Lika-Liku Kenaikan PPN 12 Persen, Tak Mampu Meningkatkan Penerimaan Negara
Pembatalan penerapan PPN 12 persen secara umum patut diapresiasi di tengah rendahnya daya beli masyarakat.
Kemarahan dan kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akhirnya mereda. Hal ini terjadi setelah pemerintah memutuskan bahwa kenaikan PPN tersebut hanya akan dikenakan pada barang-barang mewah.
Wacana yang bergulir di akhir tahun 2024 memunculkan perdebatan. Di satu sisi, kenaikan penerimaan negara dibutuhkan, namun di sisi lain meningkatkan utang merupakan opsi yang kurang popular secara makroekonomi.
Menurut Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Krisna Gupta, pembatalan penerapan PPN 12 persen secara umum patut diapresiasi di tengah rendahnya daya beli masyarakat, maraknya PHK di industri padat karya dan deflasi.
"Memang, negara yang memiliki target pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada umumnya justru melakukan ekspansi fiskal dengan memotong pajak, alih-alih meningkatkannya,” kata Krisna dalam keterangannya, Sabtu (4/1).
Sebenarnya, peningkatan tarif PPN atau lebih luasnya permasalahan di penerimaan negara telah menjadi isu lama. Sejak 2019, Kementerian Keuangan memiliki fokus pada kondisi fiskal, baik di sisi penerimaan maupun pembiayaan.
Menurut World Bank, rencana perbaikan dari sisi penerimaan ini, di antaranya adalah rasionalisasi keringanan pajak, mendorong pajak karbon, dan meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bahkan kenaikan tarif PPN sebenarnya sudah diinisiasi pada April 2022, di mana ketika itu tarif PPN naik dari 10 persen ke 11 persen.
Apakah Peningkatan Tarif PPN Dapat Mendorong Penerimaan Negara?
Krisna menjelaskan meskipun nilai PPN selama ini ada di angka 10 persen dari nilai tambah, namun penerimaan melalui PPN dan Pajak Pertambahan nilai untuk Barang Mewah (PPnBM) selalu berada di sekitar 3,5 persen PDB nominal. Sementara itu, angka di 2022 dan 2023 adalah 3,51 persen dan 3,55 persen, masih dalam jangkauan 1 simpangan baku.
Krisna melanjutkan, hal ini menunjukkan peningkatan PPN 11 persen pada 2022 belum berhasil mendorong penerimaan.
"Memang kenaikan tarif pajak secara teori berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, meskipun tarifnya naik, nilai penerimaan belum tentu ikut naik jika aktivitas ekonomi menurun," tutur dia.
Inefisiensi penerimaan PPN juga diakibatkan oleh pengecualian untuk beberapa barang dan jasa. Tapi yang lebih penting, PPN hanya dikenakan untuk usaha-usaha yang dimiliki oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang kemungkinan juga tidak mendominasi pengusaha di Indonesia. Di samping itu, semakin tinggi PPN, semakin tinggi pula insentif untuk menjadi pengusaha non-PKP.
"Mereka yang tergolong PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN Tahun 1984 dan perubahannya. Pengusaha yang melakukan penyerahan objek pajak yang sesuai Undang-Undang PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan," paparnya.
Batasan PKP
Menurunkan batasan dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan untuk mendorong munculnya PKP. Namun batasan ini juga perlu memperhatikan fenomena di mana banyak UMKM memilih untuk membuka usaha lain ketimbang meningkatkan usahanya untuk mencapai nilai tertentu.
"Mendorong semakin banyak usaha untuk menjadi usaha PKP harus menjadi prioritas. Peningkatan tarif PPN berarti melakukan penarikan pajak pada subjek pajak yang selama ini sudah patuh membayar pajak,” terangnya.
Krisna melanjutkan, jika tarif pajak meningkat, maka semakin sedikit alasan untuk terus menjadi PKP. Karena itu, ekstensifikasi untuk menambah jumlah PKP harus diutamakan, alih-alih melakukan intensifikasi melalui peningkatan tarif.
"Pemerintah juga dapat mendorong ekstensifikasi penerimaan negara dengan dengan meningkatkan kemudahan berusaha, mengurangi restriksi pasar, dan membangun ekosistem kewirausahaan yang sehat agar mendorong pertumbuhan UMKM," tutup dia.