Belanja Barang Ritel di Mal Tidak Kena PPN 12 Persen
Namun, Haryanto mengingatkan bahwa pengusaha mal dan peritel masih menghadapi tantangan akibat menurunnya daya beli masyarakat di kalangan kelas menengah.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menegaskan bahwa barang-barang kebutuhan sehari-hari yang dibeli oleh masyarakat tidak akan mengalami kenaikan PPN 12 persen.
"Kami mendengarkan aspirasi masyarakat dan menekankan bahwa yang dikenakan PPN 12 persen hanyalah barang-barang mewah. Barang-barang lain yang diperlukan masyarakat atau bukan termasuk barang mewah tidak akan mengalami kenaikan," jelas Suryo dalam Konferensi Pers yang diadakan di Kantor Pusat DJP, Jakarta, pada hari Kamis (2/1).
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) menyambut positif keputusan pemerintah yang menerapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen hanya untuk barang-barang mewah.
Langkah ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang masih lemah pada tahun 2024.
"Kami menghargai pemerintah yang akhirnya mendengarkan masukan dari berbagai pihak sehingga PPN 12 persen ini hanya berlaku untuk barang mewah, meskipun idealnya tidak ada kenaikan PPN 12 persen sama sekali," ungkap Sekretaris Jenderal HIPPINDO, Haryanto Pratantara, kepada Liputan6.com di Jakarta, dikutip pada hari Jumat (3/1).
"Ini Mengingat situasi ekonomi dan daya beli masyarakat yang cukup sulit pada tahun 2024 dan diperkirakan akan berlanjut di tahun 2025."
Pengusaha mall dan peritel merasa lega karena kenaikan PPN 12 persen tidak berdampak pada barang-barang yang dijual di mall secara umum, karena barang-barang tersebut tidak termasuk dalam kategori barang mewah.
Namun, Haryanto mengingatkan bahwa pengusaha mal dan peritel masih menghadapi tantangan akibat menurunnya daya beli masyarakat di kalangan kelas menengah.
"Tantangan kita saat ini adalah bagaimana meningkatkan daya beli masyarakat yang menurun, terutama di kalangan kelas menengah," ujarnya.
"Kita perlu mencari cara untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat agar mau berbelanja lagi setelah sempat ada isu mengenai kenaikan PPN 12 persen, yang sempat menurunkan minat masyarakat untuk berbelanja."
Dengan situasi ini, penting bagi semua pihak untuk berkolaborasi dalam menciptakan lingkungan yang kondusif agar daya beli masyarakat dapat meningkat kembali.
Uang Kelebihan Bayar PPN 12 Persen akan Dikembalikan
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah memutuskan bahwa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku pada tahun 2025 hanya akan diterapkan pada beberapa barang super mewah.
Pengumuman mengenai hal ini disampaikan beberapa jam sebelum tahun baru, tepatnya pada Selasa, 31 Desember 2024 petang.
Namun, beberapa barang dan jasa, termasuk transaksi digital, sudah terlanjur mengalami kenaikan harga dengan mempertimbangkan adanya PPN 12 persen.
Menanggapi situasi ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akan mengembalikan kelebihan pajak kepada konsumen yang telah melakukan pembayaran dengan tarif PPN 12 persen. Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, menyatakan bahwa DJP sedang menyiapkan skema untuk mengatur pengembalian kelebihan pajak tersebut.
"Ini yang lagi kita atur transisinya seperti apa, tapi prinsipnya kalau sudah kelebihan dipungut, ya dikembalikan. Kalau tidak membetulkan faktur pajak nanti dilaporkan juga bisa," ungkap Suryo di Kantor Pusat DJP, Jakarta, seperti yang dikutip pada Jumat (3/1).
Selain itu, Suryo juga telah melakukan pertemuan dengan pelaku ritel untuk membahas perubahan skema PPN 12 persen ini. Ia mendengarkan keluhan dari para pedagang yang telah mengintegrasikan kenaikan pajak pertambahan nilai tersebut ke dalam sistem penjualannya.
"Saya juga sudah bertemu dengan para pelaku ritel, retailer khususnya ya. Memang harus dilakukan dengan mengubah sistem. Jadi kami lagi diskusi, kira-kira tiga bulan cukup enggak," tambah Suryo.
Meskipun kenaikan PPN 12 persen tidak diterapkan pada semua barang dan jasa, DJP tetap harus mematuhi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Oleh karena itu, diperlukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang berbeda dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.
"Kami lagi duduk, diskusi, kira-kira tiga bulan cukup enggak sistem mereka diubah. Jadi sebenarnya kami akan mencoba untuk mendudukkan, termasuk pada waktu pendudukan waktu pajaknya. Karena tidak semua membutuhkan waktu pajak secara insidentil, tapi sistematis," jelasnya.