Hasil Studi: Ternyata PPN Belum Bisa Dongkrak Penerimaan Negara
Inefisiensi dalam penerimaan PPN disebabkan adanya pengecualian untuk beberapa jenis barang dan jasa.
Sekretaris Senior di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Krisna Gupta, mengungkapkan bahwa keputusan untuk membatalkan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen seharusnya mendapatkan apresiasi, mengingat kondisi daya beli masyarakat yang rendah, adanya massive layoff di sektor industri padat karya, serta situasi deflasi yang sedang berlangsung.
"Secara umum, negara yang menargetkan pertumbuhan ekonomi tinggi biasanya lebih memilih untuk melakukan ekspansi fiskal dengan cara mengurangi pajak, daripada justru meningkatkan pajak" jelas Krisna dalam pernyataannya, seperti yang dikutip pada Minggu, (5/1).
Isu terkait kenaikan tarif PPN dan tantangan dalam penerimaan negara bukanlah hal baru. Sejak tahun 2019, Kementerian Keuangan telah memusatkan perhatian pada kondisi fiskal, baik dari sisi penerimaan maupun pembiayaan.
Bank Dunia menyebutkan bahwa rencana untuk memperbaiki penerimaan negara mencakup beberapa langkah, seperti rasionalisasi insentif pajak, pengenalan pajak karbon, dan peningkatan tarif PPN. Kenaikan tarif PPN sebenarnya sudah dimulai pada April 2022, saat tarif PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen.
PPN Belum Bisa Dongkrak Penerimaan Negara
Krisna menjelaskan bahwa meskipun tarif PPN selama ini berada di angka 10 persen dari nilai tambah, penerimaan yang diperoleh dari PPN dan Pajak Pertambahan Nilai untuk Barang Mewah (PPnBM) selalu berkisar di angka 3,5 persen dari PDB nominal.
Pada tahun 2022 dan 2023, angka tersebut tercatat masing-masing sebesar 3,51 persen dan 3,55 persen, yang masih dalam jangkauan satu simpangan baku. Krisna menambahkan bahwa peningkatan tarif PPN menjadi 11 persen pada tahun 2022 belum berhasil meningkatkan penerimaan negara.
"Kenaikan tarif pajak secara teori memang bisa berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, meskipun tarif pajak naik, tidak ada jaminan bahwa nilai penerimaan juga akan meningkat jika aktivitas ekonomi mengalami penurunan," ungkapnya.
Menggugah Keterlibatan PKP
Penerimaan PPN yang tidak efisien juga disebabkan oleh adanya pengecualian untuk berbagai barang dan jasa. Lebih dari itu, PPN hanya dikenakan pada usaha yang dimiliki oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang tidak selalu mendominasi sektor usaha di Indonesia.
Selain itu, semakin tinggi tarif PPN, semakin besar pula insentif bagi pengusaha untuk tidak terdaftar sebagai PKP.
"Mereka yang tergolong PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN Tahun 1984 dan perubahannya. Pengusaha yang melakukan penyerahan objek pajak yang sesuai Undang-Undang PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan," paparnya.
Menteri Keuangan dapat menurunkan batasan untuk mendorong lebih banyak pengusaha menjadi PKP.
Namun, perlu diingat bahwa banyak UMKM lebih memilih untuk membuka usaha baru daripada meningkatkan usaha mereka untuk mencapai batas nilai tertentu.
"Mendorong semakin banyak usaha untuk menjadi usaha PKP harus menjadi prioritas. Peningkatan tarif PPN berarti melakukan penarikan pajak pada subjek pajak yang selama ini sudah patuh membayar pajak," terangnya.
Krisna menambahkan bahwa jika tarif pajak meningkat, maka semakin sedikit alasan bagi pengusaha untuk tetap menjadi PKP. Oleh karena itu, fokus utama seharusnya adalah ekstensifikasi untuk menambah jumlah PKP, bukan intensifikasi melalui peningkatan tarif.
"Pemerintah juga dapat mendorong ekstensifikasi penerimaan negara dengan meningkatkan kemudahan berusaha, mengurangi restriksi pasar, dan membangun ekosistem kewirausahaan yang sehat agar mendorong pertumbuhan UMKM," ujarnya.
Pemerintah memberikan waktu transisi selama satu bulan untuk penerapan PPN 12% pada barang mewah
Pemerintah telah memberikan masa transisi terkait penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang-barang mewah. Masa transisi ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.
Sebagai informasi, Pasal 5 PMK 131 Tahun 2024 menyatakan bahwa penerapan tarif pajak 12% untuk barang mewah akan mulai berlaku pada 1 Februari 2024.
"Secara prinsip kami memberikan atau meluangkan waktu transisi," ungkap Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, saat konferensi pers di Kantor Pusat DJP, Jakarta, pada Kamis (2/1).
Suryo menjelaskan bahwa masa transisi ini ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha barang mewah dalam melakukan penyesuaian faktur pajak, dari sistem yang sebelumnya menggunakan tarif PPN 11% menjadi 12%.
"Karena faktur pajak yang dibuat wajib pajak sebagian besar sudah berada dalam dokumen digital secara sistem. Sehingga waktu ubah sistem kami beri rentang waktu yang cukup bagi teman-teman wajib pajak untuk siapkan sistemnya," jelas Suryo.
Di sisi lain, untuk tarif PPN barang non-mewah, tidak ada masa transisi, karena tarif tersebut tetap 11% sesuai keputusan Presiden Prabowo Subianto pada akhir Desember 2024.