Sederet Kritikan Tajam Faisal Basri kepada Pemerintah, dari Pembatasan BBM, Kenaikan PPN hingga Tapera
Pendiri Indef ini dikenal sebagai sosok intelektual yang kritis, tegas dan berani melayangkan kritik pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ekonom senior Faisal Basri meninggal dunia pada 5 September 2024, pukul 03.50 WIB di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta. Pendiri Indef ini dikenal sebagai sosok intelektual yang kritis, tegas dan berani melayangkan kritik pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengenang sosok Ekonom Senior Faisal Basri sebagai pengkritik yang bisa ‘mengerem’ kebijakan dari pemerintah, terkhusus dalam lingkup ekonomi.
Menurutnya kritik dari Faisal kerap kali menjadi pengingat bagi para pemangku kebijakan. Sebagai opsi pandangan lain dari sebuah kebijakan yang telah diambil pemerintah.
“Bang Faisal ini menurut saya satu tokoh yang mampu mengerem para pejabat seperti saya,” kata Bahlil saat ditemui di rumah duka kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (5/9).
Berikut ini beberapa kritikan pedas Faisal Basri terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat kecil:
1. Family Office Jadi Tempat Pencucian Uang
Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan pembentukan Wealth Management Centre (WMC) kepada Presiden Jokowi. WMC tersebut dibentuk untuk menjaring dana berbasis perusahaan keluarga (family office) dari luar negeri.
Menurut data dari The Wealth Report, Luhut menyebut populasi individu super kaya raya di Asia diperkirakan akan tumbuh sebesar 38,3 persen selama periode 2023-2028. Peningkatan jumlah aset finansial dunia yang diinvestasikan di luar negara asal juga diproyeksikan akan terus meningkat.
Menanggapi wacana tersebut Faisal Basri khawatir family office malah jadi sarana pencucian uang. Mengingat, sifat family office yang tak memungut pajak bagi dana-dana dari orang super kaya.
"Ada (potensi pencucian uang). Tapi gampang dideteksi kok. Di Singapura itu masalahnya. Cukup banyak family business office itu menjadikan Singapura pencucian uang," ujar Faisal di Jakarta, Kamis (4/7) lalu.
Saat ini satu negara yang menerapkan family office saat ini Singapura. Namun, Singapura mulai memperketat family office imbas dari kekhawatiran atas praktik pencucian uang.
"Jadi mereka sekarang lebih ketat. Ya, itu pencucian uang. Dan jangan-jangan ada judi online, narkoba, pelaku-pelakunya di luar, terus ya lewat nama orang, bikin family (office), bisa saja seperti itu," sambung Faisal.
Di sisi lain, dia pun mempertanyakan kesiapan instrumen hukum Indonesia untuk menghadapi tantangan tersebut. Apalagi, pengusaha super kaya yang mendatangi family office kerap mengejar kemudahan, salah satunya tanpa pajak.
Menurut dia, hal itu bisa dihadapi dengan adanya Financial Action Task Force (FATF). Indonesia sendiri sudah menjadi bagian FATF melalui keterlibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Tidak ada lagi yang kebal. Ada yang namanya rezim FATF, Financial Action Task Force. Nah itu, lintas negara itu. Kayak Interpol-nya untuk money laundering segala macam begitu," ucap Faisal.
2. Kenaikan PPN 12 Persen Tahun 2025 Harus Ditunda
Faisal Basri turut lantang meminta pemerintah menunda kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada 2025 mendatang.
"Kalau menurut saya wajib lah ditunda. Ini kan pertanyaannya itu tadi defisitnya tambah lebar. Karena PPN paling gampang. Kalau PPH Masih suka nilep-nilep kan kalau PPN itu kan setiap transaksi," kata Faisal Basri saat ditemui usai RDP dengan BAKN DPR RI, Rabu (10/7/2024).
Sebagai informasi, tarif PPN sendiri telah ditetapkan pemerintah Indonesia menjadi 11 persen sejak 1 April 2022 lalu, dan akan dinaikkan secara bertahap sampai dengan 12 persen di tahun 2025.
3. Pembatasan BBM Subsidi
Faisal Basri turut memberikan respons terhadap pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkait rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi yaitu pertalite.
