (triliun), ya memang kita harus lakukan efisiensi lagi menyeluruh," ucapnya.
Erick menyadari, setoran BUMN ke kas negara tidak sebatas pada peningkatan laba. Tapi juga memperkuat kinerja melalui efisiensi. Pada saat yang sama, dilakukan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG).
"Mungkin banyak pihak pasti nggak suka, karena tidak mungkin kenaikan ini hanya tergantung daripada peningkatan daripada laba, misalnya sumber daya alam, ataupun ya mau tidak mau efisiensi," ujarnya.
Perkuat Kinerja BUMN
Dia menjelaskan, ada beberapa tantangan yang sebenarnya dihadapi dalam peningkatan kinerja BUMN. Misalnya, adanya biaya logistik yang cukup tinggi. Sehingga, diperlukan langkah efisiensi, termasuk bagi BUMN yang tak mampu lagi bersaing.
"Jadi kalau angka itu, angka yang tinggi ya, Rp 90 triliun, ya kita coba efisiensi. Kalau yang lainnya saya belum melihat karena tidak mungkin dengan situasi dunia sekarang ongkos logistik naik, ongkos ini naik, ya mau tidak mau, apalagi kan, BUMN ini kan tidak dalam payung monopoli kan. Karena kan market Indonesia itu terbuka. Jadi kalau dibilang BUMN ini monopoli-monopoli, ya sebenarnya kan tidak. Kita sudah bersaing secara terbuka," tuturnya.
"Dan kalau ada BUMN yang kalah bersaing, ya sudah sewajarnya ya kita juga harus terbuka pola pikirnya, ya harus entah ditutup ataupun di-merger-kan atau ditingkatkan ya itu menjadi suatu keterbukaan," sambung Erick.