Prabowo-Gibran Mau Bentuk 44 Kementerian Baru, Anggaran DPR Naik Rp7 Miliar per Tahun
Jika kementerian kabinet Prabowo bertambah menjadi 44 maka jumlah komisi di DPR akan bertambah dari 11 menjadi 13 komisi.
Ketua Banggar DPR RI periode 2019-2024, MH Said Abdullah buka suara terkait rencana penambahan Kementerian kabinet Prabowo Subianto menjadi 44 Kementerian. Said menyebut, penambahan jumlah kementerian akan secara otomatis juga menambah jumlah komisi di DPR RI.
"Kalau untuk kementerian bertambah, sesuai dengan kebutuhan Bapak Presiden terpilih yang dilantik 20 Oktober nanti, kebutuhannya, katakanlah 40, 44, atau bahkan 45, maka dengan sendirinya Komisi juga akan bertambah," kata Said Abdullah kepada awak media di Kompleks Senayan DPR, Jakarta, Selasa (1/10).
Dalam hitung-hitungannya, jika kementerian kabinet Prabowo bertambah menjadi 44 maka jumlah komisi di DPR akan bertambah dari 11 menjadi 13 komisi. Saat ini, DPR RI masih menunggu keluarnya nomenklatur kementerian kabinet Prabowo-Gibran.
"Katakanlah Komisi 1, mereka mitranya sampai 17, kalau sudah tidak punya kemampuan, oleh itu kita kurangi, begitu juga komisi lain kita kurangi, kita sisir, kita pindahkan ke 12 dan 13, sambil menunggu nomenklatur atau STOK Kementerian baru dari presiden terpilih," beber dia.
Diakuinya, penambahan komisi ini berdampak terhadap kenaikan anggaran DPR RI. Dia memprediksi anggaran DPR RI naik sekitar Rp7 miliar per tahun.
"Walaupun tambahan 2 komisi itu, penambahan anggarannya tidak lebih dari Rp3 sampai Rp4 miliar saja. Karena kan jumlah anggotanya tetap, hanya pimpinannya saja yang nambah. Itu tidak lebih kami hitung maksimal hanya Rp7 miliar per tahun," ucapnya.
Penambahan Kementerian Bebani APBN
Sebelumnya, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara merespons rencana pemerintahan selanjutnya Prabowo - Gibran untuk menambah jumlah kementerian menjadi 44. Dia menyebut, penambahan jumlah kementerian kabinet Prabowo - Gibran hingga 44 tersebut akan membebani APBN.
"Bisa dibayangkan penambahan nomenklatur kementerian baru bisa buat APBN tertekan," tegas Bhima saat dihubungi Merdeka.com di Jakarta, Senin (30/9).
Bhima mencatat, saat ini, belanja operasional birokrasi pemerintah sudah sangat besar mencapai total Rp691 triliun per tahun.
Rinciannya, belanja birokrasi tadi terdiri dari belanja pegawai K/L sebesar Rp285,8 triliun dan belanja barang Rp405,2 triliun.
Sontak, penambahan 44 kementerian ini berpotensi untuk mengancam pelaksanaan program prioritas kabinet Prabowo - Gibran. Mengingat, makin menyempitnya ruang fiskal untuk menyukseskan program pemerintahan selanjutnya.
"Itu kontradiktif jadinya pada pencapaian target ekonomi Prabowo," ucapnya.
Selain itu, penambahan nomenklatur ini justru dinilai kian mempersulit koordinasi program karena risiko tumpang tindih antar kementerian lembaga. Mengingat, penambahan jumlah kementerian/lembaga karena memperpanjang rantai birokrasi
"Makin panjang rantai birokrasinya, maka semakin lama eksekusi programnya. Nanti khawatir banyak program tidak berjalan secara efektif karena menunggu instruksi satu sama lainnya," tandasnya.
Sebagai informasi, kini Badan Legislasi DPR RI sudah menyetujui agar RUU Kementerian Negara untuk dibawa ke rapat paripurna yang selanjutnya bakal disahkan sebagai undang-undang.
Dalam RUU tersebut, perubahan-perubahan muatan dalam pasal sudah diputuskan dalam rapat panitia kerja (panja). Perubahan dalam RUU tersebut, di antaranya terdapat penyisipan pasal yakni Pasal 6A soal pembentukan kementerian tersendiri, kemudian disisipkan juga Pasal 9A soal presiden yang dapat mengubah unsur organisasi sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan.
Selanjutnya salah satu poin penting dalam RUU itu adalah perubahan Pasal 15. Dengan perubahan pasal itu, presiden kini bisa menentukan jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan negara, tidak dibatasi hanya 34 kementerian seperti ketentuan dalam undang-undang yang belum diubah.