Menurut Faisal, munculnya rencana tersebut membuktikan Pemerintah sudah tidak mampu menahan subsidi BBM lagi. Sehingga kemungkinan BBM bersubsidi akan dinaikkan.
Pada saat pernyataan ini, kata Faisal harga minyak dunia masih dikisaran USD80 per barel, artinya Pemerintah masih mampu menahan subsidi BBM. Namun, jika harga minyak dunia naik USD90 per barel, maka diproyeksikan Pemerintah tak mampu menahan subsidi lagi, sehingga jalan pintasnya adalah menaikkan harga BBM bersubsidi.
"Misalnya, sekarang harga minyak sih anteng ya di USD80-an. Kalau naik lagi ke USD90, artinya kan subsidi-nya naik gitu kan. Pemerintah enggak sanggup lagi. Artinya, sinyal kemungkinan besar pemerintah akan menaikkan harga BBM yang selama ini di subsidi yaitu Pertalite dan Solar," kata Faisal Basri saat ditemui usai RDP dengan BAKN DPR RI, Rabu (10/7).
Menurutnya, fenomena antrean di SPBU menjelang kenaikan BBM sudah merupakan hal biasa. Lantaran, Pemerintah tidak mampu membayarkan dana kompensasi ke Pertamina.
"Kan sudah biasa. Sebelum naik kan antrian panjang dulu. Kan sudah enggak kuat lagi, dan dana kompensasinya gelembung. Terpaksa. Pertamanya sorry, dana kompensasinya enggak saya bayar dulu. Pernah dana kompensasi itu baru dibayar 2 tahun. Sampai PLN pernah hampir gagal bayar," ujarnya.
4. Kritik Utang RI
Dalam podcast Indef yang berjudul Peninggalan Utang Menanti Pemerintah Baru beberapa waktu lalu, Faisal Basri mengaku sangat prihatin lantaran beban utang RI dirasakan oleh generasi muda di masa mendatang.
"Saya prihatin dan oleh karena itu kita harus bersuara terus. Saya kasihan sama generasi muda. Generasi kami yang meminjam tapi generasi muda yang harus membayar karena jatuh tempo utangnya itu 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun," kata Faisal Basri dalam podcast tersebut dikutip Kamis, (5/9/2024).
Apalagi tahun 2025 merupakan puncak jatuh tempo utang RI yang nilainya diperkirakan mencapai Rp800 triliun. Hal itu tentunya menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang berat bagi Pemerintahan Baru yang dipimpin Prabowo Subianto.
"Karena tahun depan itu puncak jatuh tempo kira-kira Rp800 triliun," ujarnya.
5. Program Tapera
Ekonom Senior Indef, Faisal Basri juga turut memberikan pandangannya terkait program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dia menilai, potongan iuran Tapera tidak tepat dilakukan ditengah kondisi daya beli masyarakat yang tertekan. Bahkan, dengan sipungut 2,5 persen dari upah per bulan, hitungan kepemilikan rumah masih terlalu lama.
"Nah, kalau 2,5 persen hitung aja dengan sederhana kapan? berapa puluh tahun kira-kira dia punya rumah? karena biaya Taperanya gini (naik tipis), harga tanah gini (meningkat tinggi), kapan punya rumahnya?," ujar Faisal, ditemui di Jakarta, dikutip Jumat (5/7).
Menurut dia seharusnya iuran Tapera tidak bergantung pada potongan upah pekerja. Tapi, ada tambahan lebih banyak dari perusahaan. Dengan asumsi total pungutan 3 persen, maka potongannya bisa masing-masing 1,5 persen, baik perusahaan maupun pekerja.
Faisal menilai, hal itu bisa dilakukan dengan mengkonversi sebagian pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25 persen ke 22 persen. Dengan begitu, bisa sedikit digunakan untuk menambah iuran ke Tapera.
"Nah, harusnya Tapera jangan dibiarkan sendiri atau Taperanya itu mbok ya beban buruhnya dikurangi, sumbangan perusahaannya ditambah," kata dia.
"Kan perusahaan dulu dapat memotongan corporate income tax dari 25 persen ke 22 persen. Nah kasih 1,5 persen (potongan tapera) sehingga paling tinggi yang dipotong dari buruh itu 1,5 persen," terangnya.